MOJOK.CO – Selama open BO, ada tiga motor matic yang paling sering saya “tunggangi”. Mereka adalah Honda Vario 160, Honda Scoopy, dan Yamaha Fazzio.
Sambil menunggu lanjutan kisah Dari Bilik ke Bilik yang kedua, saya selingi dengan mengulas tiga motor matic yang layak dimiliki. Mereka adalah Honda Vario 160, Honda Scoopy, dan Yamaha Fazzio. Saya menggunakan empat indikator untuk menilai, yaitu konsumsi bahan bakar, tenaga, kenyamanan berkendara, dan desain.
Biar sedikit lebih menarik, ulasan tiga motor matic ini saya buat saat sedang open BO. Begini. Kenapa begitu? Ya kenapa nggak?! Nanti kalian juga paham maksudnya.
Motor yang pernah saya “gagahi”
Hampir setiap hari, ada belasan orang yang mendatangi kontrakan saya. Tentu saja mereka membawa kendaraan masing-masing. Ada motor, kadang mobil.
Sementara itu, saya sendiri memiliki dua motor custom siap pakai. Lantaran statusnya custom, banyak orang bisa dengan mudah mengenali bahwa itu motor saya. Khususnya ketika melintas di jalanan atau tempat parkir hotel. Mereka mudah mengenali motor saya karena bentuk dan warnanya mencolok.
Oleh sebab itu, namanya mencari aman, saya sering meminjam motor teman yang datang ke kontrakan ketika mau open BO. Caranya? Saya tinggal pamit mau membeli rokok di warung “Madura”. Alias warung yang ada di “Pulau Madura”. Alias “bakal lama”. Mereka sih biasanya sudah memahami kode tersebut.
Kondisi tersebut menciptakan sebuah kondisi di mana saya pernah memakai banyak varian motor, baik manual sampai motor matic. Motor yang terasa nikmat untuk berkeliaran malam menelusuri jalan sepi setelah pukul 11 malam, gang-gang sempit sekitar Seturan yang kadang ada bapak-bapak lagi ronda.
Bayangkan kalau membawa motor custom saya, tentunya warga akan dengan mudah mengenalinya. Jadi, motor yang saya bawa antara lain Honda Vario 160, Honda Scoopy, Yamaha Fazzio, Honda Vario 125, Honda Revo, Honda Beat, Yamaha Mio GT, Kawasaki W 75, sampai CB-150 R.
Nah, Dari semua merek itu, ada tiga motor matic yang menyita perhatian saya. Tiga motor matic ini, Honda Vario 160, Honda Scoopy, dan Yamaha Fazzio, lumayan sering saya pakai untuk berangkat open BO antara 2020 sampai 2022. Jadi user experience berkendara tentu masih cukup segar untuk dituliskan.
#1 Honda Vario 160
Kalau membandingkan tiga motor matik tersebut, Honda Vario 160, Honda Scoopy, dan Yamaha Fazzio, yang pertama wajib saya ulas adalah Vario 160. Terakhir saya mengecek website Astra Honda Motor, Vario 160 mempunyai harga Rp26,5 juta.
Saat ini, dibanding Scoopy dan Fazzio, Honda Vario 160 adalah yang sering saya gunakan. Kebetulan, saat ini, ada dua Vario 160 yang sering nangkring di kontrakan; warna hitam dan putih. Keduanya sama-sama masih baru, sudah keyless, dan ada tombol alarm-hazard. Jadi, kalau keluar dari lobi hotel dan ke parkiran, kita bakal tahu motornya yang mana. Ya, siapa tahu, di parkiran hotel, banyak Vario 160 yang parkir juga, kan?
Konsumsi bahan bakar Vario 160
Kita mulai dari persoalan paling dasar dan paling sering jadi omongan bapak-bapak pengguna Honda, yaitu konsumsi bahan bakar. Pabrikan yang melahirkan Vario 160 ini memang masih memegang teguh janji mereka sejak lama untuk menjadi paling irit di antara yang lain.
Saya berangkat dari kontrakan di daerah Jalan Kaliurang kilometer sembilan menuju sekitar Seturan. Indikator bahan bakar masih menunjukkan empat bar di speedometer yang hanya berjarak 50 sentimeter dari wajah saya.
Estimasi saya saat berangkat adalah bensin akan berkurang satu bar ketika saya pulang dari saat pertama saya naik ke atas motor. Saya memacu kendaraan di kisaran 60 sampai 70 kilometer per jam. Kecepatan dan cara membawa motor tentu akan berpengaruh kepada konsumsi bahan bakar.
Saya naik motor itu tidak hanya sekali. Beberapa kali saya open BO, Vario 160 yang hitam atau putih jadi opsi pertama. Seringnya malah saya melaju sampai lebih 80 kilometer per jam di sepanjang Jalan Kaliurang, Ringroad, atau Gejayan. Saya biasa berangkat sekitar pukul 11 atau 12 malam. Waktu di mana klitih sering berkeliaran. Jadi, mau nggak mau, pilihan naik motor kencang menjadi cara paling baik saat melalui jalanan sepi.
Saat perjalanan pulang dan sampai di SPBU Kentungan, satu-satunya yang buka 24 jam di sepanjang Jalan Kaliurang dan sekitar Gejayan, indikator bensin tetap menunjukkan angka empat bar seperti awal. Padahal saya mengendarai motor ini di kecepatan lumayan tinggi serta beberapa kali naik-turun gas ketika masuk ke gang dan banyaknya belokan, terutama di sekitar Seturan, Papringan, Nologaten atau Gowok. Untuk CC atau motor bertenaga cukup besar, konsumsi bahan bakarnya terbilang irit.
Handling dan tenaga
Sementara soal handling, motor ini layak diberikan angka tujuh. Prinsip membawa kendaraan roda empat yang semakin besar akan semakin enak dan stabil kadang berlaku juga untuk sebagian motor.
Saya pernah mengendarai motor seukuran BMW F 500GS dan S 1000 XR atau Honda NM 4 Vultus di jalan raya. Bukan sekadar test ride di tempat sepi tanpa obstacle, tapi jalan raya yang ramai. Persoalannya yang saya rasakan sih sama, yaitu tarikan terasa berat di kecepatan nol sampai 20 kilometer per jam.
Handling Vario 160 ini juga dilengkapi kenyamanan berkendara karena beberapa alasan. Antara lain, posisi berkendara pas untuk saya yang setinggi 180 sentimeter dengan bobot 85 kilogram, dan tidak terasa berat saat sedang melewati ramainya jalan di kota Jogja, terbilang gesit dengan akselerasi awal yang baik.
Saya pernah membawa dua Vario 160 yang berbeda. Tanjakan pun pernah dilibas dengan santai seperti saat mengendarai ADV. Wajar sih, Vario 160 sudah boleh dibilang masuk kategori motor matic agak premium.
Memang masih ada sedikit persoalan di jok bagian pengendara yang sering membuat pengendaranya merosot ke depan ketika ngerem mendadak. Masih sedikit lebih nyaman posisi duduk Yamaha MIO GT atau Honda Genio yang tentu pernah juga saya bawa untuk open BO.
Pembaca tidak perlu meragukan tenaga motor ini. Saya menembus kecepatan nol sampai 60 kilometer per jam hanya dalam waktu tiga sampai empat detik. Saya merasakan stang motor masih sangat stabil, tidak terasa mau berontak karena getaran atau bobot motor yang besar, tapi itu tergantung seberapa lengang jalanan di depan saya ketika start.
Tips
Saran saya, kalau mau coba ini sebaiknya di jalanan sepi atau jalur cepat Ringroad. Ditambah gas yang dilepas cukup berpengaruh untuk menurunkan perputaran mesin dan roda. Ini biasa disebut engine break.
Sedikit tips buat mbak-mbak di luar sana. Pengereman jangan mengandalkan dua tuas rem motor matic saja. Biasakan melepas handle gas. Renggangkan sedikit, baru tekan tuas rem kanan dan kiri, jangan sambil ngegas dan ngerem.
Memang, efek engine break-nya hanya sekitar lima sampai 10 persen untuk motor matic. Tapi itu sudah cukup membantu daripada kalian nyeruduk kendaraan di depan kalian. Biasakan fokus berkendara, tenang, jangan gampang panik atau sibuk ngobrol waktu boncengan. Hih.
Desain
Kembali ke Vario 160.
Soal desain, motor ini sudah sesuai zaman. Awal 2000, saya masih ingat, Honda terlalu idealis dengan bentuk oval nggak jelas yang sudah ditinggalkan dan keduluan Yamaha dalam urusan desain. Baru di era Beat dan Revo generasi pertama, Honda terlihat mulai menyesuaikan tren, nggak pake bentuk oval idealis lagi.
