MOJOK.CO – Mengamankan pangan merupakan siasat warga Dusun Wintaos, Gunungkidul di masa lalu agar mampu bertahan di tengah tanah gersang dan minim fasilitas. Siasat itu masih bersisa hingga saat ini. Warga Wintaos menyimpan hasil panen dalam “pesucen” agar bisa dinikmati oleh keluarga di kemudian hari.
Ketertarikan saya terhadap pangan dan pertanian di Wintaos berawal dari sebuah ketidaksengajaan saat panen raya gaplek di bulan Juli 2014. Saat itu Sekolah Pagesangan sedang berkegiatan di rumah Wartini, salah satu anggota komunitas. Bagi yang belum kenal, Sekolah Pagesangan adalah komunitas belajar independen yang menerapkan model pendidikan yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Sekolah Pagesangan berada di Dusun Wintaos, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Di rumah Wartini terdapat sebuah ruangan yang dipenuhi dengan gundukan gaplek kering. Singkong kering itu diletakkan dan diatur sedemikian rupa membentuk bukit kecil. Tak hanya di rumah Wartini, ruangan semacam itu juga saya temui di rumah-rumah lain di Wintaos saat musim panen raya gaplek tiba. Baru saya ketahui, masing-masing keluarga di Wintaos memang menyimpan hasil panen dari ladang.
Hampir semua keluarga di Wintaos bekerja sebagai petani. Mereka menerapkan model pertanian subsisten yang berorientasi pada pemenuhan pangan keluarga. Mereka menanam banyak jenis tanaman pangan, tapi hasil panennya tidak seluruhnya dijual. Beberapa jenis hasil panen (terutama beberapa jenis pangan pokok) diprioritaskan untuk pangan keluarga. Sementara hasil panen seperti jagung, kacang-kacangan, dan sayuran, diambil secukupnya untuk stok pangan, selebihnya baru dijual.
Itu menjelaskan mengapa tiap rumah memiliki simpanan gabah kering, gaplek, dan beberapa jenis kacang-kacangan. Bahkan, beberapa rumah juga menyimpan jali-jali, jewawut, sorghum untuk stok pangan keluarga.
Alasan menyimpan pangan
Simpanan pangan di tiap rumah itu menarik perhatian. Saya kemudian ngobrol dengan para orang tua dari anak-anak Sekolah Pagesangan, terutama ibu dan nenek yang terbiasa mengelola pangan keluarga. Melalui cerita mereka saya mengetahui, mengamankan pangan untuk keluarga sudah dilakukan sejak dahulu.
Produksi pangan hanya bergantung hujan
Sejak nenek moyang membabat alas Dusun Wintaos, mereka memproduksi pangan sendiri dengan cara menanam di lahan kering. Air irigasi tentu saja terbatas, sehingga sumber pengairan untuk tanaman yang dibudidayakan hanya bergantung pada air hujan. Oleh karena itu, produksi pangan hanya bisa dilakukan saat musim hujan. Dengan kata lain, mereka hanya bisa melakukan satu kali produksi pada setiap jenis tanaman pangan.
Melihat kondisi itu, mereka menanam beragam jenis tanaman (termasuk beragam jenis karbohidrat, protein, sayur dan buah) untuk mencukupi kebutuhan pangan sepanjang tahun. Sebagian dari hasil panen kemudian disimpan di salah satu ruangan di dalam rumah yang dikhususkan untuk stok pangan dari hasil panen. Mereka menyebutnya pesucen.
Akses ke pasar terbatas
Dusun Wintaos cukup terisolir sebelum 1980-an. Saat itu belum ada infrastruktur transportasi dan komunikasi yang memadai. Mobilisasi sepenuhnya dilakukan dengan jalan kaki. Pangan bisa diakses di pasar, namun pasar terdekat dibuka hanya saat tiap weton tertentu saja (lima hari sekali dibuka). Oleh karena itu, penting memiliki persediaan pangan dari hasil tanam sendiri.
Antisipasi paceklik
Orang-orang Wintaos niteni (menandai), setiap beberapa tahun sekali selalu ada musim paceklik. Penyebabnya bisa macam-macam, ada yang karena kemarau panjang maupun adanya serangan hama atau penyakit tanaman. Hama yang paling sering menyerang adalah tikus. Mereka merasa harus punya langkah antisipasi terhadap kondisi semacam ini dengan menyiapkan pangan yang memadai untuk menghadapi masa gagal panen. Ketercukupan pangan penting untuk kelangsungan hidup seluruh anggota keluarga.
Cara pengaturan pangan dan nilai di baliknya
Obrolan-obrolan dengan para orang tua itu menyadarkan saya akan nilai-nilai dan cara pengaturan pangan di keluarga-keluarga Wintaos.
Setiap keluarga punya tandon pangan
Di masa kini, di tengah transportasi dan komunikasi lebih terbuka di Wintaos, distribusi pangan jauh lebih mudah dan luas. Menyimpan beragam pangan di pesucen memang menjadi seolah-olah tak lagi mendesak. Umumnya pesucen di tiap keluarga kini hanya diisi oleh gabah kering dan gaplek.
