Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Podium

Absennya Khalifah di Bumi dalam Rantai Makanan di Buku IPA

Pernahkah terpikir dalam benak kita? Saat guru IPA atau Biologi mengajarkan materi tentang rantai makanan, buku-buku diktat tidak memasukkan gambar “manusia” di dalamnya.

Ciptaningrat Larastiti oleh Ciptaningrat Larastiti
31 Mei 2023
A A
rantai makanan mojok.co

Ilustrasi manusia dan rantai makanan (Ega Fanshuri/Mojok.co)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Tak adanya manusia dalam rantai makanan yang diajarkan di sekolah mengundang tanya. Padahal peranannya penting. Ia bisa jadi sosok penentu dalam rantai tersebut. 

Sebagai manusia yang dibesarkan oleh sekolah selama bertahun-tahun, saya merasa ada yang janggal dengan aturan “Dilarang Membuang Sampah Sembarangan!”. Aturan itu mungkin banyak orang yang hafal, tapi jarang yang menerapkannya dengan sungguh-sungguh. Kalau dipikir-pikir lagi, larangan tersebut tidak ada bedanya dengan mitos rumah angker yang seringkali diabaikan terutama ketika suasana begitu meriah, seperti yang terjadi malam itu.

Pada suatu malam, lapangan dekat rumah saya yang terkenal gelap dan wingit menjadi meriah oleh pesta rakyat jathilan menyambut Ramadan. Biasanya, tempat itu selalu gelap, pun di siang hari. Rumpun bambu, pohon melinjo, pohon jati, dan semak belukar begitu lebat mengelilingi lapangan. Hanya ada satu rumah yang ada di dekat sana, selebihnya (mungkin) dihuni genderuwo dan kerabat-kerabatnya. Biasanya, kami, manusia, hanya berani beraktivitas di sekitar lapangan sebelum Maghrib tiba. Sesudahnya, boro-boro. Lewat di sampingnya saja, bulu kuduk sudah meremang.

Akan tetapi, pada malam itu banyak orang berdatangan melihat pertunjukan di lapangan. Hampir semua mengendarai sepeda motor, tapi ada pula yang berjalan kaki. Pedagang jajanan “masa kini” berjajar. Jangan harap ada kacang rebus atau jagung rebus, kuno sekali. Hampir semua pedagang menjual burger, sosis, tempura, cumi-cumi bakar, pizza, es teh dan segala macam minuman manis boba yang menjadi idola anak muda. Kehadiran beratus-ratus manusia di saat bersamaan seperti sedang menegaskan status quo terhadap lapangan dari para penghuni malam di sana. Begitulah manusia, berani kalau beramai-ramai.

Genderuwo yang akan menyapu sampah plastik kita?

Usai acara, seperti diduga sedari awal, sampah berserakan di mana-mana mulai di selokan, pinggir jalan, pojokan kebun, dan tengah lapangan. Tak terurus, diabaikan begitu saja. Seperti pepatah: gajah mati tinggalkan gading (karena dijual ke pasar gelap), harimau mati tinggalkan belang (jadi karpet lantai rumah para jutawan), manusia mati tinggalkan sampah plastik (tertimbun tak terurai ratusan tahun).

Semakin banyak orang berdatangan, semakin banyak pula yang lempar tanggungjawab untuk mengurus sampah-sampah itu. Sekalipun acara itu terselenggara di tempat seram, kediaman genderuwo dan kerabat-kerabatnya, sampah-sampah plastik itu tetap melimpah. Sedari kecil, kita diajari bahwa manusia adalah khalifah di bumi. Apapun di sekitar manusia, ada untuk melayani kebutuhan manusia. Termasuk di antaranya, para pengunjung keramaian itu yang mungkin mengira genderuwo akan bergotong royong menyapu sampah-sampah plastik mereka.

Apa yang tidak diajarkan di sekolah?

Apa yang sebenarnya tidak diajarkan kepada kita, manusia, sampai begitu entengnya membuang sampah di mana-mana? Saat merenungi pertanyaan ini, saya membuka-buka isi kepala, mengingat-ingat apa yang saya peroleh selama 18 tahun bersekolah (selain privilege karier sebagai pekerja kerah putih)?

Saya melongo seperti Patrick teman Spongebob dalam rumah batunya di Bikini Bottom. Kosong. Selayaknya itu lah sekolah. Jarak pendidikan formal pada kehidupan sehari-hari terasa jauh. Apa yang kita dapat sebagai generasi terpelajar ialah mewajarkan serangkaian perusakan berdalih pemanfaatan, dimulai dari pengabaian kecil seperti membuang sampah sembarangan. Klise, tetapi, kita tidak pernah benar-benar bertanya kenapa?

Pertama, mungkin kita bisa berjalan mundur ke-abad 15 saat revolusi ilmiah terjadi, ketika Rene Descartes mencetuskan “Cogito Ergo Sum” (Aku berpikir maka aku ada). Akal manusia berada di atas segalanya. Ia menandai perubahan cara pandang tentang manusia dan semesta alam, dari “alam sebagai kehidupan organis di mana manusia menjadi bagian di dalamnya” menjadi “alam sebagai sumber daya, alat produksi dan mesin akumulasi keuntungan yang direkayasa secara ilmiah.”

Tidak heran, cara pandang ini membuat kita kepalang berani membuang sampah ke tempat-tempat yang seharusnya dijaga. Mungkin, kita tidak tahu bahwa sampah plastik tidak bisa terurai oleh tumpukan daun bambu. Padahal kompos daun bambu mengandung banyak fosfor dan kalium, bisa menyuburkan daun dan mencegah penyakit busuk akar. Tetapi apa daya, kita tidak pernah diajarkan hal sesederhana itu dalam pendidikan dasar kita. Secara normatif, sekolah mengajak untuk tidak membuang sampah sembarangan. Namun, tidak pernah menjelaskan secara empiris, seberapa bahaya pengaruh mikroplastik pada daur kehidupan kita ini.

Kenapa tidak ada manusia di gambaran rantai makanan?

Kedua, pernahkah terpikir dalam benak kita? Saat guru IPA atau Biologi mengajarkan materi tentang rantai makanan, buku-buku diktat tidak memasukkan gambar “manusia” di dalamnya. Gambar-gambar yang tersedia selalu tentang hewan (invertebrata dan vertebrata) dan tanaman, tetapi tidak ada manusia sebagai bagian dari primata omnivora. Misalnya, rantai makanan di sawah terdiri dari padi dimakan tikus, tikus dimakan ular, ular dimakan elang. Luput kehadiran manusia yang membuat ekologi sawah, memanen padi. Kita merasa lebih berderajat jika memasukkannya sebagai daur produksi sawah dan rantai komoditas padi. Semua itu seolah berada di luar rantai makanan.

Padahal manusia merupakan predator paling merusak dalam rantai makanan itu. Saat, manusia merasa terancam dengan ular, kita memburu dan membasminya. Kita lupa bahwa ular predator tikus. Lalu saat terancam oleh wabah tikus, kita memilih untuk menyemprot gas beracun ke lubang-lubang tanah tempat tikus hidup. Meski tanpa disadari, di saat bersamaan juga menghabisi mikroba yang berguna bagi proses penguraian.

Pandemi yang melanda berbagai penjuru dunia menjadi pengingat bahwa manusia merupakan bagian dari rantai makanan. Manusia sebagai predator besar bisa dipunahkan oleh virus yang tidak terlihat.

Ketiga, saat meniadakan manusia di dalam rantai makanan, saat itu pula manusia lupa untuk merawat basisnya melanjutkan kehidupan. Secara tidak sadar, pendidikan menjauhkan kita pada kerja “merawat kehidupan”, semacam tidak mengonsumsi plastik berlebihan agar tidak membuangnya secara sia-sia. Pendidikan hanya mengajarkan kita merekayasa teknologi yang mampu melipatgandakan produktivitas kerja memproduksi barang-barang. Pada akhirnya, barang-barang itu dikonsumsi massal dan sampahnya seolah menjadi hal alamiah yang harus bumi terima.

Iklan

Penulis: Ciptaningrat Larastiti
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA 10 Buku Bertema Perempuan yang Paling Menarik Buat Dibaca

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Terakhir diperbarui pada 31 Mei 2023 oleh

Tags: Pemilu 2024rantai makanansampahsampah plastik
Ciptaningrat Larastiti

Ciptaningrat Larastiti

Ibu muda, peneliti sosial, tinggal di lereng Merapi

Artikel Terkait

Bumiku Lestari: Inovasi Bank Sampah yang Bisa Ditukar dengan Bahan Makanan Sehat
Video

Bumiku Lestari: Inovasi Bank Sampah yang Bisa Ditukar dengan Bahan Makanan Sehat

23 Oktober 2025
Kiamat Sampah dan Hal-Hal Lain yang Mempercepat Bali Tak Layak Lagi Dikunjungi.MOJOK.CO
Ragam

Kiamat Sampah dan Hal-Hal Lain yang Mempercepat Bali Tak Layak Lagi Dikunjungi

26 Desember 2024
Rasanya Satu Kelompok KKN dengan Anak Caleg, KKN Undip.MOJOK.CO
Kampus

Rasanya Satu Kelompok KKN dengan Anak Caleg, Semua Urusan Jadi Mudah Meski Suasana Bikin Tak Betah

14 Juli 2024
Sampah Jogja, Darurat Sampah Jogja.MOJOK.CO
Aktual

Warga Jogja Paling Berisik di Medsos Soal Sampah, Tapi Pemerintahnya Tutup Mata dan Telinga

8 Juni 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
Maybank Cycling Mojok.co

750 Pesepeda Ramaikan Maybank Cycling Series Il Festino 2025 Yogyakarta, Ini Para Juaranya

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.