MOJOK.CO – Jaman sekarang, memanggil ‘Kak’ saja bisa menjadi sebuah masalah.
“Saya belum cukup bisa memahami jenis orang yang punya nama unisex trus profpic di akunnya foto berdua sama pasangan. Giliran dipanggil ‘Mas’ dia jawab ‘Aku cewek Maaass!’ Lha kalo gituan kenapa gak pasang foto diri sendiri aja ya. Apakah kebersamaan setiap saat sepanjang hayat itu wajib berlangsung hingga ke ruang-ruang profpic?”
Begitu tulis kawan saya Iqbal Aji Daryono terkait dengan masalah saapaan panggilan.
Kali lain, saat berbicara melalui panggilan telepon dengan kawan lama, saya reflek memanggil kawan saya dengan panggilan ‘Pak’ karena di kalangan pergaulan saya, panggilan ‘Pak’ saat itu memang sedang ngetren.
“Piye, Pak?” kata saya saat itu.
“Kamu kenal aku nggak, sih?” jawabnya.
“Ya kenal tho. Gimana, tho?”
“Ya kalau kenal ngapain manggil aku ‘Pak’?”
Saya pun tertawa. Saya lantas menjelaskan tentang tren panggilan ‘Pak’ yang memang dalam setengah terakhir ini banyak digunakan oleh kawan-kawan sepekerjaan saya.
Perkara remeh namun cukup menjengkelkan tentang panggilan tersebut tentu saja bukan hanya dialami oleh Iqbal atau saya. Kita semua, boleh jadi, pernah merasakan betapa menyebalkannya perkara remeh tersebut.
Beberapa waktu yang lewat, isu tentang panggilan ini bahkan sempat ramai dan menjadi perbincangan panas di berbagai kanal media. Musababnya adalah twit dari seorang netizen yang tersinggung karena dirinya dipanggil “Kak” oleh driver ojek online.
“I’m so done with this grabfood driver calling me ‘kak’, like wtf? do you see me having vagina?!, did i broke your mother’s vagina to came to this world? no! so I’m not your sister! I give you the money, so you can give me the food, that’s it, no more no less,” begitu tulis netizen yang akunnya dirahasiakan tersebut.
Belakangan, diketahui bahwa memang panggilan Kak di daerah tertentu ternyata memang tak senetral yang kita pikir. Di Sumatera Utara, panggilan “kakak” ternyata memang merujuk pada perempuan, sedangkan untuk lelaki panggilannya “abang”.
Belum kering perdebatan tentang panggilan “kak” tersebut, mendadak sudah muncul lagi polemik lain pada tema yang sama.
Masih melalui Twitter, pemilik akun @vantiani menuliskan pandangannya tentang panggilan ‘Mas’ dan ‘Mbak’.
“Mesti berhenti berasumsi bahwa semua perempuan dan lelaki adalah orang Jawa dengan memanggil mereka otomatis dgn ‘Mas’ dan ‘Mbak’. Padahal belum tentu mereka orang Jawa dan belum tentu juga mereka tidak keberatan dipanggil begitu. Mungkin Pak dan Bu saja mulai sekarang, Ka.”
Polanya tentu saja sama seperti kasus panggilan ‘Kak’.
Panggilan ‘Mas’ dan ‘Mbak’ yang menurut kita (atau setidaknya menurut banyak orang kebanyakan) sama sekali tidak bermasalah secara etik ternyata bisa menjadi sebuah masalah tersendiri bagi orang lain.
Pada kenyataannya, hal tersebut hanyalah satu dari sekian banyak perkara yang menyertai kata panggilan. Jika merunut pada panggilan-panggilan yang lain, sebenarnya hampir semua panggilan punya potensi untuk menjadi masalah.
Tuan dan Nyonya, misalnya. Panggilan yang umumnya ditujukan untuk orang terhormat atau kaya raya ini bisa berpotensi menjadi masalah ketika ditujukan untuk memanggil orang yang melarat. Bisa karena merasa si melarat tidak nyaman, atau bisa juga karena merasa tersinggung.
Bung dan Nona pun demikian. Penggilan yang di masa lampau cukup akrab tersebut bakal menjadi masalah jika digunakan kepada lingkungan umum, dan bukan lingkungan pergaulan terbatas, karena memang panggilan tersebut dianggap terlalu nyentrik, aneh, dan konyol.
Ibu dan Pak apalagi. Ia bisa menjadi panggilan yang tak menyenangkan bila digunakan kepada orang yang secara usia masih belum cocok punya anak. Tak terhitung berapa banyak wanita muda yang tersinggung karena merasa dianggap boros mukanya hanya karena dipanggil ‘Bu’.
Kata panggilan, pada dasarnya adalah masalah kepekaan. Seseorang, seharusnya, nggak bodoh-bodoh amat untuk bisa memproses sebuah panggilan punya tendensi atau tidak.
Ketika seorang perempuan yang sedang berbelanja dipanggil dengan panggilan ‘Bu’ oleh kasir, maka ia seharusnya paham bahwa penggilan ‘Bu’ tersebut merupakan bagian dari usaha kasir, atau memang SOP tempat ia bekerja untuk menerapkan konsep penggilan yang sopan.
Tentu saja si kasir tidak sedang punya tendensi untuk menganggap si perempuan punya wajah tua sehingga kemudian dipanggil ‘Bu’.
Begitu pula dengan seseorang yang dipanggil ‘Mas’ oleh orang lain padahal ia jelas bukan orang Jawa, seharusnya ia sadar bahwa panggilan ‘Mas’ itu merupakan bagian dari usaha untuk menghormati yang dipanggil. Bukan untuk memunculkan tendensi buruk terkait kesukuan apa pun.
Panggilan yang secara harafiah punya pengartian yang buruk pun, bila digunakan dan diterima oleh orang yang sama-sama punya kepekaan, maka ia tak akan pernah jadi masalah.
Di sebagian Jawa Timur sana, misalnya, adalah sebuah kelaziman seseorang memanggil kawannya dengan panggilan ‘Cuk’ dan tidak ada masalah apa-apa.
Seniman kondang Butet Kartaredjasa itu sering sekali memanggil kawannya dengan panggilan ‘Su’ yang berasal dari kata ‘Asu’ alias anjing. Namun tak ada kawannya yang marah sebab mereka tahu, tendensi Butet bukan untuk mengatai kawannya anjing.
Dari banyak kasus yang ada, saya pikir, kita memang tak susah dan repot mencari dan memikirkan kata panggilan apa yang tepat untuk kita gunakan untuk memanggil atau menyapa orang lain. Mau Bu, Pak, Mas, Bos, dll, kita semua seharusnya paham porsinya masing-masing.
Yang paling penting untuk kita lakukan saat ini justru belajar lebih serius agar kita tak mudah tersinggung, utamanya pada hal-hal yang remeh dan sebenarnya kita tak pantas tersinggung karenanya. Kata panggilan salah satunya.
Kita hidup di jaman ketika interaksi sosial secara langsung sudah mulai banyak berkurang. Ada yang memanggil atau menyapa kita saja itu sudah bagus, tak perlu mempermasalahkan kata panggilannya.
Hidup ini sudah sangat rumit, jangan menambah kerumitan yang sudah ada.