MOJOK.CO – Kadang ada mahasiswa yang memang layak protes sih, meski kadang ada juga mahasiswa yang nggak tahu diri.
Adalah hak mahasiswa ketika minta transparansi nilai mata kuliah ke dosennya, terutama kalau nilainya dirasa kurang memuaskan. Sebagai tukang ngajar di kampus, saya paham betul itu. Itulah kenapa saya selalu siap-siap data kenapa mahasiswa dapat nilai segitu. Ya kali aja si mahasiswa protes di kemudian hari.
Harus diakui, mahasiswa sekarang emang lebih berani ketimbang mahasiswa zaman saya dulu. Dulu, ketika mahasiswa sadar kurang aktif di kelas, ngerjain UTS dan UAS nggak bisa, lalu akhirnya dapat nilai C atau D, ya si mahasiswa akan sadar diri untuk nggak tanya kenapa dapat nilai segitu.
Zaman sekarang, setidaknya sependek pengalaman saya ngajar selama 3 tahun ke belakang, mau dalam kondisi apapun mahasiswa suka berani tiba-tiba WhatsApp untuk menanyakan kenapa dapat nilai C atau B minus.
Beberapa memang ada yang karena masalah sistem di SIAKAD, sehingga ada satu dua item penilaian yang tidak masuk. Wajar kalau kemudian si mahasiswa protes. Evaluasi nilai dari pihak kampus pun biasanya berjalan cepat kalau urusannya begini, karena toh sekarang serba-terkoneksi. Tinggal si dosen hubungi bagian IT, beres perkara.
Masalahnya, masih ada saja mahasiswa yang protes nilai menggunakan segudang alasan kocak. Saking kocaknya kadang malah sampai pada ranah menyebalkan. Ini beberapa di antaranya.
Mahasiswa semester tua bangka
Ini adalah jenis mahasiswa yang bikin gemas. Sudah tahu tahun depan bakal habis masa studinya, malah nggak pernah masuk kuliah.
Saya pernah dapat satu mahasiswa semester 13. Tak pernah satu kali pun masuk kelas saya. Tentu saja, nilai akhirnya kosong. Wajar.
Anehnya, mahasiswa ini malah kontak saya dengan tanpa berdosa. Mengiba-iba minta tugas pengganti kuliah biar bisa dapet nilai.
Iya betul. Dengan pedenya, si mahasiswa ini minta satu tugas pengganti kuliah selama satu semester. Pledoinya ya apalagi kalau bukan karena dirinya adalah mahasiswa tingkat injury time. Kalau saya nggak kasih dia nilai, otomatis mahasiswa ini DO karena nggak bakal punya kesempatan ngulang tahun depan.
Ini adalah jenis mahasiswa yang bakal bikin dosen dilema setengah mampus. Jangan dipikir dosen bisa dengan enteng bilang “bodoamat” atau “ya itu urusanmu”. Diberi beban tiba-tiba untuk menentukan status DO seorang mahasiswa itu berat sekali, Bung. Berat.
Kadang-kadang itu saya mikir, sudah tahu itu adalah kesempatan terakhir kuliah kok bisa-bisa nggak masuk kelas babar blas. Ini cara mikirnya gimana ya? Mana berani betul kontak dosennya untuk minta nilai lagi. Hadeh.
Punya keberanian kok ya salah tempat.
Bawa-bawa kegiatan organisasi
Wajar kalau mahasiswa punya segudang kegiatan organisasi. Dulu ketika masih kuliah, saya pun aktif di organisasi kampus. Cuma masalahnya, kegiatan organisasi tak pernah saya jadikan alasan kalau misalnya saya tidak bisa maksimal kuliah atau nilainya jeblok.
Anehnya, beberapa mahasiswa zaman sekarang, terutama mahasiswa saya ya (mahasiswa kayak kamu sih mana mungkin gitu), tidak jarang menggunakan alasan organisasi sebagai bamper agar bisa protes nilai ke dosennya. Ini beberapa contoh pesan yang pernah saya terima.
“Pak, kenapa nilai saya C? Saya kan dulu waktu pengumpulan tugas udah izin nggak bisa ngerjain, Pak, karena ada urusan organisasi.”
“Kemarin itu kan saya ada kegiatan rapat tahunan UKM, Pak. Jadi untuk UTS-nya saya memang tak bisa ikut. Mohon ada remidi ya, Pak.”
Duh, duh, dek. Hambok, plis. Silakan bikin kampus sendiri aja kalau gitu cara mainnya.
Tukang ngadu
Ini adalah jenis mahasiswa tukang protes nilai paling menyebalkan di antara yang lain. Jenis mahasiswa yang akan “melaporkan” temannya sendiri agar dapat dua kemungkinan.
- Temennya dapat nilai seburuk yang dia dapet.
- Dia dapat katrol nilai sehingga setara dengan temennya.
Saya pikir cuma Cathur di film 3 Idiots saja yang punya kelakuan kayak gini, ternyata di kehidupan nyata, ada juga model mahasiswa yang mempertaruhkan nilai temannya demi bisa mengatrol nilainya sendiri.
Saya pernah dapet situasi menyebalkan begini. Kebetulan ada mahasiswa yang ketahuan plagiat di artikel tugasnya. Tidak semua tugas sih, ada beberapa paragraf yang dia comot dari tulisan orang lain tanpa menyertakan sumbernya. Hal ini berlanjut juga sampai UAS. Masih nggak kapok juga, saya pikir.
Nilai akhir saya kasih C, karena masih ada beberapa tulisan dia bikin sendiri. Kalau murni plagiat sudah tentu dapat nilai terburuk.
Beberapa jam setelah saya input nilai, si mahasiswa ini kirim WhatsApp ke saya.
“Pak kok nilai saya C? Saya kan ngerjain tugas, ikut UTS dan UAS juga?” protesnya.
Saya cuma membalas dengan beberapa link artikel yang dia comot.
Bukannya merasa bersalah, si mahasiswa masih aja protes.
“Tapi, Pak. Si Budi juga comot tulisan artikel anu. Si Angga juga…” dan menyebut beberapa teman-teman yang dia duga juga plagiat sama seperti dirinya.
Untuk itulah tadi saya sebut di awal, tukang ajar kampus zaman sekarang itu harus selalu siap sedia data alasan kenapa mahasiswa dapat nilai segitu. Ya karena harus bersiap kalau ada kejadian menyebalkan kayak begini.
Dengan mesam-mesem, saya balas WhatsApp-nya.
“Mas, tolong bedakan antara plagiat dengan mengutip. Teman-teman sampean itu jelas ada sumbernya, ngambil kutipan dari mana. Sedangkan sampean itu comot beberapa paragraf punya tulisan orang lain. Di sini jelas?”
Si mahasiswa pun tak lagi mau membalas pesan saya.
BACA JUGA Ini Tipe-tipe Mahasiswa Menyebalkan dari Kacamata Dosen dan tulisan POJOKAN lainnya.