MOJOK.CO – Maaf banget. Jadi, DPR, kadang kalau terlalu rajin jatuhnya malah bikin aneh-aneh kayak RUU HIP ini. Masak suruh tidur terus, sih? Magabut, dong.
Beberapa hari yang lalu, Menkopolhukam Mahfud MD sudah mengumumkan kalau pemerintah menunda pembahasan RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila). Ingat, ya, cuma ditunda, bukan dibatalkan. Sebuah sikap yang bikin arus penolakan kepada RUU ini semakin deras. Banyak banyak yang nggak mau RUU ini ada.
Tunggu dulu, beb. Kamu udah tahu ap aitu RUU HIP? Tos dulu kalau belum tahu dan makin ruwet ketika mencoba mempelajari isinya. Eits, tapi jangan bilang RUU HIP nggak asyik kalau nggak ada HOP-nya. Sumpah, itu garing banget.
So, sebetulnya RUU HIP itu mau ngapain, sih, buat bangsa Indonesia yang gini amat? Mari kita pelajari sama-sama.
RUU HIP itu apa?
Intinya, biar tulisan ini cepet selesai, RUU ini mau “dijadikan landasan hukum yang mengatur Haluan Ideologi Pancasila untuk menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga diperlukan Undang-Undang tentang Haluan Idelogi Pancasila.”
Maaf, kalimat belibet itu bukan saya yang bikin, tapi mengutip Catatan Rapat Badan Legislasi Pengambilan Keputusan Atas Penyusunan Rancangan Undang-Undang Tentang Haluan Ideologi Pancasila tanggal 22 April 2020. Kenapa sih, bahasa Undang-Undang itu selalu ribet? Pernah kepikiran begitu?
Siapa yang kreatif bener ngusulin RUU ini?
Nah, soal ini ada yang lucu dan nggak biasa terjadi.
Inosentius Samsul, Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian Dewan, mengatakan kalau RUU HIP diusulkan Baleg (Badan Legislasi) DPR RI. Baik draf maupun naskah akademik juga Baleg yang bikin.
Nah, biasanya, naskah akademik dibuat oleh BKD (Badan Keahlian Dewan), sementara draf dibuat oleh AKD (Alat Kelengkapan Dewan). Hmm…mungkin Baleg mau jadi employee of the year dengan sangat krearif bikin naskah akademik dan drafnya sekaligus. Biar kelihatan rajin gitu. Nggak papa, dong? Nggak tahu, sih.
RUU HIP itu tujuannya buat apa?
Kalau kata Kak Tirto, tujuan dari RUU HIP ini adalah: BELUM JELAS. Karena penjelasan Tirto yang “sangat informatif” itu, izinkan saya mengutip naskah akademik saja. Begini:
RUU HIP dibuat “sebagai pedoman bagi Penyelenggara Negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila.” (Hal. 59). RUU HIP juga dianggap layak dirancang karena “hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum yang mengatur Haluan Ideologi Pancasila untuk menjadi pedoman kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.” (Hal. 96).
Nah, bagaimana? Sudah jelas apa tujuannya? Saya, kok, enggak. Hmm…pantesan Kak Tirto bilang tujuannya RUU HIP adalah: BELUM JELAS. Oke.
Rapat-rapat yang tidak jelas
Kamu tahu, RUU HIP sudah tujuh kali dibahas. Dua rapat perdana sudah terjadi pada 11 dan 12 Februari 2020. Rapat ini isinya dengar pendapat dari para pakar. Pada 11 Februari 2020, Baleg mengundang Jimly Asshiddiqie dan Adji Samekto, pakar hukum. Prof. Jimly menyambut positif, tetapi meminta agar isinya tidak terlalu detail atau konkret. Dengan kata lain, multitafsir, seperti dikutipTirto hehehe….
Nah, untuk rapat 12 Februari 2020, agendanya adalah mendengarkan paparan dari para ahli. Sayangnya, tidak ada rilis resmi yang menjelaskan isi paparan para ahli, yang ikut menyusun naskah akademik dan draf RUU HIP.
Selanjutnya, rapat ketiga pada 8 April 2020. Nama rapatnya sudah ganti jadi Rapat Panitia Kerja (Panja), yang ternyata sudah dibentuk dan diketahui oleh kader PDIP, Rieke Diah Pitaloka. Rapat keempat dan kelima terjadi pada 13 dan 20 April 2020 dan sifatnya tertutup, serta kesimpulan dan isi rapat tidak bisa diakses publik. Cieee…main rahasiaan.
Baleg menggelar rapat keenam pada 22 April 2020. Isinya adalah pengambilan keputusan fraksi atas RUU HIP. Kecuali fraksi PKS, semua fraksi di DPR setuju sama RUU ini. Bikin terharu aja kalau pada kompak gini. Buat rakyat kok nggak kompak, ya, Bapak dan Ibu DPR. Tos online dulu kita.
