Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Cita-Cita Masa Kecil Seharusnya Bukan Jadi Dokter, tapi…

Aprilia Kumala oleh Aprilia Kumala
26 Februari 2019
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Sudah tahu hidup orang dewasa itu keras, kenapa cita-cita masa kecil tidak langsung saja dirancang untuk menghadapi masa-masa sulit?

“Cita-citamu apa?”

Waktu duduk di bangku SD, pertanyaan ini rasanya sering kali terdengar. Saya—dan teman-teman—bakal menjawab dengan antusias, dengan keyakinan yang luar biasa tinggi: “Jadi dokter!”, “Jadi polisi!”, atau “Jadi presiden!”.

Sewaktu masih aktif mengajar anak-anak SD, saya pun menanyakan hal yang sama pada murid-murid di kelas: apa cita-cita yang kamu miliki?

Kertas jawaban mereka bertabur mimpi: ada yang ingin jadi model, jadi bos, jadi suami, jadi barista, jadi artis, atau jadi tentara. Cita-cita masa kecil, pada bayangan mereka, adalah mimpi indah yang bakal menyuarakan kemenangan di masa depan, kebanggaan yang bisa menjamin hidup bahagia. Eaaaa~

Saya tidak pernah ingin menjadi dokter, tapi jelas saya pernah punya cita-cita masa kecil. Perkara cita-cita itu terkabul atau tidak adalah hal yang lain, tapi saya juga jadi bertanya-tanya…

…seberapa penting, sih, punya cita-cita??? Terus, memangnya cita-cita harus selalu berwujud profesi aja, ya??? Kenapa kita (hah, kita???) malah tanpa sadar mendorong generasi muda untuk mencita-citakan sesuatu yang terbatas pada lingkungan pekerjaan, padahal kita tahu bahwa hidup orang dewasa itu keras dan bisa jadi sangat menyebalkan???

Padahal, mengingat prinsip “ucapan adalah doa”, sepertinya akan jadi jauh lebih baik kalau cita-cita masa kecil dirancang dengan lebih banyak pertimbangan, matang secara mental, dan berisi harapan-harapan yang langsung diadakan demi menghadapi masa-masa sulit (halah!) sebagai berikut:

Pertama, cita-cita menjadi orang-yang-kuat-saat-menyadari-dirinya-didatangi-teman-cuma-waktu-ada-butuhnya-doang. Mamam~

Hey, hey, hey, tolong jangan tertawa. Nyatanya, fenomena ini kerap terjadi di dalam dunia kehidupan orang dewasa dan kian terasa saat lingkar pertemanan kian menyempit. Kawan yang sudah lama tak terdengar kabarnya bisa tiba-tiba datang, bertanya kabar, bersikap sangat baik, eh ternyata mau minta tolong agar kita jadi panitia pemugaran rumah pribadinya.

Kedengaran aneh? Memang, tapi—well, kehidupan juga bisa seaneh itu, Surnyoto. Percaya, deh.

Dan kalau kita tidak menyiapkan diri untuk menjadi orang yang kuat, siap-siap saja—ambyar kowe!

Kedua, cita-cita menjadi orang-yang-kreatif-bertahan-hidup-waktu-dompet-sedang-tipis.

Sekali lagi, tolong jangan tertawa. Sebaiknya, kamu-kamu ini introspeksi, lah: ngapain, sih, anak-anak kecil diajarin bercita-cita jadi dokter atau polisi terus??? Biar uangnya banyak, gitu??? Lantas, kamu pikir jadi kru Mojok nggak pantas untuk dicita-citakan apakah mereka juga bakal siap menghadapi kenyataan hidup kalau sewaktu-waktu mereka bakal kehabisan uang dan miskin mendadak??? Hmm???

Iklan

Konon, salah satu pelajaran hidup yang penting adalah kala kita (hah, kita???) berada pada situasi ekonomi yang sulit. Kalau dari kecil aja kita nggak diajak untuk bersiap-siap menghadapi badai ekonomi pribadi begini, mau jadi apa kita??? Jadi kru Mojok???

