MOJOK.CO – Honda Genio memang punya harga dan spesifikasi lebih rendah daripada Scoopy. Kalau ukuran fitur sih iya, tapi….
“Eh, motor yang kamu pakai ke rumahku kemarin itu apa, Daf?” tanya teman saya, Agus Mulyadi.
“Vario?” tanya saya agak lupa. Vario yang saya maksud itu memang motor saya untuk keperluan sehari-hari.
“Bukan, yang aku sempet pinjem muter-muter itu lho,” kata Agus lagi.
“Howalah, Honda Genio,” kata saya.
“Nah, itu. Berapaan harganya ya?” tanya Agus lagi.
“Kayaknya sih antara 17-an juta gitu,” kata saya.
Agus manggut-manggut. Mikir sebentar.
“Lebih murah daripada Honda Scoopy ya jebul,” kata Agus.
Honda Scoopy memang ada di kisaran 19-20-an juta.
“Emang kamu mau ganti motor?” tanya saya.
“Iya, motorku udah dijual,” kata Agus sedikit mengejutkan saya.
Motor yang dijual Agus itu adalah Beat. Tahun 2016. Motor yang sebenarnya masih bagus secara performa. Hanya karena Agus ini nggak terlalu perhatian sama motornya (btw, Beat-nya itu jarang sekali diservis sejak touchdown dari dealer).
Beda soal dengan Honda Genio yang pernah pernah dipinjam Agus. Motor yang jauh lebih terawat, dan tentu saja rajin saya servis.
“Bukannya tinggal nambah 2 jutaan lagi bisa dapet Scoopy ya?” tanya Agus.
Saya tersenyum. Ini pertanyaan yang hampir ditanyakan kenapa saya lebih suka memakai Honda Genio ketimbang Scoopy. Agak kurang masuk akal secara value for money aja mungkin.
Harus diakui, Scoopy adalah matic yang sangat bagus untuk ukuran motor harga 20 juta. Bannya belakang cukup besar dan bodi belakangnya bongsor, jadi lumayan enak kalau dibawa ke track lengang.
Sayangnya untuk di jalan-jalan kecil yang suka macet, terutama di Jogja, Honda Scoopy lumayan besar dan kurang nyaman. Saya pernah memakainya dan agak mengayun kalau dibawa berboncengan melewati keramaian.
Tetap nyaman sih, tapi saya pikir orang memilih Scoopy itu lebih berpatokan pada desainnya dulu ketimbang performanya dulu. Hal yang bukan saya banget.
Oke, sih, secara penampilan Scoopy ini tidak ada lawan. Desainnya istimewa, hanya dengan catatan: kalau orang itu suka dengan gaya yang serba-retro. Buat orang yang tidak terlalu peduli sama bentuk motor (dan tidak suka gaya yang retro) ini jelas bukan tawaran yang menggiurkan. Saya salah satunya.
Apalagi secara performa mesin, keduanya tak beda jauh dan (ini yang penting buat orang Indonesia) sama-sama irit. Kalau bisa dapat yang mesinnya nggak beda jauh dan dapat lebih murah 2 juta, ya kenapa nggak ngambil Honda Genio aja?
Bahkan, gara-gara badan bongsornya Scoopy, tarikan motornya tidak lebih responsif daripada Honda Genio lho. Ya mungkin ini karena Genio bodinya lebih kecil, lebih ramping, dan lebih enteng secara bobot daripada Scoopy, padahal secara performa mesin hampir sama. Makanya tarikannya Genio lebih enak.
Baiklah, saya tahu, bagi beberapa orang, selisih segitu tak terlalu terasa. Apalagi dengan fitur yang ditawarkan Scoopy. Tapi bagi saya, selisih itu tetap terasa. Selisih 2 juta itu baru tidak terasa kalau itu duit buat beli mobil, kalau buat beli motor ya tetep ngaruh lah.
Setidaknya, perbandingannya gini. Duit 2 juta kalau untuk mobil mah nggak bisa modifikasi banyak-banyak, tapi kalau untuk motor? Wah, itu sih bisa dapat banyak banget, Bosque.
Satu hal lagi yang bikin males dari Scoopy adalah efek samping dari tingkat penjualannya yang gila-gilaan.
Dulu, ketika saya ke dealer Honda dan mau beli motor, kalau misalnya saya mau beli Scoopy, saya harus inden dulu. Bisa dua mingguan—kadang satu bulan, tergantung pada warna apa yang mau dipilih. Sejujurnya, itu salah satu yang bikin saya malas.
Honda Genio? Ketika saya milih, barang sudah tersedia dan tinggal dikirim ke rumah. Udah keluar duit belasan juta kok masih harus nunggu barang datang berminggu-minggu kok rasanya aneh saja menurut saya.
“Goblok kamu, harga jual kembalinya tapi kan jauh banget selisihnya,” ini kata teman saya yang lain, Rusli Hariyanto. Seorang sopir rental yang juga usaha jual beli apapun—termasuk motor bekas.
Sejak awal percakapan saya dengan Agus, Rusli memang ada di tengah kami berdua.
“Itu kan kamu, Rus,” kata saya.
“Lah iya dong. Honda Genio itu bisa dibilang produk gagal lho, harga second-nya aja jatuh banget. Nggak kayak Scoopy yang kalau dijual kembali masih lumayan,” tambahnya.
“Makanya aku bilang, itu mindset kamu sebagai seorang penjual motor bekas. Lah kalau aku, yang niat beli motor untuk fungsi dan kenyamanan secara personal, ngapain mikir harga jual kembali? Asal kita cocok sama motornya kan?” kata saya.
“Ya kalau itu sih udah beda urusan. Maksudku secara value for money sih, mending Scoopy,” kata Rusli.
Iya kalau itu urusannya duit, memang betul. Masalahnya soal kecocokan itu kadang-kadang bukan soal mau dijual kembali jeh.
Dalam debat antara saya dengan Rusli itu, ada Agus di tengah kami berdua. Agus yang awalnya sempat terpengaruh untuk beli Scoopy gara-gara rayuan Rusli, tiba-tiba bilang gini…
“Coba aku carikan Genio, Rus,” kata Agus.
Waini.
Saya nggak ikut-ikut lho.
BACA JUGA Debat Toyota Fortuner vs Mitsubishi Pajero di Rute Situbondo-Jember dan tulisan OTOMOTIF lainnya.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Ahmad Khadafi