MOJOK.CO – Selamat ulang tahun ke-117, Bung Karno!
Presiden pertama. Istrinya banyak. Suka pakai baju safari dan kopiah. Fakta-fakta tentang Presiden Sukarno itu pasti kamu sudah tahu. Hari ini, 6 Juni 2018, bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-117, Mojok Institute akan menyodorkan fakta-fakta Bung Besar lain yang mungkin kamu belum tahu.
1. Namanya Sukarno, bukan Soekarno
Ia lahir dengan nama Kusno, tetapi kemudian diganti menjadi Karno karena saat kecil ia sakit-sakitan. Mengganti nama ketika anak kecil sering sakit adalah praktik umum di kalangan Jawa abangan.
Dalam penulisan latin, di masa Hindia Belanda lumrahnya bunyi /u/ ditulis dengan ejaan oe. Di masa kepemimpinan Pak Karno, diresmikan ejaan baru bernama Ejaan Republik Indonesia, yang salah satunya mengubah penulisan bunyi /u/ menjadi u. Bersamaan dengan itu, ia mengganti cara menulis namanya dari Soekarno menjadi Sukarno.
Sayangnya, ketika Bandara Soekarno-Hatta mulai beroperasi pada 1985, ia telah tiada dan tidak bisa mengoreksi nama itu.
2. Punya Love-Hate Relationship dengan Bung Hatta
Di tahun 1930-an, ada dua nama orang muda politik yang bersinar di Hindia Belanda. Mereka adalah Bung Karno dan Bung Hatta. Namun, keduanya berada di tempat berbeda dan punya pandangan yang makin lama makin berseberangan. Yang satu di Bandung dan mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI), lainnya di Belanda dan menjadi ketua Perhimpoenan Indonesia, organisasi elite untuk orang-orang terpelajar Indonesia di Belanda.
Tahun 1929 Sukarno dipenjara. PNI langsung kocar-kacir karena kehilangan pemimpinnya. Hatta kemudian mengutus Sutan Sjahrir—yang sekolahnya belum selesai tapi apalah artinya di hadapan bangsa dan negara—untuk pulang ke Hindia Belanda dan membantu mengurus PNI. Setelah kelar studi doktoral, Hatta ikut pulang dan membereskan krisis PNI dengan cara membuat partai bernama PNI Baru.
Namun, soal manajemen anggota, Hatta dan Sukarno ternyata beda pandangan. Hatta ingin kader-kader gerakan dididik betul-betul agar ada kesamaan prinsip. Bagi Sukarno, cara begitu kelamaan. Indonesia nggak bakal merdeka-merdeka. Ia lebih cocok dengan taktik pengonsetrasian massa. Secara, blio memang singa podium dan jago ngumpulin orang.
Kongsi Sukarno-Hatta yang tertanam di kepala kita sebenarnya baru terbentuk ketika Jepang datang dan meminta keduanya untuk bekerja sama. Duet dwitunggal itu terus berlanjut sampai Indonesia merdeka. Namun, pada 1 Desember 1956 Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden karena tidak cocok dengan tendensi politik sang presiden yang semakin otoriter. Setelah itu, ia bisa dibilang menjadi oposisi pemerintahan. Tahun 1960, ia menulis pamflet berjudul “Demokrasi Kita” yang bikin gerah Sukarno dan ujung-ujungnya ia beredel.
Walau demikian, di luar lapangan politik hubungan Sukarno dan Hatta baik-baik saja. Hatta adalah salah satu orang terakhir yang menemui Sukarno menjelang akhir hayatnya.
3. Pernah Memenjarakan Temannya Sendiri
Jika buku Hatta diberedel oleh Sukarno, nasib Sutan Sjahrir lebih buruk. Pada 1962, mantan perdana menteri sekaligus rekan seperjuangan Sukarno ini dipenjarakan atas tuduhan konspirasi. Kasus ini bahkan tidak pernah disidangkan. Empat tahun kemudian, Sjahrir meninggal dunia.
