MOJOK.CO – Terorisme adalah hal yang salah, tidak peduli siapa yang menjadi korban dan siapa yang menjadi si teroris, termasuk pada kasus penembakan masjid di Selandia Baru.
Sejumlah 49 orang tewas dan 48 luka-luka akibat penembakan masjid Al Noor dan Linwood Islamic Center, Christchurch, Selandia Baru (15/03), saat pelaksanaan Salat Jumat di kedua masjid tersebut sedang berlangsung. Menurut kabar yang berkembang, polisi Selandia Baru menangkap 4 orang yang diduga menjadi pelaku penembakan, satu diantaranya merupakan warga Australia. Selain itu, ada juga 2 bahan peledak di sebuah mobil yang berhasil diamankan pihak kepolisian.
Beberapa menit setelah kejadian ini diangkat ke media, lini masa saya pun langsung dipenuhi dengan ucapan belasungkawa, amarah, serta kesedihan untuk tragedi ini. Sayangnya, di antara ucapan-ucapan tersebut, ada saja beberapa komentar yang nyempil mengenai kata “terorisme” pada berita tersebut. Dari komentar-komentar ini, kebanyakan orang mempermasalahkan pihak Selandia Baru yang dianggap enggan menyebut pelaku penembakan sebagai “teroris”.
“Giliran begini aja nggak dibilang teroris.”
“Mereka enggan menyebut teroris, padahal kalau yang nembak muslim baru, deh, dibilang teroris.”
“Kalau korbannya muslim, nggak dibilang terorisme. Begini, nih, kalau muslim jadi minoritas.”
Begitu kira-kira bunyi dari komentar yang saya baca.
Faktanya, dalam press release yang dilakukan beberapa saat setelah penembakan, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mengatakan bahwa “kejadian ini jelas dapat disebut sebagai tindakan terorisme”. Andern juga mengatakan bahwa penembakan tersebut merupakan “salah satu hari tergelap di Selandia Baru”. Ia pun menaikkan level teror di Selandia Baru ke status tertinggi.
“Kamu mungkin bisa memilih kami, tapi kami dengan jelas menolak dan mengutukmu,” ujar Andern dengan nada yang tegas.
Tidak hanya Andern, Perdana Menteri Australia Scott Morrison juga menyebut pelaku penembakan masjid sebagai “teroris sayap kanan ekstrem”. Ada juga cuitan dari Perdana Menteri Inggris Theresa May yang mengatakan bahwa dirinya “turut berduka cita terhadap Selandia Baru setelah serangan teroris yang mengerikan di Christchurch”. Sederetan pemimpin dunia lain pun ikut menyebut pelaku sebagai teroris, seperti First Minister Skotlandia Nicola Sturgeon dan mantan Perdana Menteri Austalia Malcolm Turnbull.
Nah, jadi sudah jelas, ya, Bapak dan Ibu sekalian, bahwa mereka sendiri menyebut ini sebagai “tindakan terorisme” dan pelakunya disebut teroris. Puas???
Saya jadi ingat pada peristiwa penembakan di Paris. Kala itu, saya memasang tagar #prayforparis di status Facebook saya sebagai bentuk belasungkawa. Tiba-tiba, status itu langsung diserbu beberapa teman saya yang agak ‘nganu’. Mereka percaya bahwa jika pelakunya non-muslim, pasti nggak akan dibilang teroris. Komentar lain bahkan mempersalahkan tindakan saya yang katanya tidak pernah menunjukan rasa simpati yang sama ketika kaum muslim diserang.
Ini lucu, soalnya saat itu saya baru saja mem-post berita tentang Palestina di timeline saya beberapa hari sebelumnya, lengkap dengan tagar #prayforpalestine. Ckck!
Ada juga yang berkomentar bahwa tindakan teror itu tidak sebanding dengan korban yang berjatuhan di Palestina, seakan-akan menjustifikasi bahwa tindakan teror tersebut adalah hal yang tidak perlu direspons dengan kesedihan.
Hal yang sama juga terjadi di kejadian teror lain, baik lokal maupun regional. Ada saja orang-orang yang mempermasalahkan hal yang tidak substansial, seperti penyebutan kata “teroris”, agama si pelaku, dan lain-lain. Dari penelusuran saya, si pencetus komentar seperti ini muncul di semua pihak—tidak hanya dari satu “kaum”, tapi juga dari “kaum” lain. Bukannya membuat keadaan menjadi semakin kondusif pasca suatu tragedi, orang-orang macam ini malah membuat suasana jadi semakin “panas”. Iya atau iya?
Puncaknya, tragedi penembakan masjid ini justru dijadikan “senjata” untuk menebarkan lebih banyak kebencian—sumber dari terjadinya tragedi itu sendiri, sebuah lingkaran setan yang seakan tidak akan pernah berhenti.
Bagi saya, setiap tindakan yang menghilangkan nyawa orang tidak bersalah merupakan tragedi, tidak peduli siapa yang menjadi korban dan siapa yang menjadi pelaku yang disebut sebagai teroris. Dan sebagaimana mestinya sebuah tragedi, hal ini mesti direspons dengan belasungkawa dan doa—bukannya malah mempermasalahkan penyebutan “teroris”, apalagi menggunakan tragedi tersebut untuk menjustifikasi tindakan kekerasan yang pernah dilakukan kaumnya.
Jadi, tidak perlulah kita-kita ini bermain korban (play victim) seakan-akan menjadi pihak yang selalu dirugikan, apalagi melaksanakan aksi balas dendam. Tidak perlu membanding-bandingkan tragedi penembakan masjid ini dengan tragedi lainnya. Juga, tidak perlu mencari siapa yang saling bersalah di semua tragedi ini. Toh, semuanya merupakan kesalahan kita semua, seluruh umat manusia, yang gagal menjadi khalifah untuk menciptakan perdamaian di bumi.
Menurut saya, yang sangat kita perlukan saat ini hanyalah bercermin pada diri kita sendiri, mencari cara untuk menghilangkan semua kebencian dan rasa saling curiga di bumi. Kita perlu berusaha memahami orang lain, sekaligus memudahkan diri untuk dipahami orang lain. Sebagaimana yang diceritakan Black Eyed Peas dalam lagunya “Where’s The love”: Lack of understanding leading us away from unity—kurangnya pemahaman (satu sama lain) membawa kita jauh dari persatuan.
Yang terpenting, semoga arwah mereka yang menjadi korban diterima di sisi-Nya. Amin.