Makanya, Vario 160 ini sudah sangat bagus untuk urusan desain. Besarnya bodi motor ini juga menyesuaikan fungsi lain seperti bagasi dan dua kantong dashboard depan yang bisa digunakan untuk mengisi ulang baterai hape.
Kalau kalian mau motor matic ramping dan muat barang banyak, ya jangan beli berbadan gemuk seperti Vario 160, ADV, atau Scoopy. Desain seperti ini memang diperuntukkan bagi kalian yang sering beraktivitas dengan membawa banyak barang untuk keperluan kantor tanpa harus membawa tas selempang atau ransel. Berkendara jadi lebih efisien tanpa repot membawa barang yang menempel di badan.
Motor ini idealnya dikendarai oleh orang setinggi 165 sentimeter untuk perempuan dan 170 sentimeter untuk laki-laki. Tidak disarankan untuk adik-adik yang imut dan mungil. Kalian beli Honda Genio, Yamaha Mio, atau Honda Beat saja. Tapi, kalau sudah expert membawa kendaraan roda dua, tinggi badan berapa saja nggak akan jadi kendala.
#2 Honda Scoopy
Setelah Vario 160 dan sebelum Yamaha Fazzio, kita mampir dulu ke Honda Scoopy 2019. Motor ini masih menggunakan kunci konvensional. Memang, Scoopy 2019 sudah tidak diproduksi lagi. Namun, kalau sedang mencari motor bekas, Scoopy 2019 bisa menjadi pilihan.
Gimana ya. Scoopy 2023 dan 2019 itu nggak banyak bedanya dari sisi user experience. Tapi kalau mau beli yang baru, sih tentu saja silakan saja. Harga barunya ada di angka Rp21,6 juta menurut website AHM.
Kita menuju ke desain dulu ya
Saya rasa, banyak orang masih akan memaafkan desain oval membosankan keluaran Honda di Scoopy, lalu Genio. Honda itu seperti panik melihat Yamaha dan Kawasaki yang mengubah sebagian besar produk motornya menjadi lebih tegas dan terkesan futuristik. Honda seperti lahir kembali memunculkan produk-produk lancip seperti CBR 150, CS 1, New MegaPro, atau Supra generasi baru.
Tapi, hanya Scoopy yang masih dipertahankan menggunakan desain bodi oval dan tetap menggunakan lampu bulat. Kenyataan di pasar memang membuat Honda jemawa karena Yamaha Fino atau pesaing lain di kelasnya tidak mampu menyamai ketenaran Scoopy.
Semua ukhti-ukhti mahasiswi, mbak-mbak pegawai Matahari, atau teller bank berlomba membeli Scoopy dengan tujuan mempercantik gaya saat di jalanan. Wanita yang naik Scoopy rasanya lebih mudah dilirik daripada mereka yang naik Mio, Vario 160, bahkan Fazzio.
Cocok untuk kalian yang mungil dan menggemaskan
Posisi duduk pengendara memang cocok untuk postur setinggi 150 sampai 160 sentimeter. Jadi, kalau naik Scoopy, harmonisasi antara badan pengendara serta motor bisa terlihat pas. Ditambah luas area pijakan pengendara juga cukup nyaman. Hal itu terlihat dari jarak antara bodi tengah ke bodi atau dashboard bagian depan yang berbentuk huruf U dari samping, menyisakan ruang besar tanpa harus takut kaki tersangkut bodi tengah bagian bawah seperti di Vario 160.
Bagasi besar juga menguntungkan para cewek yang hobi membawa banyak perlengkapan seperti pouch make up, tab, laptop 14 inci, atau tas besar yang memang sebaiknya ditaruh di bagasi daripada harus ditenteng di salah satu sisi pundak atau di gantungan luar di bawah stang sehingga mudah dijambret.
Scoopy, dari generasi awal hingga sekarang, tetap menjadi kendaraan roda dua yang mumpuni untuk melibas lalu lintas dan jalanan seperti di kota Jogja, Jakarta, Bandung, Surabaya, atau di Malang dengan tanjakan khasnya yang ada di tengah kota. Mulai dari yang lampu sein-nya terpisah sampai generasi sekarang, tidak banyak perubahan dalam soal dapur pacu, jadi tidak ada yang benar-benar istimewa.
Dapur pacu
Saya itu punya masalah saat membawa motor matic dengan ban ukuran kecil semodel matic yang rata-rata menggunakan velg ukuran 14 sampai 16 inci. Agak kagok saat mencoba belok 45 sampai 50 derajat apalagi di jalanan ramai. Dan Scoopy belum bisa memberikan kenyaman “menikung” seperti Yamaha Nouvo, Sky Wave, atau Vario 125, 150, dan 160.
Akselerasinya pun tidak sebaik Honda Beat generasi 2012-2014, di mana akselerasi awalnya sudah seperti motor empat tak sekelas Vega dan Yamaha Force di tahun yang sama. Butuh beberapa detik sejak gas ditarik sampai kita merasakan kecepatan Scoopy mampu menembus Ringroad sejak perempatan Kentungan hingga Condong Catur kurang dari empat menit dalam kondisi jalanan sepi.
Durasi ini saya ukur dengan lagu yang berdurasi lima menit. Saya salah satu pengendara yang suka memakai earphone sambil mendengarkan lagu daripada harus membayangkan diboncengi pocong tengah malam. Tentu dengan volume yang cukup hingga masih bisa mendengar raungan mesin.
Raungan mesin Scoopy ini tidak sekencang motor-motor kelas 110CC, hanya terdengar suara “berdengung” khas Honda sejak era PGM FI. Tidak berisik, kok, sekaligus membuat rasa percaya diri karena motor tidak berteriak saat dipacu di kecepatan 60 sampai 80 kilometer per jam. Sebagai informasi, tenaga atau output yang dihasilkan mesin Scoopy ini sama dengan milik Genio dan Beat karena mesin ketiganya serupa.
#3 Yamaha Fazzio
Setelah Vario 160 dan Scoopy, motor matic spesial menurut saya adalah Yamaha Fazzio. Banyak yang menyebut motor ini sebagai salah satu motor matic problematik di awal kemunculannya. Dari segi teknologi jelas nanggung. Ya wajar, kalian berharap teknologi secanggih apa dari motor yang dibandrol seharga Rp20 jutaan saja?
Yang dijual Fazzio itu gaya dan desain yang bagi saya sudah bagus. Rasanya itu berbeda dan sepertinya ingin membuat kenyamanan Scoopy terganggu sekaligus merebut calon konsumen Vespa yang enggan mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli seri terendah dari varian Vespa.
Mending Fazzio ketimbang Vespa
Hitung saja sendiri. Membeli Fazzio seharga Rp22 juta, tambah modal Rp10 juta lagi sudah bisa dapat macam-macam aksesori dan sparepart mahal, semodel kaliper cakram Brembo lengkap dengan selang rem silver KYT atau Scarlett, beli spion retro bundar lengkap dengan lampu sein, knalpot serta mengganti velg sesuai keinginan dan gaya pemiliknya.
Sementara Vespa, untuk seri tertentu, harga Rp30 jutaan baru bisa dapat motor bekasnya. Butuh Rp10 juta lagi untuk menambah aksesori supaya lebih bergaya, belum lagi soal perawatan yang apa saja jenis kendaraannya jelas pabrikan Asia yang lebih murah dan suku cadangnya mudah dicari di pasaran daripada pabrikan Eropa. Fazzio jelas menang banyak di soal perawatan dan suku cadang. Lantaran harganya murah juga, pembeli nggak bakal banyak mengeluh.
Desain Fazzio jelas unggul dibandingkan Scoopy, yang harganya sedikit lebih murah dengan teknologi yang ditanam itu mirip. Memang kalau mau lebih mentereng masih ada Grand Filano yang tinggal sedikit lagi menyentuh harga Rp30 juta, tapi tetap masih lebih baik daripada harus membeli Vespa dan harus mengeluarkan modal tambahan untuk aksesori, kecuali Anda penyuka motor bergaya standar pabrikan.
Fungsional
Fungsional adalah kata yang muncul kemudian bagi Fazzio setelah masalah desain. Bagasi lebar, keyless, sudah dilengkapi GPS yang gampang dimaling, dan kaki-kaki yang cukup kokoh untuk motor dengan harga Rp20 jutaan. Selain menguji kecepatan dan kenyamanan di area Kota Jogja bagian utara, saya pernah juga membawa motor ini menanjak sendirian ke daerah Samigaluh yang terkenal dengan tanjakan-tanjakan mendebarkan.
Tanpa harus mengambil ancang-ancang jauh, Fazzio menaiki tanjakan Samigaluh dengan mulus. Tapi ingat, saya tidak berboncengan, dengan bobot badan 85 kilogram tanpa membawa beban tambahan seperti tas.
Soal pengereman saat jalanan turun yang dilalui cukup curam saya masih merasa khawatir. Ya wajar saja, rem depan masih menggunakan kaliper dengan single piston dan belakang hanya menggunakan drum brake atau umum disebut rem tromol sama bapak-bapak.
Kekhawatiran saya tadi bertambah karena engine break Fazzio tidak sebaik Vario 160. Karena pengaruh kapasitas mesin yang lebih kecil, jadi jangan sok-sokan menerapkan tips engine brake di motor matic ber-CC kecil tanpa mengandalkan rem depan-belakang.
Kemampuan Fazzio
Saya berangkat ke Samigaluh bersama seorang teman yang mengendarai Honda ADV. Awalnya saya ragu bisa mengimbangi kecepatan dan tenaga ADV. Tapi, keraguan saya terjawab saat kami tiba di Samigaluh nyaris tidak ada kendala saat menanjak atau menyisir jalanan di sekitar Godean. ADV dan Fazzio sama baiknya.
Saya berangkat dari Jalan Kaliurang menuju Samigaluh dengan indikator bahan bakar di speedometer menunjukkan tanda empat bar dan kembali ke Jalan Kaliurang masih menyisakan tiga bar. Buat saya ini termasuk kategori irit pakai banget.
Kapasitas bahan bakar Fazio itu ada di angka 5,1. Kalau full itu enam bar, berarti satu bar-nya kita anggap 0,85. Artinya ia hanya butuh konsumsi bahan bakar kurang dari satu liter dengan jarak sejauh itu. Itu saja dengan gas yang naik-turun tidak keruan. Berkendara dengan gas yang stabil di kecepatan tertentu akan membuat konsumsi bahan bakar bisa sedikit lebih hemat.
Posisi berkendara juga sesuai harapan, nggak peduli tinggi badan kalian. Tidak ada masalah juga saat dibonceng, selangkangan tidak harus terbuka lebar seperti saat membonceng di atas Yamaha NMAX. Pantat tidak bergeser terlalu jauh ketika melakukan pengereman mendadak saat turunan, artinya kulit jok didesain sedikit lebih baik daripada Vario 160 atau Scoopy.
Vario 160, Scoopy, dan Fazzio punya kelemahan
Dari tiga motor matic tadi, semua masih memiliki kekurangan. Kalau disuruh memilih, dibandingkan Vario 160, saya lebih baik membeli PCX atau ADV di kisaran Rp30 juta dengan spesifikasi lebih baik. Sementara itu, kalau disuruh membeli Scoopy, kalau cuma mau mementingkan desain, saya memilih mundur. Lebih baik membeli Honda Genio atau Beat. Kalau harus membeli varian Yamaha, daripada Fazio, saya tentu akan memilih Grand Filano di kisaran Rp27 jutaan kalau alasannya gaya dan teknologi
Apa yang kita butuhkan dari ketiga motor matic tadi tentu juga menyesuaikan alasan-alasan lain sebelum membeli seperti tempat kita beraktivitas, lalu lintas, mudahnya menemukan bengkel bagus walau bukan bengkel dari ATPM, biaya bulanan yang harus dikeluarkan untuk perawatan, dan efisien atau tidak apabila menggunakan satu dari tiga motor matic tadi.
Alasan paling sederhana
Saya sih semenjak mengenal motor custom dan belajar sedikit demi sedikit soal mesin motor sudah tidak terlalu mengidolakan motor pabrikan di bawah 500 CC. Bukan sombong, hanya perbedaan tipis antara merek satu dengan yang lainnya sama seperti kita menggunakan hape dan itu juga berlaku untuk kendaraan roda empat.
Tapi kalau sekadar untuk jalan-jalan di dalam kota sambil open BO, emang lebih baik naik motor pabrikan yang umum daripada motor custom. Yah, alasannya sih simpel, yaitu supaya tidak berisik saat berhenti di gang kecil untuk melihat peta dan tidak mudah ditandai orang karena menjadi pusat perhatian ketika lewat. Sekian.
BACA JUGA 6 Fakta Soal Motor Matic yang Tidak Diketahui Perempuan dan analisis menarik lainnya di rubrik OTOMOJOK.
Penulis: Khoirul Fajri Siregar
Editor: Yamadipati Seno