BTW, fraksi PKS nggak mau ikutan setuju karena RUU HIP tidak mengakomodasi TAP MPRS tentang komunisme. Konsisten, alig!
Rapat terakhir terjadi pada 12 Mei 2020. DPR RI resmi menetapkan RUU HIP sebagai inisiatif DPR. Selanjurnya, tinggal menunggu Pak Jokowi untuk pembahasan selanjutnya. Hebat, cepet banget kerjanya. Saya yakin buat RUU lain yang lebih dibutuhkan, terutama di masa pandemi ini, juga dikerjakan dengan cepat sama DPR kita tersayang. Alig!
Ditolak banyak pihak
Ditolak satu orang aja pedesnya awet betul, eh ini RUU HIP ditolak banyak pihak. Emang RUU HIP ini udah ngapain anak orang, kok, sampai ditolak?
Pertama, jelas, fraksi PKS, yang memandang RUU ini tida mengakomodasi TAP MPRS soal pelarangan komunisme. Terus ada Pak Jokowi sendiri yang memutuskan menunda pembahasan RUU ini setelah mempelajari isinya. Mungkin Pak Jokowi sendiri nggak paham sama keruwetan bahasa di dalam RUU ini jadi mending ditundang aja deh. Sama kita, Pak!
Fraksi Demokrat, lewat Pak Hinca Panjaitan, menolak RUU HIP karena: “Sejak awal kami menarik diri pembahasan RUU HIP di Baleg DPR RI. Selain tidak ada urgensinya dan tidak tepat waktunya saat kita fokus menangani pandemi virus corona.”
Fans Arsenal memang paling tahu soal kemanusiaan. COYG, Pak Hinca! Kalah sama Manchester City itu anggap aja cuma latih tanding sebelum musim depan. Sementara itu, Syarief Hasan, temennya Pak Hinca, mengkritik trisila dan ekasila yang dijadikan pasal di RUU HIP.
“Trisila juga hanya mencantumkan tiga nilai dan Ekasila hanya mencantumkan satu nilai gotong royong. Trisila dan Ekasila mengabaian nilai ketuhanan Yang Maha Esa dan nilai-nilai lainnya yang telah jelas disebutkaan di dalam Pembukaan UUD NRI 1945,” kata Pak Syarief Hasan.
“Banyak sekali frasa-frasa dan penjabaran-penjabaran Pancasila di dalam RUU HIP yang tidak berdasar, asal comot dan hanya diambil dari pemikiran orang tertentu saja yang tak bersumber kepada UU NRI 1945 yang memuat pancasila di dalamnya,” kata Pak Hasan menambahkan.
Mungkin, DPR tuh mau kerja cepat gitu. Sesuai anjuran Pak Jokowi untuk ruwet, ruwet, ruwet, ah maaf, kerja kerja kerja.
Senada sama Pak Syarief Hasan, Ahli hukum tata negara UGM, Zainal Arifin Mochtar, juga menganggap aneh pembahasan trisila di dalam pasal. “Misalnya pasal tujuh yang menjelaskan Pancasila bisa diperas jadi tiga sila dan diperas lagi jadi satu sila, yakni gotong royong. Buat apa isi pidato Sukarno dijadikan bunyi pasal?” Kata beliau.
Ah, Pak Zainal Arifin masak nggak tahu. Mahasiswa, kalau udah mau deadline tugas atau biar makalahnya kelihatan panjang, solusinya adalah masukin kutipan yang banyak. Kalau perlu yang panjang-panjang. Biar kelihatan “ilmiah”, Pak. Hehehe….
Selain mereka, NU dan Muhammadiyah juga menolak RUU HIP. Nah, akrab gini, kan, asyik. Ayo, nyanyi Sang Surya dulu….
NU menilai kalau RUU HIP itu disusun secara sembrono dan kurang sensitif sama pertarungan ideologi. Itu kata Rumadi Ahmad, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya PBNU. Kalau Muhammadiyah gimana?
Kalau Pak Jokowi meminta pembahasan ditunda, Pengurus Pusat Muhammadiyah minta pembahasan RUU ini dihentikan. Menurut PP Muhammadiyah, “tidak ada urgensi” bikin RUU ini. Kata Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Pancasila udah punya “kedudukan dan fungsi yang kuat sebagai dasar negara”. Nggak perlu bikin RUU lagi.
Tapi mohon maaf, nih, sebelumnya. Maaf banget. Jadi, DPR, kadang kalau terlalu rajin jatuhnya malah bikin aneh-aneh. Masak suruh tidur terus, sih? Kasihan banget, kan, udah usaha keras, eh malah ditolak sama banyak pihak. Habis ini jadi korban ghosting, nih.
BACA JUGA A-Z Omnibus Law: Panduan Memahami Omnibus Law Secara Sederhana atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.