MOJOK.CO – Ada 5 pelajaran dari Bu Tejo, super-villain di film ‘Tilik’, soal gimana jadi ghibahers brilian di tengah arus informasi macam sekarang.
Benar-benar 30 menit yang worth it nonton film Tilik. Wangun tenan.
Ya siapa yang nyangka kalau dengerin ibu-ibu ghibah di atas truk Mitsubishi Colt bisa jadi begitu gurih? Bunyi disel truk dan congor buibu yang tak berhenti ghibah ini benar-benar nge-blend jadi simfoni cadas di telinga.
Selain cerita yang simpel, alasan kenapa Tilik ini sukses bikin ngaduk-aduk emosi penonton adalah keberadaan karakter Bu Tejo. Karakter yang sakses bikin semuwa penonton film Tilik pengen napuk lambe Bu Tejo pake keramik toilet musala.
Padahal film Tilik ini cuma berkutat pada ghibah Bu Tejo ke salah satu karakter bernama Dian, sosok yang tentu saja nggak ikut rombongan bu-ibu di atas truk. Tapi ghibah ini jadi terasa pas banget micinnya karena Bu Tejo selalu sukses ngompor-ngompori gosip pacaran antara Dian dengan putra Bu Lurah. Hal yang akhirnya melebar sampai ke Perang Teluk mana-mana.
Dari perkara profesi Dian yang nggak jelas, pakai susuk segala, sampai isu bahwa Dian adalah simpenan om-om. Informasi-informasi dari Bu Tejo ini bahkan bikin saya sampai curiga, apa Bu Tejo ini adalah agen Mossad di film Munich yang nyelonong di film Tilik?
Lepas dari itu, ada pelajaran yang menarik dari Bu Tejo, super-villain yang melebihi Thanos ini, bagaimana menjadi ghibahers brilian di tengah-tengah arus informasi super-sibuk macam sekarang. Dan ini 5 pelajaran yang bisa kita ambil dari Bu Tejo di film Tilik.
Jangan memulai
Kamu salah besar kalau menuduh ghibah di atas truk dalam perjalanan nengok Bu Lurah yang sedang sakit ini dimulai dari Bu Tejo. Oh, bukan dia, Gotreeek. Bukan dia pelakunya!
Semua pembicaraan brutal di atas truk ini diawali justru dari Yu Sam. Ibu-ibu berjilbab merah marun yang dengan selo tiba-tiba memulai pembicaraan ke Bu Tejo. Pembicaraan tanpa motif, tanpa preferensi politik, bahkan tanpa niat buruk sama sekali.
Benar-benar murni penasaran.
“Fikri ki karo Dian ki opo bener sesambungan to, Bu?”
BAM!
Seperti David Beckham yang memberi operan sempurna ke Cristiano Ronaldo, Bu Tejo yang mendengar pertanyaan itu langsung memberi goal dialog yang jadi alasan film ini layak ditonton. Diawali dari penasaran, berakhir jadi ghibah penuh hikmah melebihi akun Lambe Turah.
Sikap sabar dalam menunggu topik pembicaraan ini jadi alasan sukses Bu Tejo menjadi pengkhotbah ghibah. Hal semacam ini merupakan pelajaran penting buat kamu yang ingin jadi ghibahers andal. Jangan pernah memulai topik gosip.
Biarkan orang lain yang memulai, titik!
Akhiri pernyataan dengan pertanyaan
Hampir setiap celetukan Bu Tejo saat ghibahin karakter Dian itu adalah pernyataan-pernyataan yang sulit dibantah.
Apa alasannya karena Bu Tejo membawa seabrek data? Oh, bukan. Bukan itu, Trek, Gotrek. Hal yang bikin semua ibu-ibu gampang terpengaruh adalah karena Bu Tejo selalu mampu memberi pertanyaan di setiap informasi yang diberikan.
