MOJOK.CO – Bagi masyarakat Flores, mereka tidak mengenal yang namanya rindu orde baru. Justru, rindu penjajahan Belanda-lah yang mereka rasakan sejak Indonesia merdeka.
Akhir-Akhir ini kita mendengar tentang orang-orang yang memendam kerinduannya pada Orde Baru dan Soeharto. Tapi, tahukah Anda bahwa sejak negara ini merdeka, ada orang-orang yang justru rindu penjajahan Belanda dengan sungguh-sungguh? Kedengarannya memang absurd, namun seperti itulah faktanya.
George Santayana, filsuf asal Spanyol pernah berujar, “Mereka yang tidak bisa mengingat masa lalu akan dikutuk untuk mengulanginya (lagi).”
Pernyataan dari Santayana jelas bermaksud untuk mengingatkan bahwa penting bagi kita untuk memahami sejarah, agar peristiwa-peristiwa buruk di masa lalu tidak kembali terulang di masa kini atau nanti. Siapa pun yang tak bisa mempelajari makna di dalamnya akan menjadi orang orang-orang yang terkutuk.
Salah satu sejarah yang penting untuk diingat bangsa Indonesia adalah penjajahan dalam bentuk imperialisme dan kolonialisme bangsa Belanda. Kita selalu diberi tahu bahwa apa yang telah mereka lakukan adalah sesuatu yang berbahaya dan mesti dihapus agar kita tidak terjatuh lagi ke dalam masa kelam itu.
Mengingatkan sejarah penjajahan bisa dilakukan dengan beragam cara, salah satu dan yang paling umum adalah melalui pendidikan. Sejak sekolah dasar kita mengenal istilah yang mengerikan untuk menggambarkan kekejaman penjajah seperti:
Cultuurstelsel atau tanam paksa, yaitu peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila) yang hasilnya di jual murah kepada Belanda.
Selain itu, kita mengenal istilah Heerendiensten atau kerja rodi di bawah perintah gubernur Herman Williem Daendels, di mana ia memerintahkan untuk membangun jalan raya dari Anyer sampai Panarukan sepanjang 1100 km yang menyebabkan banyak pekerja meninggal.
Lalu saat sekolah menengah, kita mengenal istilah devide et impera, yaitu politik pecah belah atau politik adu domba penjajah. Hal ini sebagai sebuah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil sehingga lebih mudah ditaklukkan.
Untuk devide et impera, ternyata bukan hanya digunakan oleh penjajah, tetapi justru masih digunakan oleh para politisi kita hari ini untuk saling berebut kursi kuasa. Selain politisi, konon katanya juga digunakan oleh Pelakor dan Pebinor dalam menjajah sebuah rumah tangga untuk merebut suami atau bini orang.
Kembali ke soal penjajah. Dengan semua narasi soal kekejaman dan kelicikan yang ditunjukan penjajah ke bangsa Indonesia yang amat patriot dan nasionalisme—tetapi takut hantu komunis di setiap musim pemilu itu, mereka malah disukai di Flores. Orang Flores, Nusa Tenggara Timur ini, justru rindu penjajahan Belanda.
Benar, Flores di Nusa Tenggara Timur. Saya perlu memperjelas bahwa FLORES berada di NUSA TENGGARA TIMUR. Pasalnya saat merantau, kami sering mendapat pertanyaan, “Flores itu dimana ya?” yang karena keterusan menjadi menyebalkan.
Pertanyaan semacam ini, bahkan dilakukan di siaran televisi nasional oleh juri, kepada peserta dari Flores dalam sebuah ajang pencarian bakat. Ketika saya mendengar pertanyaan itu, saya sungguh-sungguh ingin sekali mengajari mereka membaca peta sambil melemparkan globe ke mukanya.
Nah, spirit gold, glory, dan gospel yang dibawa oleh penjajah—alih-alih dibaca sebagai upaya hegemoni atas tanah jajahannya seperti kebanyakan tempat di Indonesia—di Flores, kedatangan penjajah justru dianggap sebagai keberkahan dan nikmat yang perlu disyukuri. Bahwa sebelum negara ini hadir dan menjanjikan kesejahteraan bagi masyarakat Flores, para penjajah itu telah lebih dahulu datang membawa perubahan.
Pertanyaannya, mengapa masyarakat Flores justru rindu penjajahan, meski kurikulum pendidikan sejarah bangsa ini membuat narasi buruk tentang mereka? Atau bagaimana mungkin jejak penjajahan ratusan tahun yang penuh dengan siksaan seperti yang digambarkan dalam buku-buku justru membuat orang rindu?
Jawabannya ada di dalam beberapa hal berikut ini.
1. Pendidikan Berkualitas
Di Flores, kebanyakan anak-anak, dari pendidikan dasar hingga menengah, oleh orang tuanya disekolahkan di Sekolah Katolik. Pasalnya, kualitas sekolah ini sudah teruji dan ada keseimbangan antara pendidikan kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Hampir setiap tahun sekolah-sekolah ini merajai ranking kelulusan Ujian Nasional dan umumnya dinyatakan lulus dengan kelakuan baik di mata masyarakat. Sekolah-sekolah jenis ini biasanya sekolah tua peninggalan penjajah yang dikelola oleh para pastor, suster, dan bruder orang Belanda. Ketika sekolah-sekolah ini mengalami sedikit penurunan, orang-orang akan cepat mengatakan: Lebih baik zaman pastor Belanda, sekolah itu sangat bagus, tidak seperti sekarang. Hancur!
2. Pelayanan Kesehatan yang Baik
Sebelum mengenal KIS atau BPJS seperti sekarang, orang-orang Flores zaman dahulu telah mendapat pelayanan murah dan berkualitas melalui tangan dingin dan terampil para pastor, suster, dan bruder orang Belanda. Apa yang mereka lakukan telah membuat orang-orang Flores sukar move on. Ketika biaya rumah sakit makin mahal dan kualitas pelayananan tidak maksimal di rumah sakit pemerintah, orang-orang akan membandingkannya dengan pelayanan kesehatan di klinik biara zaman Belanda. Sungguh sangat berbeda.
3. Iuran Gereja Semakin Mahal
Ini serius, akhir-akhir ini iuran gereja di Flores hampir mirip pajak yang harus dibayar umat ke negara. Iuran yang beragam dengan angka-angka yang besar semacam iuran pembangunan, iuran wajib, juga administrasi berkas penerimaan sakramen telah mendatangkan kritik yang luas. Umat gereja katolik, akan membandingkan zaman pastor barat, di mana tak ada iuran dan semua pemberian gereja diterima dengan cuma-cuma.
4. Kursus Rumah Tangga
Pada Zaman Belanda, di biara susteran, disediakan kursus rumah tangga bagi wanita yang hendak menikah dengan tujuan mengajarkan mereka untuk lebih siap jika menikah. Kesannya memang amat patriarki, seolah-olah perempuan yang harus mengurus rumah tangga, tetapi ini penting dan manfaatnya luar biasa, setidaknya saat berumah tangga seorang wanita mampu mengurus keluarganya dengan baik.
Mereka di ajarkan memasak, menjahit, menyuci, merawat anak, hingga bercocok tanam, dan memelihara ternak. Keterampilan ini yang sering hilang dari banyak perempuan yang berumah tangga saat ini Jika sudah demikian orang-orang akan berkata, “Coba saja masih ada suster dari Belanda, para perempuan kita bisa belajar agar bisa mengurus rumah tangga”.
Membandingkan apa yang kami dapatkan dulu dengan sekarang, salahkah kalau kami—orang Flores—rindu penjajahan Belanda?