MOJOK.CO – Beberapa orang benar-benar ingin mewujudkan sebuah dunia ideal untuk perempuan yang sampai sekarang hampir mustahil. Ini bukan tentang feminazi dan misoginis.
Poros perdebatan soal perempuan di media sosial benar-benar bikin saya pusing. Ada kesalahpahaman yang benar-benar ngeri soal feminazi, feminis, dan misoginis. Betapa ngomongin bekal buat suami aja bisa jadi keributan maha nggak penting.
Untuk mencerahkan prasangka burukmu terhadap feminis dan perjuangan kesetaraan, ada baiknya kamu memahami peyorasi feminis lewat tulisan ini. Semoga membantu.
Di luar konteks itu, orang-orang kadang memimpikan sebuah dunia ideal untuk perempuan. Di mana beberapa hal yang kami resahkan selama ini bisa teratasi. Tapi hingga titik ini saya makin pesimis, mungkin nggak sih patriarki itu nggak lagi mengopresi kehidupan sehari-hari perempuan?
Dunia ideal perempuan #1 Andai saja kami dibebaskan dari kewajiban mutlak untuk bisa masak dan bersih-bersih
Masak dan bersih-bersih lebih tepat masuk basic skill. Kemampuan dasar yang nggak memandang jenis kelamin tertentu untuk menguasainya. Jika hidup di suatu pulau tanpa perempuan, saya rasa laki-laki juga perlu menguasai hal ini. Perempuan kerap dimarahi sama ibu, budhe, atau neneknya ketika kami nggak ada waktu untuk beresin kamar dan nggak bisa masak.
“Perempuan kok jam segini masih tidur, jam segini waktunya resik-resik. Habis itu masak ya, Nduk?”
Sudah nggak terhitung berapa kali saya mendengar ujaran ini. Adik saya yang setiap hari bangun jam sepuluh pagi nggak pernah kena marah dan dihujani kata-kata “Cowok kok jam segini masih tidur?”. Tentu, karena anggapan mengurus pekerjaan rumah itu dibebankan ke cewek.
Saya bukannya anti beres-beres, tapi membebankan kata ‘perempuan’ dalam setiap kegiatan rumah tangga itu agak meresahkan. Saya ingin bisa masak karena saya suka masak, beberes rumah karena memang perlu, bukan karena saya perempuan. Susah banget ya?
Dunia ideal perempuan #2 Andai saja perempuan tidak akan merasa terancam setiap lewat kerumunan laki-laki
Suatu kali di bangku sekolah, saya menyadari sesuatu. Ketika hendak berjalan ke perpustakaan saya menghindari lorong di mana sekumpulan teman laki-laki saya sedang kongkow dan bergerombol, ini adalah insting. Saya memilih jalan memutar yang lebih jauh, nggak apa-apa, asal aman. Hah aman?!
Padahal mereka teman laki-laki saya yang kayaknya nggak mungkin berbuat aneh-aneh. Tapi sedari kecil saya terbiasa untuk “tidak menarik perhatian lawan jenis”. Catcalling adalah hal yang serius efeknya.
Ketika berusia 10 tahun, saya pernah nggak berani kalau disuruh beli bumbu-bumbuan di warung tetangga. Alasannya, di ujung gang ada mas-mas yang lagi nongkrong dan mereka sering panggil-panggil dan suitin saya sambil ketawa. Bagi saya itu adalah pengalaman mengerikan karena selalu terjadi. Saya cuma mau beli merica di warung kenapa digituin? Saya sampai bolak-balik ngaca, emang ada yang salah sama baju saya, ada yang salah sama pakaian saya?
Bertahun-tahun setelah itu, saya masih melihat mbak-mbak yang curhat habis jadi korban catcalling dan melawan justru ditertawakan. Hannah Al-Rasyid yang marah-marah karena disuitin sama ojol justru dituduh ‘pilih-pilih’ kalau digodain. Catcalling dianggap sebagai terma yang mengada-ada, hanya berdasarkan kenyamanan cewek, kalau yang catcalling ganteng maka cewek nggak akan risih. Bahkan sesama cewek menganggap cewek lain hipokrit hanya karena menceritakan ketidaknyamanan jadi korban catcalling.
Dari sini saya agak pesimis, dunia ideal bagi perempuan itu memang susah terwujud. Lalu kalau ada orang yang bilang perjuangan feminis itu sudah nggak perlusaya harus jawab apa?
Dunia ideal perempuan #3 Andai saja laki-laki nggak terkekang sama toxic masculinity: wajib punya duit banyak sebelum menikah
Keadilan gender bukan hanya tentang perempuan. Maskulinitas yang dipaksakan juga bisa beracun dan punya efek domino. Terkadang suatu pasangan menunda pernikahan mereka hanya karena si laki-laki belum mampu beli rumah, belum mampu beli mobil, dan punya standar ‘mapan’ yang agak berlebihan.
Padahal, perempuan mungkin bisa turut bekerja buat mendongkrak finansial keluarga nantinya. Akibat toxic masculinity semacam ini muncullah sikap sok pahlawan dari laki-laki yang merasa mereka mampu dan kuat tanpa bantuan pasangannya, padahal sebagian sikap ini dilandasi gengsi aja. Perempuan lalu dianjurkan untuk nggak memikirkan hal ini dan ngurusin pekerjaan rumah aja. Serba salah. Mau urun rembug aja nggak boleh.
Dunia ideal perempuan #4 Korban pelecehan seksual nggak disalahkan dan nggak harus menikahi pelaku
Nggak perlu berdebat soal siapa yang salah kalau ada kasus pelecehan seksual. Jelas yang salah itu pelakunya. Lalu kenapa perempuan kerap dibilang salah karena bajunya, karena sikapnya yang dianggap mengundang, dan beberapa tuduhan nggak masuk akal lainnya. Pelecehan sudah terjadi, kita nggak sedang membicarakan tindakan preventif lagi.
Bahkan beberapa korban pelecehan diangga ‘kehormatannya’ sudah direnggut. Saya rasa satu-satunya yang kehormatannya terenggut jelas pelaku, karena dia tidak pantas dihormati lagi atas kejahatannya. Parahnya lagi ada korban yang dipaksa menikahi pelaku pelecehan seksual agar saat bayi lahir, dia mempunyai seorang bapak. Nggak ada perempuan yang ingin bersuami dengan pelaku pelecehan dengan alasan apa pun.
Korban seharusnya dapat pendampingan psikis dan dijauhkan dari trauma, bukannya suruh hidup bersama dengan pembawa trauma. Dunia ini kadang nggak masuk akal buat perempuan.
Kalau diruntut, akan ada banyak keinginan-keinginan tentang mewujudkan dunia ideal buat perempuan. Tapi membahasnya sedikit saja sudah bikin saya sedih.
BACA JUGA Penjelasan Sederhana Kenapa Siulan Bisa Dianggap Pelecehan Seksual atau artikel lainnya di POJOKAN.