MOJOK.CO – Tari—bukan nama sebenarnya—setiap hari berjibaku dengan kerasnya jalanan di kala malam demi menafkahi keluarga. Sebagai seorang driver ojek/kurir online perempuan, ia sudah merasakan pahitnya dijadikan bahan gosip dan guyonan hingga dilecehkan oleh orang tak dikenal. Kisahnya mewakili jalan sunyi pekerja gig perempuan yang begitu rentan dan berisiko.
Bersama motor matic-nya, Tari menembus sepinya Ring Road Utara Kota Jogja malam itu. Padahal, malam sudah lebih dari larut, kira-kira pukul satu dini hari. Jalanan pun masih basah, menandakan hujan belum lama mereda.
Tari mengenakan jaket warna oranye sebagai “seragam kerjanya”, sekaligus untuk melawan hawa dingin dan angin malam. Malam itu, ada sebuah order makanan yang harus ia antar ke kawasan Jalan Palagan.
“Selamat menikmati,” ujarnya begitu hangat kepada salah seorang customer saat ia mengangsurkan bungkusan pesanan. Tak lama, notifikasi masuk ke aplikasi di gawainya: bintang lima. Ia pun lega, dan bergegas kembali ke sebuah angkringan untuk menunggu orderan lain.
Ya, kata dia, masih ada satu lagi orderan lagi yang harus terpenuhi agar bonus bisa ditarik. Oleh sebab itu, dalam keadaan lelah dan dingin pun, single-parent ini tetap menunggu dan berharap ada orderan lain yang lain masuk. Setidaknya sampai jam dua pagi.
“Soalnya jam 2 itu bapaknya (pemilik angkringan) udah tutup, jadi enggak ada tempat kumpul sama driver lain,” kata perempuan berusia 36 tahun ini.
Dilecehkan dan ditertawakan
Malam itu Tari memacu sepeda motornya begitu pelan. Tak ada hal aneh di benaknya, mengingat malam-malam sebelumnya juga aman-aman saja. Namun, semenjak berhenti di lampu merah perempatan Ring Road Utara, perasaannya berubah jadi was-was. Ia merasa, ada sepeda motor yang sedari tadi mengikutinya.
Saat rambu beralih ke warna hijau, ia langsung tancap gas dan melajukan motornya lebih kencang. Tapi benar saja, motor yang sedari tadi menguntit juga menambah kecepatan. Dua laki-laki yang berboncengan ini sekonyong-konyong langsung memepet Tari.
“Mbak, boleh order yang lain nggak?” teriak dua laki-laki itu dengan nada merendahkan, yang sampai saat ini suaranya masih terngiang di kepala Tari. Ia ketakutan, tubuhnya serasa bergetar. Hawa dingin pun terasa makin menusuk.
Saat itu, tak ada yang lain di benaknya kecuali menambah laju motornya. Namun, seolah percuma, penguntit di belakangnya tetap bisa menyusul dan terus meneriakkan kata-kata yang merendahkannya.
Untungnya, saat Tari tiba di angkringan tempatnya berkumpul bersama driver lain, penguntit itu tak mengikutinya lagi. Saat turun dari motor, ia dengan spontan mengeluarkan kata-kata kotor, mengumpat, meluapkan amarah tentang apa yang ia alami di jalanan barusan.
Ia juga coba menceritakan kejadian tadi ke driver lain. Namun, alih-alih mendapat pembelaan, tak sedikit dari mereka yang justru makin melecehkannya.
“Tahu gitu belok ke OYO aja,” kata seorang driver pria.
“Makanya, rambutmu nggak usah diwarnain,” ujar yang lain, yang bikin Tari makin bingung.
“Padahal lumayan kalau dapat order tambahan,” sambung lainnya dengan penuh tawa. Tari sebenarnya kesal, marah, dan ingin sekali memukul salah satu dari mereka. Tapi ia hanya memilih diam, memendam sakitnya, dan menanggapi guyonan tidak lucu itu.
“Aku bisa apa sih, selain cuman diam?” tanya Tari masygul.
“Yah… aku akhirnya ikutan ketawa-ketawa aja, meski aslinya sakit banget,” tambahnya sambil tersenyum getir.
Trauma, tapi tak ada pilihan lain
Tari barangkali tidak sendirian. Di luar sana, kemungkinan masih ada banyak perempuan lain, khususnya yang berprofesi sebagai pengemudi ojol, mengalami tindakan kekerasan seksual.
Hal ini mengingat kekerasan seksual tidak hanya terjadi di ruang privat, tapi juga ruang publik. Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA), misalnya, mencatat 4 dari 5 perempuan sepanjang pandemi COVID-19 mengalami kekerasan seksual di ruang publik.
Tempat-tempat umum seperti halte, taman, hingga jalanan, justru menjadi ruang yang tidak aman bagi perempuan. Mereka kerap mengalami kekerasan dengan jenis yang beranekaragam. Ada yang secara fisik seperti sentuhan-sentuhan, hingga yang sifatnya verbal, berupa catcalling.
Pengalaman Tari termasuk dalam kekerasan seksual berjenis catcalling—yang disertai dengan penguntitan. Dalam budaya patriarki, banyak laki-laki menganggap catcalling sebagai pujian, meski sebenarnya sebagian besar perempuan melihatnya sebagai hal yang menjijikkan dan menimbulkan trauma.
Penelitian Saffana Z. Qila (2021), misalnya, memaparkan bahwa korban catcalling memang memiliki kecenderungan untuk diam. Kendati demikian, tulis Saffana, perasaan traumatis tetap menghantui dan dapat mengganggu aktivitas sehari-hari.
Tari juga mengalami perasaan tersebut. Ia mengaku sering was-was semenjak kejadian tersebut. Bahkan, selama seminggu berikutnya, ia libur ngojol karena takut hal serupa akan terulang. Apalagi jika yang terjadi lebih buruk dari malam itu.
“Bagaimana kalau aku dibegal? Atau dicelakai, atau malahan diperkosa?” ujar Tari dengan air muka kalut.
Untuk sekadar keluar rumah di malam hari saja, ia bahkan sampai mengubah penampilan luarnya hingga “menyerupai laki-laki”. Dengan begitu, katanya, ia merasa akan lebih aman karena “lelaki nggak bakal godain lelaki.”
“Aku masukin rambut ke dalam jaket,” kata Tari sambil menunjukkan rambutnya yang berwarna sedikit pirang itu.
“Aku juga pakai slayer gambar begini-begini [gambar tengkorak]. Pokoknya, apa aja aku lakuin biar nggak keliatan kalau aku perempuan,” sambungnya.
Dobel tanggungan, dobel kerjaan
Meski berhari-hari hidup dalam kecemasan, pada akhirnya ia menyerah dengan isi dompet yang makin tipis. Rasa takutnya pada jalanan, tidak lebih besar jika dibandingkan dengan ketakutannya pada dapur yang tidak bisa ngebul, anak yang nggak bisa jajan, atau cicilan yang tak terbayar.
Tari merupakan seorang single-parent alias orang tua tunggal. Anaknya dua, yang sulung berusia lima tahun, dan yang paling kecil baru dua tahun. Belum genap setahun ia bercerai dengan sang suami. Dengan hak asuh berada di pihaknya, Tari harus menghidupi dua anaknya sendiri. Sementara Tari ngebid (mengaktifkan akun) ibunya bersedia membantu mengasuh dua anaknya di rumah.
Menjadi driver ojol bukanlah pekerjaan utama perempuan asli Sleman ini. Sehari-hari, ia bekerja sebagai penjaga sebuah homestay dari siang sampai malam.
Namun, homestay yang Tari jaga tak pernah ramai pengunjung. Upah yang ia dapat pun amat kecil; sangat kurang dari cukup. Atas kondisi inilah akhirnya ia memutuskan ambil kerja sampingan menjadi driver ojol.
“Hasilnya lumayan buat jajan anak. Kalau diitung-itung sebulannya lebih gede daripada di homestay lah,” kata Tari dengan gestur bercanda.
Pandemi kelar, terbitlah teror debt-collector
Selain beban mengurus anak, Tari juga menghadapi tanggungan lain. Ia berkisah, selama pandemi Covid-19, ia bersama (mantan) suaminya sama-sama tidak bekerja. Saat itu, mereka sama-sama kena PHK.
Maka, buat menutup kebutuhan sehari-hari, Tari ambil cara kilat: pinjam uang di pinjaman online alias pinjol. Ia pinjam di tiga aplikasi berbeda dengan jumlah yang tidak kecil, hingga mereka hampir gagal bayar.
