MOJOK.CO – BMT Pesantren merupakan bank yang menjaga duit nasabah dengan sangat ketat. Saking ketatnya, bahkan nasabahnya pun kesulitan ambil duitnya sendiri.
Jika pada umumnya bank punya aturan khusus batas penarikan duit nasabah pada angka puluhan sampai ratusan juta, maka Baitul Maal wa Tamwil (BMT) Pesantren punya batas penarikannya sendiri. Tidak 50 juta, tidak 1 juta, melainkan…
….
… setiap penarikan duit.
BMT Pesantren adalah perwujudan bank yang menjaga duit nasabah dengan sangat ketat. Saking ketatnya, bahkan nasabahnya pun suka kesulitan buat ambil duitnya sendiri. Tak lain tak bukan karena birokrasi penarikan duit selalu penuh aroma interogasi dari tellernya dan karena nasabah rata-rata merupakan santri pondok pesanten.
Ini pengalaman yang hampir dialami oleh seluruh santri di Indonesia yang pondok pesantrennya memiliki BMT. Bank level lokal yang terafiliasi khusus dengan Yayasan pesantren.
Pada dasarnya, sulitnya menarik duit ini cukup dipahami. Seorang santri, yang biasanya berusia belasan tahun tidak diperbolehkan memegang duit cash berlebihan ketika mondok. Oleh karena itu, sangat wajar kalau banyak pesantren biasanya meminta santrinya untuk menyimpan duit di BMT Pesantren.
Masalahnya adalah, sudah banyak kisah-kisah tragis yang bikin nggerus ulu ati ketika seorang santri akan ngambil duitnya sendiri di BMT. Contoh dialog aneh semacam ini bakal terjadi (tokoh cerita menggunakan peran pengganti):
“Pak, mau ambil duit?” tanya santri sambil menyodorkan buku tabungan BMT.
“Berapa, dek?” tanya teller BMT yang juga kang-kang pondok.
“20 ribu,” tanya si santri lagi.
(((20 ribu)))
….
Si petugas lalu melacak intensitas penarikan duit si santri.
“Tiga hari kemarin kamu udah ngambil 20 ribu kok, Dek. Ini buat apa lagi?” tanya si teller.
Yaelah, Kaaang, 20 ribu tiga hari itu kalau buat beli cilok terus ya tetep bisa habis juga. Dikira duit 20 ribu itu bisa idup abadi apa yak?
Lalu biasanya si santri akan berpikir mencari-cari alasan agar uangnya sendiri bisa cair.
“Buat beli kitab, Kang,” kata si santri.
Ini adalah alasan paling rasional, biasanya mujarab, dan bikin lemah teller BMT karena kitab adalah kebutuhan mendasar santri. Jauh lebih mendasar ketimbang beli sikat gigi.
“Kitab apa memang?” tanya kang-kang teller BMT.
Yak, interogasi udah dimulai sodara-sodara.
“Kitab Al-Fiyah, Kang,” kata si santri.
“Kitab Al-Fiyah kan harganya cuma 12 ribu. Ini kenapa kamu ngambil 20 ribu, dek?” tanya si teller BMT penuh selidik.
Mampus, deh. Kena korting. Dari yang tadi ngira bakal dapet duit 20 ribu, jadi kepotong 8 ribu.
“Ya udah, Kang, ambil 12 ribu aja,” kata si santri.
Apakah masalah beres? Apakah dengan mengikhlaskan bayangan duit 20 ribu di tangan menjadi 12 ribu bakal menyelesaikan masalah?
Oh, tidak semudah itu, Sulaiman. Karena teller BMT Pesantren selalu punya cara.
“Ini aku ada kitab Al-Fiyah bekas, Dek. Kalau kamu mau pakai, pakai aja. Nggak usah beli,” kata si teller kang-kang pondok.
“Ta, tapi, Kang. Berarti duit saya?” tanya si santri memelas.
“Ya nggak usah ngambil, kan tadi katanya buat beli kitab. Sekarang kitabnya udah ada. Buat apalagi duitnya?” tanya si teller kang-kang pondok yang biasanya emang udah jadi musuh bersama santri sepesantren.
Lalu si santri bakal mendapatkan buku tabungannya lagi. Sedih, karena duitnya gagal ditarik hari itu. Berjalan gontai keluar dari gedung BMT.
Di depan gedung biasanya akan berkerumun teman-teman santrinya yang lain.
“Gimana? Sukses? Bisa narik?” tanya temen si santri.
“Gagal. Sekarang gantian kamu,” kata si santri menepuk bahu temannya. Seolah akan berangkat ke medan perang.
“Sukses ya?” kata teman-teman yang lain memberi semangat penuh haru seolah si santri nggak bakal bisa keluar dari gedung BMT Pesantren lagi.
Hal ini bakal jadi rutinitas tiap awal bulan. Ketika uang kiriman orang tua dialamatkan ke BMT, pemandangan ini adalah pemandangan umum. Jika pelajar biasanya girang luar biasa mendapatkan duit kiriman dari orang tua, maka tiap awal bulan santri akan memikirkan langkah-langkah paling masuk akal agar duitnya bisa cair dari BMT Pesantren.
Sulitnya menarik uang di BMT Pesantren ini sebenarnya sedikit kurang masuk akal. Memang sih, membiarkan pemuda belasan tahun pegang duit banyak-banyak itu kurang bijak, tapi ya nggak terus nggak dikasih kesempatan pegang duit sendiri juga dong. Apalagi ditanya-tanyain kayak petugas Imigrasi begitu.
Memangnya kejahatan macam apa aja yang bisa dilakukan seorang santri ketika ia punya duit 20 ribu di kantong? Beli pistol buat begal orang? Kulakan narkoba buat jadi pengedar? Atau melakukan perdagangan manusia?
Halah, kejahatan paling banter seorang santri paling juga main PS di rentalan, nonton konser diam-diam, atau cabut ke warnet doang. Meski begitu, teller BMT selalu mencurigai seorang santri yang ngambil duit seolah-olah si santri bakal mau beli korek dan bensin buat bakar pondok pesantrennya sendiri. Terus dalam bayangan si teller, pesantrennya bakal masuk berita nasional dengan judul:
“SEORANG SANTRI MEMBAKAR GEDUNG BMT PESANTREN KARENA TIDAK BOLEH AMBIL DUITNYA SENDIRI BUAT BELI CIRENG DAN TEH ANGET.”
Ya, kalau itu terjadi di masa depan, saya nggak kaget sih. Pfft.
BACA JUGA Seberapa Gereget sih Kamu Ketika Jadi Santri? atau tulisan soal penderitaan SANTRI lainnya.