Bahkan pertanyaan itu pun cenderung sangat spesifik. Hanya ada pilihan jawaban “ya” dan “tidak”. Nggak ada opsi lain. Apalagi, jawaban pertanyaan itu pun seolah diarahkan Bu Tejo untuk dijawab “iya”, semacam jadi pembenaran bahwa informasi itu jadi makin valid karena diamini orang lain.
Saya akan kasih beberapa contoh dialog Bu Tejo itu.
Satu: “Gawane Dian ki mlebu metu hotel ngunu kuwi lho. Terus neng mall karo wong lanang. Gawean opo yo?”
Dua: “Nembe nyambut gawe. Handphone anyar, motor anyar. Hoo ra?”
Tiga: “Kuwi ki nek ra mergo muntah meteng, ngopo kok ndadak nginggati aku? Yo ra?” (Langsung double-kill, ntap!)
Udah, nggak usah banyak-banyak contohnya. Kamu bisa tonton filmnya sendiri kalau nggak percaya.
Posisi menentukan prestasi
Dalam kondisi apapun, Bu Tejo selalu sukses berdiri di bak truk bagian tengah. Ini menjadikannya jadi pusat semesta. Apapun yang dibicarakannya akan jelas didengar oleh ibu-ibu di sisi kanan bak truk, maupun sisi kiri bak truk. Sebuah pemilihan posisi yang sangat brilian.
Dengan berada di tengah, Bu Tejo jauh lebih sukses memengaruhi ibu-ibu ketimbang Yu Ning. Sosok yang tidak suka dengan celotehan Bu Tejo, dan sedari awal menyangsikan informasi-informasi soal Dian.
Jadi pelajaran dari Bu Tejo soal ini, ingat ya teman-teman: posisi berdiri seorang ghibahers menentukan seluas apa pengaruhnya!
Jadi penjaga kepentingan bersama
Salah satu adegan memorable dari film Tilik adalah ketika truk dihentikan oleh polisi. Ketika Pak Polisi mau menilang Gotrek, si supir truk, Bu Tejo adalah sosok yang paling vokal membela.
Polisi : “Ibu-ibu ini paham aturan kan?”
Bu Tejo : “Pokoknya Pak Polisi, kami mau tilik Bu Lurah! Titik! Njenengan ngeyelan tak cokot tenan lho!”
…
(((cokot)))
…
Wanjrit.
Lalu dengan provokatif, Bu Tejo turun dari bak truk dan “menyerang” Pak Polisi. Tindakan yang berani, tanpa tedang aling-aling, dan sak-dek-sak-nyet. Gara-gara sikap ini juga, Bu Tejo pun makin diakui pengaruhnya di antara buibu di atas bak truk.
Harus solutif dan bisa mencari common enemy
Jelang akhir film, setelah diketahui Bu Lurah tak bisa dijenguk karena masih di ruang ICU, para ibu-ibu rombongan merasa kecewa. Bu Tejo yang paham dengan kekecewaan ibu-ibu akhirnya memberi saran yang bakalan disukai semua penumpang, yakni…
…mampir pasar!
Sebuah solusi yang dekat dengan ibu-ibu. Selain untuk melampiaskan hasratnya sendiri buat belanja, Bu Tejo juga sukses membaca kegemaran “jamaah ghibah”-nya. Ini poin krusial kalau mau jadi ghibahers andal.
Apalagi pada saat yang bersamaan Bu Tejo juga sukses menggarami kekesalan ibu-ibu terhadap protagonis Yu Ning sebagai orang yang punya ide untuk menengok Bu Lurah. Menjadikan Yu Ning jadi common enemy, dan bikin Bu Tejo sukses memperdalam pengaruh dengan ghibah-ghibahnya yang levelnya makrifat itu.
Pancal terooos pokoke, Buuu, puancaaal! Aku padamu pokoke…
BACA JUGA “Turah”: Miskin Itu Menyakitkan atau tulisan soal FILM lainnya.