MOJOK.CO – Pergi merantau itu cuma sebentar doang nggak enaknya. Kalau sudah terbiasa dan keasyikan, siap-siap saja nggak betah di rumah!
Sebagai orang yang lahir di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, saya terpaksa cabut dari kampung halaman saat akan menempuh pendidikan tinggi. Saya ingat, kota pertama yang berperan sebagai tanah rantau bagi saya adalah Bandung Sumedang, tepatnya di negara bagian Jatinangor.
Sebagai mahasiswi baru yang tengah mengalami pengalaman nyata jauh dari rumah setelah seumur hidup selalu bangun gara-gara diteriakin Ibu dan hampir disiram air sama Bapak, saya cukup menikmati pengalaman rantau pertama di Jatinangor. Namun, perlu diakui, pengalaman ini nggak membuat saya merasa cukup mandiri soalnya kamar kos sebelah saya adalah milik seseorang yang sudah saya kenal baik sejak berusia 0 tahun: kakak saya.
Yang Kami Alami Sebagai Perantau
Merantau bersama Kakak dianggap oleh teman saya sebagai sesuatu yang “mendingan”. Teman saya, perantau dari Jakarta, mengaku harus menangis setiap hari karena merasa rindu pada rumah. Ia menilai, rindu yang saya alami nggak akan terlalu besar karena ada kakak saya di sebelah.
Yang tidak ia ketahui, hampir setiap malam, kakak saya ngetawain saya sampai guling-guling karena saya selalu menangis setiap kali ibu saya menelepon.
Iya, saya selemah itu: langsung nangis begitu Ibu bilang, “Halo, Dek?” di ujung telepon.
Saya cuma bertahan dua seperempat semester di Jatinangor (terima kasih, ya, Alergi Dingin!) dan memutuskan pindah ke kota di mana hampir 97,34% teman-teman SMA saya melanjutkan pendidikan di sini: Jogja.
Jogja adalah kota rantau sungguhan bagi saya. Saya tidak lagi ngekos di sebelah kamar Kakak, meskipun setiap lima hari sekali kekasih saya saat itu datang dan mengajak makan di Olive Chicken. Namun begitu, tetap saja, saya berangkat ke universitas yang berbeda dengan Kakak dan berkenalan dengan orang yang tidak akan tahu-tahu bertanya, “Loh, kamu kan adeknya Anu, ya?” waktu saya lagi beli timun di pasar swalayan.
Bagaimana Rasanya Merantau Sungguhan?
Bagi saya, merantau adalah hal yang menyenangkan, sekaligus menyebalkan. Saya rasa, kamu bakal sepakat kalau saya bilang tinggal terpisah dengan keluarga akan membuat kita merasa lebih mandiri dan bebas, tapi bakal jadi sangat menyedihkan saat rindu tiba-tiba datang tanpa permisi, persis kayak gebetan yang hobi datang dan hilang.
Bahkan, saya yakin, kita semua pasti familier dengan adegan ini:
Sebagai anak yang hidup merantau, sesekali kamu pun dikunjungi oleh orang tuamu dari kota asal. Bersama keluarga, kamu bakal menghabiskan waktu keliling kota rantau, makan bersama (yang berarti “pengiritan” bagimu), lalu pergi ke tempat-tempat tertentu berdasarkan rekomendasimu.
Hari itu berlangsung sempurna hingga tiba waktunya keluargamu harus kembali ke rumah. Saat berpamitan, kamu pun merasakannya: rasa haru karena bakal ditinggal keluarga dan kembali hidup merantau sendirian.
Kamu pengin nangis, tapi malu. Iya, kan?
Benar, deh, dulu, merantau itu rasanya sungguh menyebalkan.
Pulang ke Rumah atau Pulang Merantau?
Saya sempat “berhenti” merantau setelah lulus kuliah dan kembali ke kampung halaman selama satu caturwulan. Jogja kembali “memanggil” saya selepas saya mengirimkan surat lamaran kerja hingga pada hari ini saya menuliskan apa yang sedang kamu baca.
Kalau dihitung-hitung, perantauan saya sudah berjalan selama sembilan tahun. Selama masa itu, saya sudah pernah nangis kejer gara-gara ditinggal Ibu dan Bapak di Jogja atau bahkan jatuh sakit dan harus opname selama hampir tiga minggu gara-gara stres merantau!
Tapi lihat; apa yang terjadi berikutnya?
Liburan Lebaran kemarin, saya sengaja pulang lebih awal. Niatnya, sih, membayar “utang” pulang yang selalu ditagih orang tua gara-gara saya mulai jarang kembali ke rumah. Di bayangan saya, pasti rasanya nikmat, deh, menyelesaikan tanggungan pekerjaan di kamar sendiri, sementara makanan masakan Ibu bisa saya santap kapan saja.
Tapi nyatanya, baru juga tiga hari di rumah, saya sudah kangen kosan. Kangen working space tempat saya biasa begadang sampai Subuh. Kangen kantor dan ikan di kolam belakangnya. Kangen kena macet di Jalan Kaliurang. Kangen ini. Kangen itu.
Teman-teman saya di kampung halaman kebanyakan sudah menikah, sudah punya anak pula. Tempat nongkrong susah ditemui, terlebih karena kota saya bukanlah kota besar. Orang tua dan adik saya masing-masing punya urusan sendiri-sendiri, yang kadang membuat saya harus pasrah di rumah sendirian. Belum lagi tekanan yang mendadak menyerang saya setiap kali pertanyaan basa-basi yang berulang selalu keluar dari mulut keluarga besar: “Mana pacarnya?”, “Nggak mau pindah kerja di sini aja?”, “Kapan nikah?”, dan lain sebagainya.
Bukan, tentu saja ini bukan berarti saya—dan kamu-kamu sekalian—tidak merindukan ibu, bapak, dan semua saudara yang menunggu di rumah. Tentu saja, rindu itu ada dan letaknya masih di posisi utama, tapi…
…oh, ayolah, kadang-kadang, seminggu berada di rumah rasanya terlalu lama dan membuat kita ingin cepat-cepat pulang merantau, kan?