Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Di Stasiun Kereta Api, Saya Memilih Bersetia pada Tukang Ojek Pangkalan

Agus Mulyadi oleh Agus Mulyadi
11 Juli 2021
A A
ok-jek, zendo, ojol.MOJOK.CO

Bukan Zendo apalagi NUJEK, Ojol Paling Manusiawi Itu Bernama OK-JEK, Kesejahteraan Driver Lebih Terjamin

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Di stasiun kereta api, tukang ojek pangkalan itu pantang menyerah, mereka berusaha mempertahankan sisa-sisa kejayaannya.

Kemajuan teknologi pada akhirnya melahirkan ojek-ojek online dan melibas ojek pangkalan. Ini hal yang sebenarnya memang tak bisa dihindari. Kehidupan yang berderap semakin digital memang bakal menggusur banyak hal. Ojek pangkalan salah satunya.

Menolak ojek online sama saja dengan melawan zaman. Bukan hanya percuma, namun juga sudah jelas hasilnya.

Kondisi tersebut membuat banyak ojek pangkalan mulai berkompromi dengan keadaan. Banyak yang kemudian ikut beralih menjadi ojek online, banyak pula yang kemudian memutuskan untuk mencari pekerjaan baru, pun tak sedikit yang enggan menyerah dan memilih tetap menjadi ojek pangkalan dengan segenap kesadaran bahwa keberadaan mereka mulai tersisih.

Di banyak tempat, kita mungkin masih bisa menemukan orang-orang yang enggan menyerah dan “keras kepala” ini. Namun bagi saya, tak ada tempat di mana saya bisa bertemu dengan mereka lebih sering selain di stasiun kereta.

Stasiun memang menjadi satu dari sedikit tempat di mana para tukang ojek pangkalan masih bisa mempertahankan wilayahnya. Di stasiunlah mereka masih bisa memberikan perlawanan tipis-tipis terhadap gempuran zaman.

Mereka sadar bahwa zaman sudah mengalahkan mereka. Telak. Namun mereka juga sadar, bahwa selalu tersisa kemenangan-kemenangan kecil yang masih bisa mereka menangkan. Dan sayalah salah satu bagian dari kemenangan kecil yang bisa mereka menangkan itu.

Tiap kali turun dari stasiun dan berjalan menuju pintu keluar, saya hampir pasti sudah menyiapkan ponsel untuk memesan ojek online melalui aplikasi. Namun, rencana itu selalu tumpas seiring dengan hadirnya pria-pria tua “keras kepala” yang enggan menyerah itu.

Mereka menawarkan saya jasa ojek mereka. Tentu dengan tarif yang jauh lebih mahal ketimbang tarif ojek online. Dan entah kenapa, saya selalu saja kalah. Saya pada akhirnya memutuskan untuk memilih mereka alih-alih melanjutkan rencana untuk menggunakan ojek online.

Saya sadar, bahwa itu hal yang bodoh. Bukan hanya soal tarif, namun juga soal motor yang kadang jauh lebih buruk dan butut ketimbang ojek online. Helm yang lebih kacau sebab tiap kali melewati polisi tidur, bahkan dengan ketinggian yang tidak seberapa, kaca helmnya langsung turun sendiri.

Kalau hanya satu kali, saya masih bisa memaklumi. Namun itu terjadi berkali-kali, bahkan nyaris setiap kali saya singgah di stasiun mana pun ketika saya harus bepergian ke luar kota.

Kekalahan-kekalahan yang beruntun itu membuat saya sadar akan satu hal, bahwa saya menikmati kekalahan itu. Ada semacam kepuasan tiap saya memutuskan untuk lebih memilih menggunakan jasa ojek pangkalan di stasiun ketimbang ojek online.

Bukan, ini bukan sejenis perasaan iba atau kasihan, ini lebih kepada perasaan penghormatan atas usaha tukang ojek pangkalan itu.

Tak adil rasanya jika saya lebih memilih menggunakan jasa ojek online yang bisa langsung saya pesan melalui aplikasi ketika ada orang yang jelas-jelas ada di depan saya, mengikuti langkah-langkah saya saat berjalan sembari menawarkan jasanya. Pada titik itulah kekalahan itu selalu berawal.

Iklan

“Sudah lama ngojek di stasiun, Pak?” Tanya saja suatu ketika pada lelaki penarik ojek stasiun yang saya taksir berumur 60-an tahun. Saya naik dari Stasiun Tugu menuju rumah saya di sekitaran Jalan Kaliurang.

“Sudah lama, Mas. Sudah 20 tahun,” jawabnya sambil memacu motornya dengan kecepatan yang amat di bawah rata-rata.

Mendengar jawaban itu, saya tentu saja agak kaget. 20 tahun tentu bukan waktu yang sebentar. Saya susah membayangkan ada orang yang bersetia menjadi tukang ojek pangkalan selama itu.

