MOJOK.CO – Teman kondangan yang tadinya berjumlah satu RT, tiba-tiba berubah jadi satu dasawisma, hingga satu meja kelas saja. Yah, namanya juga ditinggal nikah sahabat!
Di usia 22 tahun, seorang sahabat saya menikah. Saya bahagia, datang ke acara akad dan resepsinya sambil bergembira, berfoto bersama sahabat-sahabat yang lain. Kemudian, berturut-turut, pada usia selanjutnya sampai ke usia saya sekarang, ‘sahabat-sahabat yang lain’ ini mulai naik ke pelaminan satu per satu. Teman kondangan saya yang tadinya satu RT, tiba-tiba berubah jadi satu dasawisma, hingga satu meja kelas saja.
Ya, ya, ya, kalau orang-orang banyak yang sedih membayangkan ditinggal nikah mantan, agaknya mereka lupa bahwa ditinggal nikah sahabat tak kalah pedihnya.
*siapin tisu*
O, jangan salah sangka. Berita pernikahan sahabat tentu menjadi hal menyenangkan bagi kita. Iya, kan, Ladies??? Yang menjadi buntut-buntut dari kegalauan adalah pertanyaan tak berkesudahan: nanti kita main sama siapa, dong???
Dulu, seorang sahabat yang baru selesai curhat pada saya, lantas bertanya, “Kalau kamu suatu hari nikah, aku gimana, ya?” Demi melihat muka saya yang shock, dia melanjutkan, “Maksudnya, kita kan nggak bisa sebebas ini lagi ketemu, terus main sampai lamaaaaa banget.”
NAH ITU DIAAA!!!!11!!!!1!!!
Ketakutan terbatasnya kesempatan berjumpa dengan sahabatlah yang akan menghantui kita. Kalau biasanya kita makan kuaci bareng (dia yang ngupasin, kita yang makan kacangnya), nonton film bareng (dia yang pesenin online dan transfer, kita ngganti uangnya pas filmnya udah selesai), jalan-jalan bareng (dia yang jemput kita di kosan soalnya kita nggak bisa naik motor), atau bahkan belanja bareng dan muter-muter nggak jelas, apakah kita bisa mengalami hal itu lagi, sementara dia sudah harus fokus mengurus suaminya dan—kelak—anak-anaknya???
Ya, Saudara-saudara, keberadaan anak tentu tidak bisa dipisahkan dari hubungan pernikahan. Meski bayi itu lucunya kebangetan dan bikin kita ikut senang karena dipanggil onty, bayi-bayi inilah yang bisa saja menjadi ‘penghalang’ bagi urgensi kita menghubungi sahabat. Pernah, suatu hari, hati saya patah berkeping-keping dan satu-satunya hal yang ingin saya lakukan adalah bercerita pada sahabat saya. Di WhatsApp, balasannya sederhana: “Nanti, ya. Aku aja yang telepon. Habis anakku tidur, ya.”
(((“Habis anakku tidur, ya.”)))
O, tidak, tidak, tentu saja saya tidak membenci anak sahabat saya. Saya hanya tersadar bahwa sahabat saya sudah menikah dan saya harus bisa menghargai batasan-batasan alami yang muncul berdasarkan waktu yang berjalan. Eaaa~
Bukan cuma soal hubungan antara kita dan si sahabat, keadaan mental kita pun bisa saja goyang-goyang kayak mainan boneka per di dashboard mobil. Kita yang tadinya biasa-biasa saja terhadap umur dan pernikahan, tahu-tahu jadi panik gara-gara semua tamu di kondangan pernikahan sahabat seakan-akan bertanya, “Kamu kapan nyusul??? Temenmu aja udah nikah, masa kamu belum???”
Hadeeeeh, emangnya nikah itu pendaftaran anak baru di SMA, sampai harus bareng-barengan??? Emangnya nikah itu karnaval 17 Agustus, sampai harus bareng-barengan??? Kok dulu pas kita lulus kuliah duluan, si sahabat nggak ditanya kayak gitu juga, sih??? Apakah karena lulus kuliah tidak seseksi pencapaian menikah???
Meski menyebalkan, keadaan ini memang bisa membuat hati dag-dig-dug, atau bahkan jug-gijag-gijug seperti kereta malam. Apalagi, lama-lama, sahabat-sahabat kita pun mulai dinikahi pasangannya satu per satu. Ketakutan-ketakutan seperti “Kok aku belum nikah-nikah juga, ya, padahal temenku anaknya udah 12???”, “Kok aku belum ada yang ngelamar, ya, padahal aku udah pasang lowongan di koran???”, atau “Kok pacarku belum ngajak-ngajak nikah, ya? Jangan-jangan orang tuanya nggak bisa menerima aku jadi menantu???” pun berlari-larian di kepala tanpa henti. Sialnya, kegelisahan ini pun harus disimpan dulu dalam-dalam, mengingat sahabat tempat kita curhat sedang sibuk mengurus suami dan bikin MPASI.
Tapi begini, Ladies-ladies yang dimuliakan Allah~
Meski ditinggal nikah sahabat itu cukup nyesek dan tak kalah gemuruhnya dibandingkan dengan ditinggal nikah mantan, kita tetap harus bersikap realistis. Sampai kapan kita mau meratap dan menangis dalam kesendirian? Lagi pula, sahabat kita kan sedang bergembira—masa iya kita malah sedih dan nangis-nangis?
Saran saya, luapkan sedihmu dalam ucapan dan doa pernikahan saja. Titik. Tak perlu berlama-lama pasang muka sedih di depannya—bukankah itu justru membuatnya terbebani? Percayalah, dia pasti merasakan hal yang sama denganmu, tapi jodohnya sendiri sudah tiba. Nggak mungkin kan dia nikahnya nungguin kamu juga, padahal kamu aja masih jomblo dan belum pengin nikah??? Hmm???
Dengan ditinggal nikah sahabat, kamu sesungguhnya sedang belajar hal baru: bagaimana kamu bisa fokus pada dirimu sendiri, belajar pergi ke kafe dan nongkrong sendirian, belajar nonton film di bioskop sendirian, atau bahkan mencari teman dekat baru, tanpa perlu melupakan si sahabat. Ingat: kamu dan dia akan tetap bersahabat selamanya. Uwuwuwu~
Yaaah, bedanya sekarang, sih, cuma satu: dia kini bisa bergerak mendekat ke telingamu dan berbisik, “Kamu kapan nikah, Mblo, kayak aku?” lalu menertawakan kita 3 hari 3 malam. KZL!!!