Akan tetapi kalau melihat kembali ke belakang sebelum 1990-an, aktivitas menyiapkan stok pangan di pesucen bukanlah hal yang asing. Hampir setiap keluarga melakukannya. Hasil panen yang dijadikan stok pangan adalah gabah, gaplek, jagung, jewawut, jali-jali, sorghum, uwi, kimpul, telo pendem, dan lain-lain.
Pangan di pesucen tak boleh habis
“Simbokku (ibuku) mengajariku cara menyimpan dan menyisakan pangan supaya tidak sampai habis. Stok pangan di rumah tidak boleh benar-benar habis, hingga panen tahun depan, seharusnya hasil panen tahun lalu masih,” jelas Ngapiyah, salah satu orang tua di Sekolah Pagesangan. Supaya cukup dan tidak sampai kehabisan stok pangan, Ngapiyah menjelaskan,pangan harian dilakukan pergiliran jenis pangan pokok menyesuaikan stok pangan yang tersedia.
Tidak boleh menjual gabah
“Padi ini benar-benar harus disimpan, tidak boleh dijual. Apalagi bagi orang orang-orang zaman dulu, jangankan untuk menjual padi/beras, ora ilok (pantang) jual beras, setiap proses penanaman padi saja ada ritualnya,” ujar Tupani.
Ia menceritakan, saat masih kecil atau sekitar tahun 1960-an, semua jenis pangan memang dianggap penting dan sangat dihargai, terutama padi. Penghormatan pada padi dimulai saat benih padi ditabur, dipanen, hingga pasca panen. Perlakuan istimewa terhadap padi erat kaitannya dengan Dewi Sari sang dewi kesuburan. Menghormati Dewi Sari, merupakan ‘simbol’ bentuk hubungan antara do’a dan harapan pada semesta alam untuk memberikan kesejahteraan pangan bagi keluarganya.
Puji, Sari, Karti, dan Restu yang rata-rata berusia sekitar 30-40 tahun juga menceritakan hal serupa. Orang tua melarang mereka menjual gabah/beras dan mengajarkan untuk menyimpannya sebagai konsumsi keluarga. Namun, mereka kini tidak sepenuhnya menuruti ucapan itu. Apalagi kondisi sekarang dinilai berbeda dengan masa lampau. Kebutuhan semakin banyak, keperluan akan uang semakin besar. Seringkali gabah lama yaitu hasil panen tahun lalu (atau beberapa tahun lalu) dijual demi memenuhi kebutuhan non-beras. Bagi mereka, yang penting saat ini adalah tidak menjual gabah/beras yang baru dipanen tahun ini karena beras/gabah tersebut diprioritaskan untuk keamanan pangan keluarga.
Mengetahui bagaimana detail manajemen pangan yang mereka terapkan, saya menyadari satu hal, Gunungkidul ternyata memiliki tingkat kedaulatan dan kerapihan manajemen pangan. Padahal selama ini dipersepsikan sebagai daerah kering dan kurang produktif untuk pertanian. Mereka memiliki sistem pangan yang mampu selaras antara sistem produksi pangan di ladang, sistem penyimpanan hingga sistem konsumsi harian.
Apakan manajemen pangan masih relevan?
Tradisi menyimpan dan memiliki lumbung pangan dari hasil panen sendiri seperti yang dilakukan orang-orang Wintaos (terutama di era sebelum 1990-an) seolah-olah tidak relevan. Kita hidup di era pangan bisa diperoleh dengan mudah selama punya uang. Keterbukaan transportasi dan komunikasi memudahkan akses pangan di pasar secara fisik maupun secara daring. Asalkan punya uang, pangan bisa dibeli dengan mudah.
Akan tetapi, benarkah menggantungkan pangan pada pasar bisa menjamin keamanan pangan kita?
Dari pengalaman pandemi Covid-19, sebagai negara yang turut menggantungkan pangan pada pasar dunia, kita sempat khawatir mengalami krisis pangan. Saat itu tiap negara produsen pangan bisa saja membatasi keran ekspor dan memprioritaskan hasil produksi untuk kebutuhan dalam negeri masing-masing.
Kondisi yang mirip juga terjadi saat perang Ukraina vs Rusia. Ukraina sebagai salah satu penghasil gandum terbesar di dunia sempat mengancam akan menutup keran ekspor. Padahal kebutuhan gandum kita sangat tinggi.
Dua peristiwa memberi pelajaran bahwa kita tak pernah steril dari ancaman krisis pangan selama masih menggantungkan sumber pangan dari pasar dan tidak berupaya memproduksi sendiri. Apalagi, pemanasan global saat ini berpengaruh terhadap perubahan iklim yang secara langsung bisa berdampak pada produksi pangan.
Beberapa tahun terakhir dan yang akan datang, ancaman krisis pangan mulai nampak dengan iklim yang semakin tidak menentu, hujan ekstrem, banjir, kekeringan, dan ledakan hama serta penyakit bisa membuat petani gagal panen. Sepertinya sudah seharusnya kita mulai memikirkan sistem pangan yang lebih resilience pada kondisi bencana. Sistem produksi dan penyimpanan pangan yang dilakukan orang-orang Wintaos bisa menjadi salah satu referensi.
Catatan penulis: Wartinah dan semua nama yang disebutkan di tulisan ini adalah nama samaran demi menjaga kenyamanan semua narasumber.
Penulis: Diah Widuretno
Editor: Kenia Intan