“Penumpang masih banyak, Pak?” Tanya saya lagi. Ini tentu saja pertanyaan retoris belaka. Akal waras pasti paham bahwa jumlah penumpang ojek pangkalan jelas sudah tidak sebanyak dulu.

“Jauh banget, Mas,” jawabnya, “Dulu sehari bisa narik sampai enam atau tujuh penumpang, kalau sekarang bisa dapat dua aja sudah bagus, Mas. Ini saya seharian cuma dapat satu penumpang, ya Mas ini.”

Jawaban tersebut membuat saya tercekat. Tenggorokan saya jadi agak susah untuk sekadar menelan ludah. Saya jadi memaklumi kenapa ia mematok tarif yang tinggi. Saya membayarnya 50 ribu rupiah, padahal seandainya saya menggunakan ojek online, tarif yang harus saya bayar hanya 17 ribu rupiah.

“Kenapa nggak daftar jadi tukang ojek online saja, Pak?”

“Saya nggak mudeng pakai hape model sekarang, nggak mudeng aplikasi-aplikasian, pernah diajari sama temen, tetep nggak bisa, Mas. Lagipula, motor saya ini katanya nggak bisa kalau dipakai buat ngojek online, ketuaan.”

“Nggak kepikiran buat cari kerjaan lain, Pak?”

“Alah, Mas. Saya ini sudah puluhan tahun jadi tukang ojek pangkalan di stasiun, mau kerja apa lagi? Sama sebeneranya, saya ini masih punya langganan penumpang. Ada tiga orang. Yang satu rumahnya Depok, yang dua lagi Maguwo. Ya mereka naiknya nggak sering, paling sebulan sekali. Tapi mereka kalau pas ke pulang dari luar kota, pasti naiknya sama saya. Mereka kelihatannya sudah cocok sama saya. Mangkanya, saya agak sayang kalau nggak ngojek lagi.”

Jawaban tersebut membuat saya jauh lebih tercekat ketimbang jawaban atas pertanyaan tentang jumlah penumpang tadi. Keputusan yang konyol, namun juga mengharukan. Padahal saya yakin langganan si Bapak tak akan kerepotan mencari tukang ojek lain seandainya ia berhenti menjadi tukang ojek. Sungguh, ini sejenis kesetiaan yang ganjil.

Kelak, jawaban itulah yang kemudian membuat saya memutuskan untuk terus terus menggunakan ojek pangkalan di stasiun.

Ini bukan saja untuk mendukung orang-orang yang sedang menghabiskan sisa-sisa kejayaan masa lalunya. Lebih dari itu, keputusan tersebut saya anggap sebagai bentuk kekaguman saya pada mereka.

Kalau tukang ojek pangkalan itu saja bisa bersetia pada pekerjaannya hanya karena tiga pelanggan, maka rasanya tak ada alasan bagi saya untuk tak bersetia pada ojek pangkalan.


BACA JUGA Nalar Pincang Sinetron Tukang Ojek Pengkolan yang Lebih Baik Bungkus Saja dan artikel AGUS MULYADI lainnya.

Terakhir diperbarui pada 11 Juli 2021 oleh

Tags: ojek onlineojek pangkalan
Agus Mulyadi

Agus Mulyadi

Blogger, penulis partikelir, dan juragan di @akalbuku. Host di program #MojokMentok.

Artikel Terkait

Jadi ojol di Malang disuruh nyekar ke Makam Londo Sukun. MOJOK.CO
Liputan

Driver Ojol di Malang Pertama Kali Dapat Pesanan Bersihin Makam dan Nyekar di Pusara Orang Kristen, Doa Pakai Al-Fatihah

16 November 2025
Driver ojek online (ojol) Semarang cari untung di tengah kebingungan penumpang MOJOK.CO
Ragam

Siasat Ojol Semarang Mencari Keuntungan di Tengah Kebingungan Penumpang

5 November 2025
4 atribut driver ojek online (ojol) yang kerap jadi bahan olok-olok MOJOK.CO
Ragam

4 Etika ke Driver Ojol agar Tak Sakiti Hati, Hanya Perlu Dimaklumi

28 September 2025
promo ojol, driver ojol.MOJOK.CO
Ragam

Cerita Para Penikmat Promo Ojol yang Bertahan Hidup dari Potongan Harga

7 Juli 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Para penyandang disabilitas jebolan SLB punya kesempatan kerja setara sebagai karyawan Alfamart berkat Alfability Menyapa MOJOK.CO

Disabilitas Jebolan SLB Bisa Kerja Setara di Alfamart, Merasa Diterima dan Dihargai Potensinya

2 Desember 2025
Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

Transformasi Wayang dalam Sejarah Peradaban Jawa

30 November 2025
pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.