Mohon maaf, tapi menyita, merazia apa pun yang berbau One Piece itu justru membuat gerakan ini akan makin masif dan tak bisa dibendung. Justru reaksi yang keras malah bikin orang makin penasaran dan makin bertindak di luar “aturan”.
Saya selalu melihat tren apa pun di Indonesia itu amat sederhana: kalau tak cocok, nggak usah digubris. Nanti mati sendiri kok. Tren yang akarnya dari hal-hal viral itu pasti hidup tak lama, mati kelewat cepat. Asalkan, dia tidak diberi reaksi yang berlebih.
Mau contoh terbaik? Es kepal milo. Tren minuman ini mati lebih cepat ketimbang durasi esnya mencair. Orang yang tidak suka, cenderung membiarkan, atau malah ikutan join beli. Menyesal, lalu tak balik lagi.
Contoh lain, olahraga lari. Ketika tren lari meledak, orang mulai mencibir. FOMO lah, si paling sehat lah, ikut-ikut Tirta lah, pamer outfit lah. Tapi liat, bukannya ia mati, justru makin banyak orang penasaran dan yang kita lihat sekarang, orang berlari kecil di jalanan.
Masih banyak contoh lain tentang itu, tapi saya heran cuman satu: kenapa kok pada kayaknya nggak belajar, dan malah melakukan hal yang sama terhadap One Piece?
Demokrasi, ingat, demokrasi
Saya ini yakin betul, orang yang mencibir gerakan mengibarkan bendera One Piece ini kelewat banyak. Banyak yang nggak sadar, kalau banyak yang sebenernya nggak suka-suka amat sama One Piece. Dianggap overrated lah, gini lah, itu lah. Orang-orang nggak tau kalau manga satu ini punya haters yang banyak dan berlipat ganda.
Ya kayak orang goblok dan berselera rendah, pasti banyak kan?
Orang-orang yang ikut gerakan pengibaran bendera One Piece ini juga saya yakin nggak paham betul kek mana ceritanya. Sebutkan nama Condoriano, belum tentu mereka tahu. Imu, Gorosei, Gyojin, sejenisnya, kepalanya meledak. Tapi kenapa mereka ikut-ikut? Ya karena mereka setuju sama satu pesan: kebebasan.
Dan ini yang menurut saya lucu. Negara kita ini, negara demokrasi, yang basically, menjamin hak asasi manusia seperti hak berpendapat. Kalau mereka menyampaikan kritik lewat jolly roger Mugiwara, ya wajar-wajar saja. Wong itu roh demokrasi.
Lucunya, kebebasan itu diusik. Alasannya karena kedaulatan, dan banyak hal yang sebenarnya makin didengar, makin nggak masuk akal. Sebagai manusia merdeka, tentu saja kita bereaksi keras, teramat keras malah, jika kebebasan kita diganggu.
Manusia punya otak, harusnya tahu bahwa jangan pernah mengganggu kebebasan orang berpendapat selagi itu tidak menyakiti dan merugikan siapa pun. Lalu, kenapa juga ada yang kepikiran bahwa merazia bendera One Piece itu adalah ide yang bagus?
Kalau saya jadi pejabat, saya sih tidak takut sama bendera One Piece
Secara pribadi, saya tidak pernah takut sama simbol. Jika saya petinggi di pemerintahan, saya tak akan ada masalah dengan berkibarnya bendera One Piece di mana saja. Itu cara rakyat berekspresi.
Justru, saya akan bermasalah kenapa bisa bendera itu muncul. Apakah karena memang kinerja saya sebagai petinggi pemerintahan, begitu buruk hingga harus dikritisi oleh manusia sebanyak itu. Yang saya lihat tentu kinerja saya, dan memang seharusnya seperti itu.
Tapi yang terjadi tidak seperti itu. Setidaknya, di tempat saya tinggal, sudah ada peringatan untuk tidak mengibarkan bendera One Piece. I mean, for God’s sake, kalian takut pada lambang tokoh fiksi?
Dan itulah yang bikin saya tertawa hingga menutup mata. Di dalam negara dengan penuh sejarah dan kebesaran seperti Indonesia, ada orang yang begitu takut pada simbol dari komik, yang bahkan belum berusia tiga dekade, yang bahkan tidak semua orang tahu maknanya, dan suka membacanya.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Lebih dari Komik, One Piece Adalah Sejarah Dunia Kita dan catatan menarik lainnya di rubrik POJOKAN
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.