4. Pernah Memerintahkan Eksekusi Temannya Sendiri
Kartosoewirjo, pendiri Negara Islam Indonesia yang dicap separatis, pada suatu masa pernah menjadi teman satu kos Sukarno. Itu terjadi di Surabaya pada tahun 1918-1920, ketika keduanya sama-sama tinggal di rumah H.O.S. Tjokroaminoto, Ketua Centraal Sarikat Islam.
Gerakan NII berkembang menjadi pemberontakan di mata pemerintah Indonesia. Tahun 1962 Kartosuwirjo tertangkap dan atas izin Sukarno, ia dieksekusi mati.
5. Pernah Dipenjara
Sukarno kenyang dengan pengalaman dibui sebagai napi politik. Pertama, ketika ia dipenjara di Penjara Banceuy, Bandung pada 1929. Kedua, di Penjara Sukamiskin, Bandung pada 1930 sampai 1931. Ketiga, dibuang ke Ende, Flores dan kemudian dipindahkan ke Bengkulu.
6. Orang Cerdas
Sukarno adalah seorang poliglot. Ia memahami sepuluh bahasa, yakni Jawa, Sunda, Bali, Melayu, Belanda, Jerman, Inggris, Arab, Prancis, dan Jepang. Ia juga pembaca buku yang lahap. Selain cerdas, Sukarno memiliki ingatan fotografis.
7. Tidak luput dari blunder
Menurut sebagian kalangan, dua blunder besar Sukarno adalah menerbitkan Dekrit 5 Juli 1959 dan membiarkan MPRS mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup.
Dekrit 5 Juli 1959 berisi perintah pembubaran Badan Konstituante, tim penyusun UUD pengganti UUD 1945. Salah satu penyebabnya, karena badan ini telah terlalu berlarut-larut membahas rancangan UUD baru. Padahal, badan ini dibentuk lewat pemilu. Dekrit ini dan kemudian ketetapan MPRS untuk menjadikan Sukarno presiden seumur hidup berperan membuat Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Dalam “Demokrasi Kita”, Hatta menulis begini,
“Dalam suatu kritik terhadap konsepsinya, kira-kira tiga tahun yang lalu, saya bandingkan dia dengan Mephistopheles dalam hikayat Goethe’s Faust. Apabila Mephistopheles berkata, bahwa dia adalah ein Teil jener Kräfte, die stets das Bose will und stets das Gute schafft—satu bagian dari suatu tenaga yang selalu menghendaki yang buruk dan selalu menghasilkan yang baik—Soekarno adalah kebalikan dari gambaran itu. Tujuannya selalu baik, tetapi langkah-langkah yang diambilnya kerap kali menjauhkan dia dari tujuannya itu. Dan sistem diktator yang diadakannya sekarang atas nama demokrasi terpimpin akan membawa dia pada keadaan yang bertentangan dengan cita-citanya selama ini.”
(((Sistem diktator))). Bung Hatta kalem-kalem savage~
8. Pernah Dianggap Antek Asing
Ini terjadi ketika Sukarno dan Hatta membantu memprogandakan program-program Jepang setelah Belanda menyatakan menyerah. Nasib buruk romusha akan selalu dikaitkan dengan keduanya.
9. Tidak Terjebak Ilusi Dua Pilihan
Salah satu nilai penting Konferensi Asia-Afrika 1955 ialah karena di momen ini Gerakan Nonblok dicetuskan. Dalam gerakan ini berkumpul negara-negara yang pada masa perang dingin menyatakan tidak ingin bergabung dengan blok Barat maupun blok Timur.
Sukarno adalah satu dari lima pendiri Gerakan Nonblok selain Josip Broz Tito (presiden Yugoslavia), Gamal Abdul Nasser (presiden Mesir), Jawaharlal Nehru (perdana menteri India), dan Kwame Nkrumah (perdana menteri Pantai Emas Belanda, sekarang Ghana).
Dibayangkan saat ini pun pilihan untuk tidak memihak dua blok tersebut masih sangat keren. Keduanya sama-sama penjajah kok. Jadi, daripada sibuk debat blok mana yang lebih bagus, para bangsa jajahan maupun bekas jajahan ini bersatu dan bikin grup mereka sendiri.