MOJOK.CO – Profesi apapun, selama itu halal maka kita tidak perlu merasa malu menjalaninya. Dalam hidup, saya tidak pernah sekalipun malu menjadi anak seorang sopir mobil jenazah.
Baiknya ketika membaca artikel ini, Anda sembari memutar lagu “Father and Son” dari Cat Stevens, sambil membayangkan Anda adalah Peter Quill yang sedang mengingat Yondu Udonta.
Keluarga saya adalah perwujudan dari ungkapan “bahagia di atas penderitaan orang lain”. Tangis orang lain adalah tawa bagi kami. Duka bagi orang lain adalah sukacita bagi kami. Bahkan pada titik paling ekstrem, kami berharap ada orang yang celaka agar perut kami aman terisi di pagi hari. Semua itu karena profesi yang digeluti bapak saya: sopir mobil jenazah.
Bagi kami, mendengar Bapak bakal pulang telat karena harus mengantar jenazah itu merdu. Pasien yang gagal dalam pertarungan hidup matinya membuka rejeki untuk Bapak. Kami tidak punya pilihan karena memang keluarga kami hidup dari tangis duka orang lain.
Bapak mulai menggeluti profesi ini semenjak tahun ’80-an. Sebenarnya Bapak tidak dilahirkan dari keluarga yang miskin-miskin amat. Tapi semenjak menikahi ibu di periode itu, mau tidak mau Bapak harus mencari pekerjaan apa pun yang sekiranya bisa menjaga agar nasi dan lauk terhidang di meja. Sebelum menjadi sopir mobil jenazah, profesi pertama Bapak adalah kernet angkot.
Ketika rumah sakit Marga Husada butuh pegawai, Bapak segera mendaftar. Karena lowongan yang ada adalah sopir, maka diambillah peluang itu. Bapak hanya lulusan SMA, bisa kerja aja sudah bersyukur. Selama 30 tahun lebih menjadi sopir mobil jenazah, tidak sekali pun Bapak kalah terhadap ketakutannya.
Yang dilakukan Bapak sehari-hari adalah berangkat ke rumah sakit dan menunggu panggilan tugas. Dia bisa saja seharian duduk nggak ngapa-ngapain karena tidak ada pasien yang harus diantar atau jenazah yang harus dikebumikan. Ketika ada pasien yang mulai sekarat, Bapak sudah mengambil ancang-ancang. Semoga ini menjadi rezekiku, doa Bapak di kala momen itu datang.
Tidak jarang Bapak pulang tanpa membawa apa-apa. Sudah tugas para pegawai rumah sakit untuk menyelamatkan nyawa, ironi yang lucu karena mereka mempunyai pegawai yang menunggu pasien itu mati. Terkadang juga Bapak pulang sambil menggerutu karena pasien yang dikira bakal meninggal malah selamat. Yang menyedihkan, sopir sif selanjutnya yang baru datang malah dapet tugas untuk mengantar.
Sebagai sopir mobil jenazah, kematian adalah salah satu teman dekat Bapak. Dia sudah kebal dengan raungan tangis para keluarga pasien yang meninggal. Tak terhitung lagi kematian yang sudah Bapak saksikan selama hidup, dan kadang itu menyakiti dirinya.
Pekerjaan ini bukan tanpa risiko. Diganggu makhluk halus sudah biasa, namun risiko sebenarnya adalah medan yang ditempuh serta rasa kantuk. Tengah malam mengantar jenazah hingga ke kabupaten lain adalah hal biasa. Hal yang kadang membuat dia tertawa karena jenazah yang dia antar justru lebih aman dibanding dirinya pada saat bertugas.
Bapak pernah berujar bahwa sebenarnya dia malu punya profesi ini karena tidak bisa dibanggakan oleh anak-anaknya. Terkadang dia berangan-angan andai dia dulu pintar atau nasib yang ditakdirkan padanya lebih baik, pasti anak-anaknya bangga. Bapak tidak bisa membayangkan betapa malu anak-anaknya ketika tahu profesinya adalah sopir mobil jenazah.
Tapi Bapak tidak tahu bahwa di luar sana, saya menceritakan profesi Bapak dengan heboh dan dada membusung. Bagi saya, tidak ada yang lebih keren dibanding menghadapi kematian dengan gagah berani seperti Bapak. Tak ada sedikit pun rasa malu yang saya simpan ketika temana-teman tahu bahwa saya anak sopir. Justru saya amat bangga terlahir di keluarga yang pemberani.
Bapak berhasil menguliahkan kedua anaknya dan semuanya lulus. Kakak saya menyusul Bapak bekerja di rumah sakit sebagai perawat, saya merantau di Jogja sebagai redaktur di Mojok. Uang yang didapat dari jenazah-jenazah itulah yang membuat saya dan kakak bisa menempuh pendidikan, dan ini membuat saya makin bangga dengan profesi Bapak sebagai sopir.
Kini Bapak menikmati masa-masa pensiun sembari menjalankan bisnis sewa mobil yang ia rintis sejak 2016. Yang dia lakukan tiap pagi adalah mengantar cucunya ke TK dan juga menjemputnya ketika pulang. Ketika sore, dia akan berolahraga dengan bersepeda bersama adik saya mengitari Kota Wonogiri yang masih hijau. Dulu dia melewati jalan itu sebagai sopir, dan sekarang dia menikmati momen sebagai bapak dan kakek.
Saya menulis ini sembari menahan air mata karena tidak pernah sanggup mengungkapkan bahwa saya begitu bangga menjadi anak seorang sopir mobil jenazah yang begitu peduli dengan pendidikan bagi anak-anaknya. Saya tidak yakin akan menjadi setangguh Bapak, tapi setidaknya saya berusaha keras untuk menunjukkan bahwa usahanya mendidik saya untuk menjadi orang tidaklah sia-sia hingga kini.
Terima kasih, Bapak. Anakmu tidak malu dan tidak akan menyerah melawan dunia seperti Bapak yang lakukan dulu.
BACA JUGA Dia Sakit dan Kamu Membangun Masjid dan artikel menarik lainnya di POJOKAN.