MOJOK.CO – Di stasiun kereta api, tukang ojek pangkalan itu pantang menyerah, mereka berusaha mempertahankan sisa-sisa kejayaannya.
Kemajuan teknologi pada akhirnya melahirkan ojek-ojek online dan melibas ojek pangkalan. Ini hal yang sebenarnya memang tak bisa dihindari. Kehidupan yang berderap semakin digital memang bakal menggusur banyak hal. Ojek pangkalan salah satunya.
Menolak ojek online sama saja dengan melawan zaman. Bukan hanya percuma, namun juga sudah jelas hasilnya.
Kondisi tersebut membuat banyak ojek pangkalan mulai berkompromi dengan keadaan. Banyak yang kemudian ikut beralih menjadi ojek online, banyak pula yang kemudian memutuskan untuk mencari pekerjaan baru, pun tak sedikit yang enggan menyerah dan memilih tetap menjadi ojek pangkalan dengan segenap kesadaran bahwa keberadaan mereka mulai tersisih.
Di banyak tempat, kita mungkin masih bisa menemukan orang-orang yang enggan menyerah dan “keras kepala” ini. Namun bagi saya, tak ada tempat di mana saya bisa bertemu dengan mereka lebih sering selain di stasiun kereta.
Stasiun memang menjadi satu dari sedikit tempat di mana para tukang ojek pangkalan masih bisa mempertahankan wilayahnya. Di stasiunlah mereka masih bisa memberikan perlawanan tipis-tipis terhadap gempuran zaman.
Mereka sadar bahwa zaman sudah mengalahkan mereka. Telak. Namun mereka juga sadar, bahwa selalu tersisa kemenangan-kemenangan kecil yang masih bisa mereka menangkan. Dan sayalah salah satu bagian dari kemenangan kecil yang bisa mereka menangkan itu.
Tiap kali turun dari stasiun dan berjalan menuju pintu keluar, saya hampir pasti sudah menyiapkan ponsel untuk memesan ojek online melalui aplikasi. Namun, rencana itu selalu tumpas seiring dengan hadirnya pria-pria tua “keras kepala” yang enggan menyerah itu.
Mereka menawarkan saya jasa ojek mereka. Tentu dengan tarif yang jauh lebih mahal ketimbang tarif ojek online. Dan entah kenapa, saya selalu saja kalah. Saya pada akhirnya memutuskan untuk memilih mereka alih-alih melanjutkan rencana untuk menggunakan ojek online.
Saya sadar, bahwa itu hal yang bodoh. Bukan hanya soal tarif, namun juga soal motor yang kadang jauh lebih buruk dan butut ketimbang ojek online. Helm yang lebih kacau sebab tiap kali melewati polisi tidur, bahkan dengan ketinggian yang tidak seberapa, kaca helmnya langsung turun sendiri.
Kalau hanya satu kali, saya masih bisa memaklumi. Namun itu terjadi berkali-kali, bahkan nyaris setiap kali saya singgah di stasiun mana pun ketika saya harus bepergian ke luar kota.
Kekalahan-kekalahan yang beruntun itu membuat saya sadar akan satu hal, bahwa saya menikmati kekalahan itu. Ada semacam kepuasan tiap saya memutuskan untuk lebih memilih menggunakan jasa ojek pangkalan di stasiun ketimbang ojek online.
Bukan, ini bukan sejenis perasaan iba atau kasihan, ini lebih kepada perasaan penghormatan atas usaha tukang ojek pangkalan itu.
Tak adil rasanya jika saya lebih memilih menggunakan jasa ojek online yang bisa langsung saya pesan melalui aplikasi ketika ada orang yang jelas-jelas ada di depan saya, mengikuti langkah-langkah saya saat berjalan sembari menawarkan jasanya. Pada titik itulah kekalahan itu selalu berawal.
“Sudah lama ngojek di stasiun, Pak?” Tanya saja suatu ketika pada lelaki penarik ojek stasiun yang saya taksir berumur 60-an tahun. Saya naik dari Stasiun Tugu menuju rumah saya di sekitaran Jalan Kaliurang.
“Sudah lama, Mas. Sudah 20 tahun,” jawabnya sambil memacu motornya dengan kecepatan yang amat di bawah rata-rata.
Mendengar jawaban itu, saya tentu saja agak kaget. 20 tahun tentu bukan waktu yang sebentar. Saya susah membayangkan ada orang yang bersetia menjadi tukang ojek pangkalan selama itu.
“Penumpang masih banyak, Pak?” Tanya saya lagi. Ini tentu saja pertanyaan retoris belaka. Akal waras pasti paham bahwa jumlah penumpang ojek pangkalan jelas sudah tidak sebanyak dulu.
“Jauh banget, Mas,” jawabnya, “Dulu sehari bisa narik sampai enam atau tujuh penumpang, kalau sekarang bisa dapat dua aja sudah bagus, Mas. Ini saya seharian cuma dapat satu penumpang, ya Mas ini.”
Jawaban tersebut membuat saya tercekat. Tenggorokan saya jadi agak susah untuk sekadar menelan ludah. Saya jadi memaklumi kenapa ia mematok tarif yang tinggi. Saya membayarnya 50 ribu rupiah, padahal seandainya saya menggunakan ojek online, tarif yang harus saya bayar hanya 17 ribu rupiah.
“Kenapa nggak daftar jadi tukang ojek online saja, Pak?”
“Saya nggak mudeng pakai hape model sekarang, nggak mudeng aplikasi-aplikasian, pernah diajari sama temen, tetep nggak bisa, Mas. Lagipula, motor saya ini katanya nggak bisa kalau dipakai buat ngojek online, ketuaan.”
“Nggak kepikiran buat cari kerjaan lain, Pak?”
“Alah, Mas. Saya ini sudah puluhan tahun jadi tukang ojek pangkalan di stasiun, mau kerja apa lagi? Sama sebeneranya, saya ini masih punya langganan penumpang. Ada tiga orang. Yang satu rumahnya Depok, yang dua lagi Maguwo. Ya mereka naiknya nggak sering, paling sebulan sekali. Tapi mereka kalau pas ke pulang dari luar kota, pasti naiknya sama saya. Mereka kelihatannya sudah cocok sama saya. Mangkanya, saya agak sayang kalau nggak ngojek lagi.”
Jawaban tersebut membuat saya jauh lebih tercekat ketimbang jawaban atas pertanyaan tentang jumlah penumpang tadi. Keputusan yang konyol, namun juga mengharukan. Padahal saya yakin langganan si Bapak tak akan kerepotan mencari tukang ojek lain seandainya ia berhenti menjadi tukang ojek. Sungguh, ini sejenis kesetiaan yang ganjil.
Kelak, jawaban itulah yang kemudian membuat saya memutuskan untuk terus terus menggunakan ojek pangkalan di stasiun.
Ini bukan saja untuk mendukung orang-orang yang sedang menghabiskan sisa-sisa kejayaan masa lalunya. Lebih dari itu, keputusan tersebut saya anggap sebagai bentuk kekaguman saya pada mereka.
Kalau tukang ojek pangkalan itu saja bisa bersetia pada pekerjaannya hanya karena tiga pelanggan, maka rasanya tak ada alasan bagi saya untuk tak bersetia pada ojek pangkalan.
BACA JUGA Nalar Pincang Sinetron Tukang Ojek Pengkolan yang Lebih Baik Bungkus Saja dan artikel AGUS MULYADI lainnya.