“Waktu itu ‘kan sempat telat, lama tidak kami bayar. Datanglah itu debt-collector serem-serem, seisi rumah kena marah. Tetangga juga lihat, bikin malu aja,” cerita Tari.
“Makanya, saya mutusin kerja biar nggak didatengin debt-collector lagi. Kebetulan ada saudara yang bawa aku kerja di sana (homestay).”
Kini, Tari pun semakin giat menekuni dua pekerjaan: siang jaga homestay dan malam jadi driver ojol tukang antar makanan. Ia aktif ngebid mulai pukul delapan malam dan off pukul dua pagi. Namun, tetap saja, ada waktu di mana pesanan ramai dan ada pula hari ketika pesanan sepi.
“Kalau lagi gacor, pernah dapat 150 ribu sehari, belum sama bonus. Tapi kalau lagi sepi, kayak sekarang ini, ya seret banget. Delapan orderan aja belum. Ya udah, dapat capeknya doang,” tandasnya.
Tetangga resek, cuekin aja
Tari mengakui, kesulitan utama menjadi driver ojol adalah tatapan sinis orang-orang, terutama tetangganya. Banyak yang melihatnya seolah “perempuan-suka-main” lantaran sering pulang pagi.
Ada pula gosip-gosip di antara tetangga yang menyebut bahwa setelah bercerai, Tari punya “pekerjaan aneh-aneh” berkedok ngojol. Alasan mereka padahal tidak masuk akal: hanya karena Tari dianggap selalu dandan menor sebelum ngojol.
“Masa’ mau ngojol orang nggak boleh pakai lipstik?” protesnya.
Tari mengaku, awalnya suara-suara sumbang tetangga ini cukup mengganggu pikirannya. Beberapa kali ibunya juga sempat menyuruh untuk berhenti saja, daripada jadi omongan para tetangga yang maha benar.
“Tapi lama-lama udah kebal. Toh, aku keluar buat kerja beneran, kok. Nggak minta makan mereka juga,” kata dia.
Sesama driver isi kepalanya kok, mesum
Selain itu, saat pertama kali “terjun” ke dunia per-ojol-an, Tari juga masih merasa sungkan. Sekadar nongkrong bareng driver lain pun ia merasa tidak nyaman, karena mayoritas adalah laki-laki.
Tapi seiring berjalannya waktu, ia bisa beradaptasi dan akrab dengan para driver semitra, khususnya yang memang mangkal di markas (baca: angkringan) langganan mereka.
Akan tetapi, masih ada satu hal yang mengganggu pikirannya: mengingat dia satu-satunya perempuan di tempat mangkal tersebut, Tari merasa sering menjadi objek jokes cabul pengemudi ojol laki-laki.
Guyonan-guyonan driver lain, kata dia banyak yang “offside”. Sejujurnya, Tari tidak nyaman di posisi seperti itu. Tapi apa daya, ia terlanjur terjun bebas dan menggantungkan hidup di dunia per-ojol-an. Ibarat kata, mengutip ungkapannya: “Nggak mangkal, nggak makan!”.
“Ya gitu, mereka sukanya nyerempet-nyerempet ke arah sana. Mungkin karena aku janda kali ya?” ungkapnya.
“Tapi ya aku ikut ketawa aja, mungkin mereka nggak tahu kali ya kalau itu pelecehan,” katanya lagi.
Terhitung sudah sekitar delapan bulan Tari menjalani profesi antar-jemput makanan bagi customer. Selama itu juga, hal-hal tak terduga sudah ia alami. Pelecehan di tengah jalan, customer tengil—ngasih bintang 1 tanpa dasar—hingga teman sesama driver yang punya pikiran cabul.
Namun, semua itu Tari lalui dengan penuh keberanian. Pun, jika ia mau memperkarakan kejadian traumatis itu, ia bingung harus memulai dari mana.
“Harus lapor ke siapa? Nggak punya kenalan atau saudara polisi, setahuku kalau mau diproses ya kudu dikenal [viral] dulu,” kata Tari.
Ia juga mengaku mulai membiasakan diri dengan semua asam-manis kehidupan jalanan, karena dengan ini ia bisa menghidupi kedua anaknya.
“Aku ini siapa sih, Mas? Kalau aku lapor dilecehin yang ada malah tetangga makin ngoceh, ‘tuh kan, makanya nggak usah kerja aneh-aneh’. Mana mau juga orang-orang gede peduli nasib orang-orang seperti aku ini,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda