MOJOK.CO – Ada aja rakyat yang masih ogah vaksin. Masalahnya, alasannya kadang—meski agak wagu—cukup bisa dimengerti. Kayak tak percaya Jokowi misalnya.
“Tetanggaku nggak mau vaksin alasannya konyol banget coba,” cerita teman saya suatu kali.
“Kenapa emang?” tanya saya yang kemudian membayangkan si tetangga ini tidak mau vaksin setelah terpapar berita hoaks soal keharaman vaksin atau konspirasi corona.
“Karena yang ngasih Pemerintahan Jokowi,” lanjut teman saya.
“Pffft,” saya hampir saja ketawa ngakak dan melempar jutaan droplet ke muka teman saya.
Sampai beberapa detik kemudian saya malah jadi penasaran.
“Emang apa urusannya?” tanya saya.
“Ya Pemilu kemarin tetanggaku itu milih Prabowo,” kata teman saya.
“Lah? Bukannya mereka sekarang udah satu kabinet? Pitikih?” tanya saya.
“Ya, berarti dia bukan milih Prabowo karena anggep Prabowo bagus, tetanggaku cuma anti-Jokowi aja,” katanya.
Itu adalah kisah yang masih sempat bikin saya ketawa kalau saya ingat lagi. Apalagi melihat alasan-alasan wagu soal kebebalan akut beberapa orang yang enggan divaksin. Sampai kemudian saya dipertemukan dengan kicauan dr. Tirta. Yang isinya begini:
Korup bansos , itu harus dilihat efek jangka panjangnya. Bukan soal uang ya saja. Tapi ke Penanganan pandemi juga
sebagian warga dah keburu “antipati” dengan aturan demi aturan penanganan pandemi
Mreka akhirnya denial dan percaya pandemi menguntungkan beberapa orang saja
— TIRTA cipeng (@tirta_hudhi) August 1, 2021
Ya, saya ingin sekali menuding orang-orang yang denial dengan corona dan enggan divaksin sambil goblok-goblokin mereka, hanya karena mereka tak sepakat dengan Pemerintah. Saya sendiri juga suka mengkritik Pemerintah, tapi untuk urusan vaksin—yang mana ini urusan keselamatan saya dan orang-orang di sekitar saya—saya bisa singkirkan soal begituan dulu.
Sampai kemudian saya sendiri sadar, kebijakan Pemerintah dalam masa pandemi ini memang beberapa kali mengecewakan rakyatnya. Bahkan tidak hanya soal kebijakan pandemi, tapi kebijakan-kebijakan di luar itu.
Saya tak perlu mengulang-ulang lah soal kebijakan pandemi. Yang paling kelihatan saja lah (dan disebut dr. Tirta tadi), soal korupsi bansos. Itu adalah pengkhianatan paling banal yang bisa dilakukan Pemerintah oleh rakyatnya sendiri.
Tak ada kejahatan yang paling murni selain memanfaatkan kematian beberapa rakyat untuk mengeruk keuntungan dengan nilep duit bansos. Itu jahat sejahat-jahatnya. Dajjal mungkin perlu mikir untuk resign kalau sampai tahu ada manusia bisa sampai sejahat itu.
Kejahatan itu pun tak berhenti sampai di sana, tapi pada perbuatan yang bisa jadi bahan bakar segilintir orang untuk tak lagi percaya dengan apapun kebijakan Pemerintah (yang walaupun sebagian besarnya berantakan, tetap ada saja beberapa yang masuk akal dan patut diikuti), salah satunya? Ya soal vaksin itu tadi.
Bagaimana meyakinkan orang mau vaksin atau ngikut kata Pemerintah kalau sedari awal Pemerintah sendiri tidak menunjukkan keberpihakan ke rakyatnya dalam tiga tahun belakangan ini?
Sek, bentar, bentar, kok tiga tahun? Kan pandemi di Indonesia baru di tahun kedua?
Begini.
Sebelum pandemi, ada beberapa kebijakan Pemerintahan Jokowi yang tak berpihak ke rakyatnya sendiri. Itu terus berlanjut bahkan ketika masa pandemi datang. Kebijakan-kebijakan ini ada yang tak berhubungan dengan penanganan pandemi, tapi itu berefek pada penanggulangan pandemi.
Ada kasus UU KPK yang baru, ada kasus Omnibus Law, kasus penangkapan pelaku penyiraman air keras ke Novel Baswedan, dan yang lagi anget-angetnya ada duet kasus Jaksa Pinangki plus Djoko Tjandra yang dapat keringanan hukuman.
Itu tadi hanya segelintir beberapa kasus di lingkaran Pemerintahan Jokowi yang dengan mata telanjang bisa dilihat rakyatnya. Baik melalui sebaran di media sosial, grup WhatsApp, atau tangkapan layar kaca.
Semua manuver-manuver itu benar-benar bikin banyak rakyat sakit hati, tapi Pemerintahan Jokowi seperti selo-selo aja dengan persoalan itu, tanpa sadar bahwa banyaknya peristiwa seperti itu bisa menurunkan trust rakyat pada titik paling rendah.
Pada kondisi normal, trust yang makin rendah dari rakyat mungkin tidak begitu besar dampaknya kecuali pada meningkatnya suara golput untuk Pemilu mendatang. Persoalannya, dalam kondisi pandemi, trust yang makin rendah akan membuat rakyat semakin sulit dikontrol.
Indikasinya sudah ada kok. Selain masih sulit meyakinkan segilintir rakyat yang ogah vaksin, masih banyak juga yang ogah taat dengan PPKM dan segala maca tetek bengek protokol kesehatan yang sudah dikampanyekan Pemerintahan Jokowi.
Apa yang dilakukan Pemerintahan Jokowi ini seperti orang tua yang kerap menjajikan beli mainan ke anaknya kalau si anak rangking satu. Tapi begitu si anak rangking satu di kelasnya, si orang tua ini ngeles dan tak menuruti janjinya.
Sekali dua kali, janji orang tua ini ditepati tidak masalah. Tapi kalau berkali-kali si anak melihat bagaimana orang tuanya ingkar janji, perbuatan ini akan diingat dalam memori yang paling dalam.
Ini ditambah dengan kelakuan orang tuanya yang keterlaluan. Melarang anak bermain, tapi orang tua malah keluyuran ke mana-mana. Melarang anak makan coklat makan permen, tapi orang tua makan coklat dan permen sesuka hati.
Lama-lama kepercayan anak kepada orang tuanya luntur juga. Si anak akan memilih alternatif lain, salah satunya tidak lagi percaya kata-kata orang tuanya. Ia pura-pura menurut, tapi demi keselamatannya saja, bukan demi kebaikannya sendiri.
Sampai kemudian, ketika si orang tua akhirnya meminta sesuatu yang sebenarnya demi kebaikan si anak, si anak bakal menolaknya. Penolakan yang bisa dipahami, karena perasaan sakit hati berulangkali itu tak mudah diobati lagi. Kelakuan orang tua yang kurang ajar, justru menjadi vaksin untuk mendengar nasihat-nasihat baiknya.
Lantas, karena si anak terindikasi mulai memberontak, mulai tak lagi mendengar, orang tua memanfaatkan kekuataannya untuk menghukum si anak. Menganggap bahwa hukuman itu diperlukan untuk mendisiplinkan si anak. Merasa kalau hukuman itu penting demi keselamatan si anak.
Di dalam hati, si anak akan terus-menerus menyimpan dendam ke orang tuanya. Sampai pada suatu masa, ketika si anak nanti dewasa dan sudah punya kekuatan untuk hidup mandiri ia pun melakukan pembangkangan, tidak lagi mau mendengar satu pun kata-kata bijak orang tuanya.
Dan pada saat yang bersamaan, orang tua ini lantas bercerita ke orang-orang lain, bahwa si anak telah durhaka terhadapnya. Lantas membawa dalil-dalil agama, dalil-dalil moralitas, dan dalil-dalil peraturan.
Si anak tetap akan dianggap bersalah melalui norma-norma dan aturan-aturan itu, tapi si anak tak lagi punya cinta terhadap orang tuanya. Si anak hanya menunggu, cuma menunggu, menunggu saat yang tepat untuk melancarkan revolusi.
Dan ketika semua itu terjadi, si orang tua cuma bakal mengeluh… kenapa punya anak nggak senurut itu, tanpa sempat menyadari kejahatan-kejahatan yang telah ia perbuat sebelum-sebelumnya.
BACA JUGA Hidup Tak Semudah ‘Cocote’ Deddy Corbuzier dan tulisan Ahmad Khadafi lainnya.