MOJOK.CO – Banyak orang mudah bosan dengan makanan yang mereka makan, tapi tidak dengan saya.
Kepada seorang kawan, saya pernah bertanya kenapa ia selalu berganti-ganti merek rokok. Jawaban yang ia berikan sangat diplomatis dan cukup memberikan perspektif baru bagi saya yang bukan seorang perokok.
Rokok itu, kata kawan saya, serupa seperti makanan. Semuanya enak, tergantung dari siapa yang merasakannya.
Ia kemudian menjelaskan, bahwa kebiasaannya berganti-ganti merek rokok tak ubahnya seperti ia berganti-ganti makanan yang ia makan.
“Ya aku ada sih rokok yang tetap, tapi kadang aku juga bawa rokok merek lain, buat sampingan,” terangnya, “Kamu kalau makan ayam seminggu berturut-turut kan pasti bosen juga tho?”
Saya mengangguk. Walau sebenarnya, saya sebenarnya bisa agak menganggu argumennya sebab pertanyaannya dia menyadarkan saya bahwa saya adalah tipikal orang tak mudah bosan pada makanan.
Saya bisa dan sanggup makan menu ayam selama seminggu berturut-turut. Setiap hari. Dengan tetap berselera.
Pertanyaan tentang relevansi makanan dan rokok itu kemudian membuka perenungan saya tentang kebiasaan (atau sifat) saya yang ternyata tak pernah bosan pada satu makanan tertentu.
Dulu, sekira dua tahun lalu, saya hampir setiap hari selalu makan siang dengan empal Pak Bajuri. Menu nasi empal, sambal bawang, dan oseng tempe, yang saya temukan secara tak sengaja di penelusuran gofood.
Pertemuan saya pada empal Bajuri itu kemudian memulai hari-hari saya berikutnya dengan sebuah rutinitas yang statis.
Enam bulan berikutnya, nggak di kantor nggak di kos, saya selalu makan siang dengan menu tersebut. Hampir tak pernah ganti-ganti. Dan ajaib, saya benar-benar tak pernah bosan dengan itu.
Beberapa kawan kemudian ikut-ikutan untuk mencoba empal tersebut. Dan pada kenyataannya, mereka juga ketagihan. Namun mereka ternyata punya batasannya sendiri. Baru tiga hari makan siang dengan empal Bajuri, di hari keempat, mereka sudah memilih menu lain.
“Bosen, dari kemarin Bajuri terus,” kata kawan saya. “Kamu nggak bosen?”
“Enggak.”
Kelak, empal Bajuri itu kemudian tak bisa lagi saya pesan di gofood. Entah karena warungnya tutup atau sudah pindah.
Saya kemudian mencoba Penyetan Mas Kobis. Beberapa gerai cabang Mas Kobis saya coba, sampai akhirnya saya mendapatkan satu gerai yang rasa ayamnya saya cocok, yakni gerai Kaliurang atas dekat UII.
Pengalaman masa lalu saya pun berulang. Persis setelah saya merasa cocok dengan Mas Kobis, saya kemudian memutuskan untuk terus mengonsumsinya.
Berbulan-bulan kemudian, menu makan siang saya hampir selalu penyetan Mas Kobis cabang Kaliurang atas.
Saya lantas mencoba untuk mengingat masa-masa lalu saya dan memang pada kenyataannya saya sudah sangat akrab dengan ketidakbosanan atas makanan tertentu.
Saat SMA, hampir selala tiga tahun saya selalu sarapan bubur sayur tahu dan tempe glepung yang dijual oleh Mbak Ti tetangga saya. Begitu pula saat saya pertama kalinya kerja dan kos di Jogja di mana setiap hari menu yang saya makan adalah nasi kuah padang tanpa lauk.
Tidak munculnya rasa bosan dalam diri saya tersebut kemudian menjadi sebuah polemik tersendiri setelah saya menikah.
Istri saya adalah tipikal orang yang sangat eksploratif dalam urusan masak. Setiap hari, ia selalu mencoba menu-menu baru untuk ia masak. Dan tentu, tidak semua masakan yang ia masak saya suka. Namun sekali saya suka masakannya, saya bisa memakan masakan tersebut berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan lamanya.
Saya suka sambel pindang atau oseng pindang cabai hijau yang dimasak oleh istri saya. Itulah kenapa, kalau istri saya bertanya hari ini ingin dimasakin apa, jawaban saya selalu saja sama: ikan pindang.
Kebiasaan itu terus melekat bahkan saat saya harus bepergian ke luar kota.
Mau seeksotis dan semeriah apa pun keragaman kuliner yang ada di sebuah kota, selalu saja menu yang saya cari adalah ayam bakar, atau nasi goreng. Kalau mentok nggak ada, ya nasi padang.
Apakah ini membuat saya tersiksa? Entahlah. Yang jelas, saya selalu merasa nyaman-nyaman saja makan makanan yang saya suka berulang-ulang ketika kawan-kawan lain sudah mencoba banyak menu makanan beraneka ragam.
Yah, setidaknya, dengan kebiasaan ini, saya jadi otoritatif buat ngasih gombalan klasik kepada istri saya “Sama makanan aja aku setia, apalagi sama kamu.”