Ketiga, cita-cita menjadi orang-yang-tetap-waras-saat-patah-hati.

Karena dulu saya nggak pernah pacaran di bangku SD, saya nggak tahu rasanya putus cinta di kelas 3. Namun, melalui investigasi mendadak, teman-teman yang pernah pacar-pacaran dengan seragam putih-merah pun mengaku bahwa “udahan” ala mereka waktu itu terasa biasa dan nggak sedih-sedih amat.

Naaaah, bagi pelaku cinta monyet dan orang-orang yang saat itu nggak pernah pacaran—iya, kayak saya—pendidikan menghadapi patah hati pun masih sangat minim. Alhasil, kita cenderung menganggap hal ini adalah hal yang nggak sepatutnya menjadi persoalan yang urgen. Padahal, FYI aja nih, patah hati dan putus cinta kadang bisa membuat orang sakit luar biasa, down, membenci diri sendiri, menutup diri dari lingkungan, percaya diri yang rendah, dan—ah, sebutkan saja kesakitan-kesakitan itu, Subroto, sebutkaaaan~

Yang jelas, kalau kita nggak kokoh seperti baja, patah hati bisa membuat diri kita hancur berkeping-keping sampai tak bisa bangkit lagi, persis kayak Tom di serial Tom and Jerry pas lagi kepentok dan badannya kepotong jadi 78 bagian.

Keempat, cita-cita menjadi orang-yang-tidak-mabuk-agama-dan-politik-menjelang-pilpres.

Seperti yang telah diyakini banyak orang, Pilpres 2019 adalah pilpres paling absurd yang terjadi dalam sejarah perpolitikan Indonesia. Sedikiiiiit saja ada perbedaan pandangan antara kamu dan orang terdekatmu, sebuah perpecahan mungkin saja terjadi. Di Pilpres 2014 saja saya pernah bertengkar dengan pacar gara-gara kami mendukung kubu yang berbeda—apa yang bakal terjadi, coba, kalau kami masih pacaran sampai tahun 2019??? Baku hantam???

Ya, Saudara-saudara: pilpres memang bisa seaneh itu. Siap-siap saja WhatsApp-mu dibanjiri broadcast-broadcast propaganda, bahkan pintu rumahmu diketuk untuk kampanye door-to-door. Mengaku tak punya jagoan pun bukan pilihan yang bijak-bijak amat karena bakal langsung diprospek untuk mendukung salah satu calon dengan alasan, “Eman-eman hak pilihmu.”

Padahal, mah, nge-like atau nge-retweet cuitan dukungan untuk salah satu calon saja bisa berujung kepada stigma diri sebagai cebong atau kampret, lantas bakal terseret-seret ke “arena pertarungan” yang sengit dan penuh hoaks menyesatkan.

Duh, Dek, segeralah ganti cita-citamu yang jadi dokter. Semoga kamu bercita-cita jadi orang waras dan kuat saja, ya.

Terakhir diperbarui pada 12 Agustus 2021 oleh

Tags: cebongcita-cita masa keciljadi dokterkampretPatah HatiPilpres 2019
Aprilia Kumala

Aprilia Kumala

Penulis lepas. Pemain tebak-tebakan. Tinggal di Cilegon, jiwa Banyumasan.

Artikel Terkait

Refleksi Akhir Tahun: Kisah-kisah Move On Karena Cinta yang Kandas MOJOK.CO
Ragam

Refleksi Akhir Tahun: Kisah-kisah Move On dari Cinta yang Kandas

26 Desember 2023
patah hati mojok.co
Liputan

Derita dan Tawa Patah Hati: Nangis-nangis Dahulu, Merayakan Kemudian

26 Juni 2023
merayakan patah hati mojok.co
Hiburan

Pengin Merayakan Patah Hati Bersama Mojok, Simak Nih Caranya!

17 Juni 2023
ratna sarumpaet
Kotak Suara

Lama Tak Terdengar, Ratna Sarumpaet Luncurkan Buku dan Bongkar Liarnya Dunia Politik

19 Februari 2023
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.