MOJOK – Mengingat usia dan masa kepemimpinan Megawati di PDIP telah berlangsung tiga dekade lamanya, maka, tipis kemungkinan Megawati akan mewariskan “sendok emasnya” ke orang lain, misalnya Ganjar, meskipun elektabilitasnya lebih tinggi.
Ketua DPR RI Puan Maharani menjadi nama yang populer di dunia maya. Tindak-tanduknya selalu ramai dibahas warganet, bahkan meme dirinya ramai bertebaran di media sosial.
Menurut sejumlah lembaga survei, popularitas Puan Maharani diketahui memang selalu tinggi—meski tidak diikuti dengan elektabilitasnya. Jajak pendapat Center for Strategic and International Studies (CSIS), misalnya, yang menyebutkan popularitas Puan terus menanjak sejak pertengahan tahun lalu.
Kendati masih kalah dengan nama-nama populer lain seperti Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan, popularitas Puan tetap tinggi dengan meraup 69,9 persen suara responden.
Dia berhasil mengungguli nama-nama yang juga dijagokan dalam bursa kandidat capres dan cawapres Pemilu 2024 mendatang, seperti: Erick Thohir, Ridwan Kamil, hingga Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Bahkan, menurut temuan Indonesia Indicator, sepanjang tahun 2022 nama Puan Maharani menjadi figur perempuan yang paling banyak dimunculkan media. Agenda politik, curahan hati, hingga tindak-tanduk dan kontroversi cucu Sukarno ini jadi yang paling sering diberitakan media.
Meskipun namanya begitu populer, elektablitias Puan selalu dalam posisi buncit. Beberapa lembaga survei juga mengungkap, bahwa tingkat keterpilihan Puan tidak cukup tinggi untuk mencalonkan diri sebagai capres di Pemilu 2024 mendatang.
Menurut Direktur Komunikasi Indonesia Indocator, Rustika Herlambang, popularitas Puan terbentuk lantaran ia merupakan sosok yang dianggap populer oleh netizen. Statusnya sebagai anak Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri, juga menjadi alasan mengapa ia jadi figur yang sering dimunculkan media.
Lantas, ini juga punya korelasi dengan Teori Kelas Sendok (spoon-class theory), yang juga mampu menjelaskan mengapa nama Puan Maharani begitu populer di mata masyarakat Indonesia—meski secara politik tak begitu punya daya dobrak.
Mengenal Teori Kelas Sendok
Teori Kelas Sendok merujuk pada gagasan bahwa orang-orang di sebuah negara, dapat diklasifikasikan dalam kelas sosio-ekonomi berbeda berdasarkan pada aset dan tingkat pendapatan dari orang tua mereka.
Akibatnya, kesuksesan sesorang dalam kehidupan secara keseluruhan, baik secara ekonomi, sosial, maupun politik, bergantung pada seberapa kaya orang tua mereka.
Kata “spoon-class” atau “kelas sendok” berangkat dari idiom bahasa Inggris: “Born with a silver spoon in one’s mouth”—merujuk pada kelahiran seseorang dari keluarga tajir melintir. Konteks idiom ini lahir dari konsep masyarakat zaman dahulu yang mengidentifikasi alat makan, utamanya sendok yang terbuat dari bahan perak, menunjukkan strata sosial yang tinggi.
Adapun, urutan klasifikasi masyarakat dari yang terkaya hingga termiskin dalam spoon-class theory dimulai dari berlian, platina, emas, perak, perunggu, baja, kayu, tanah, dan kotoran.
Melansir The Korean Times, teori ini mulai ramai di Korsel setidaknya sejak 2015 lalu. Dalam laporan ini, disebutkan bahwa kontribusi harta warisan orang tua dalam keseluruhan aset orang-orang di Korsel meningkat tiap dekadenya.
Pada tahun 1980-an, kontribusi harta warisan adalah sebesar 27 persen, kemudian naik menjadi 29 persen pada 1990-an, dan kembali meningkat pada 2000-an menjadi 42 persen. Dengan demikian, kepemilikan aset dan harta warisan orang tua ikut menentukan kesuksesan anak-anak mereka di masyarakat.
“Aset yang diwariskan akan menjadi hal yang jauh lebih penting daripada tabungan dari usaha sendiri,” ungkap profesor ekonomi Dongkuk University, Kim Nak-nyeong, dalam laporan tersebut, dikutip Senin (30/1/2023).
Kaitannya dengan Popularitas Puan Maharani
Jika menautkan antara spoon-class theory dengan popularitas Puan Maharani, setidaknya ini berhubungan langsung dengan konsep dinasti politik—warisan kekuasaan bagi anak-anak para politisi yang sukses. Secara langsung, karir politik kakek nenek dan orang tua Puan telah memberikannya privilese yang begitu besar atas pencapaiannya dalam dunia politik hari ini.
Melansir “Puan Terjebak Masyarakat Kelas Sendok” yang tayang di kanal Youtube PinterPolitik, aset politik Megawati—baik statusnya sebagai ketua umum parpol penguasa, eks presiden, hingga anak Sukarno—sangat menentukan karir politik Puan.
“Ini yang menjelaskan mengapa meski elektabilitas Puan rendah, bahkan merayap, nama Puan selalu dipergunjingkan pencalonannya baik sebagai capres maupun cawapres,” ungkap PinterPolitik, dikutip Senin (30/1/2023).
Dengan demikian, penguasaan aset dan faktor produksi kekuasaan yang telah dibangun Megawati, sangat menentukan peluang kesuksesan Puan dalam karier politiknya. Ini sekaligus menjawab, mengapa meski elektabilitasnya rendah, ia tetap diperhitungkan sebagai bakal capres untuk Pemilu 2024.
Sebagaimana diketahui, hingga saat ini PDIP belum mengumumkan nama bakal calon presiden yang bakal mereka usung untuk Pemilu 2024 mendatang.
Analis komunikasi politik dan militer Universitas Nasional, Selamat Ginting, menduga belum diumumkannya capres dari PDIP saat HUT ke-50 partai tersebut mengindikasikan bahwa Megawati masih memberikan kesempatan kepada Puan untuk dapat meningkatkan elektabilitas politiknya hingga Juni mendatang.
Puan Maharani, lanjut Ginting, adalah “putri mahkota” yang dipersiapkan Megawati untuk meneruskan trah Sukarno. Di sisi lain, Prananda Prabowo, anak kedua Megawati yang lebih sering berada di balik layar, saat ini menjabat sebagai Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Ekonomi Kreatif.
Mengingat usia dan masa kepemimpinan Megawati di PDIP telah berlangsung tiga dekade lamanya, maka, tipis kemungkinan Megawati akan mewariskan “sendok emasnya” ke orang lain, misalnya Ganjar, meskipun elektabilitasnya lebih tinggi.
“Wajar dan logis jika Mega menyiapkan putri mahkota dan putra mahkota untuk bakal capres maupun meneruskan kepemimpinan di PDIP,” pungkas Ginting.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda