Seperti umumnya orang yang tidak tahu diri dan memaksakan diri punya mobil, uang saya hanya cukup untuk membeli mobil tua bangka, biasa disingkat motuba. Setelah dapat utangan uangnya, perburuan motuba pun dimulai.
Dengan modal internet gratisan dari wifi sekolah tempat saya bekerja sebagai guru bergaji di bawah UMR, saya mulai browsing review motuba. Merek apa yang paling murah, merek apa yang paling bandel, merek apa yang bensinnya paling irit. Pokoknya, semua hal tentang motuba saya baca.
Dari hasil browsing, saya mengambil kesimpulan sebagai berikut: merek mobil tua terbaik adalah Toyota. Katanya paling bandel dan paling irit. Yang tidak baik adalah harganya, tidak masuk akal. Untuk motuba Toyota kelahiran ’80-an harganya kadang mendekati 30 juta, bahkan lebih. Padahal merek lain untuk tahun yang sama bisa kurang dari 20 juta.
Karena uang saya nggak nyampai, merek Toyota saya coret dari daftar pencarian mobil. Rasain lu!
Peringkat kedua dipegang Suzuki. Harganya di bawah Toyota. Konon motuba ini juga irit dan spare part-nya melimpah. Maklum saja, mayoritas angkot di Nusantara menggunakan merek ini. Saya juga ingat wasiat guru SMK saya dulu bahwa urusan mobil, Suzuki jagonya. Sayang sekali, lagi-lagi setelah browsing di Facebook dan melihat harganya, uang saya lagi-lagi tidak cukup untuk menebus merek ini. (Sebenarnya duitmu berapa sih, Mas?)
Merek selanjutnya adalah Daihatsu, khususnya Daihatsu Charade. Ada banyak review positif mengenai motuba ini. Harganya murah, bensin irit, spare part melimpah, komunitas banyak, model masih layak. Pokoknya oke bingit deh. Akhirnya pilihan saya mantap pada merek ini. Hasil dari browsing di lapak bakulan Facebook juga menunjukan bahwa uang saya cukup. Oh Charade, I’m coming.
Bagaimana dengan merek lain? Honda, Mitsubishi, Mazda, mobil korea, mobil eropa? Review mobil-mobil tersebut rata-rata negatif. Harganya sich lumayan murah, tetapi bensinnya boros dan spare part langka nan muahal. Alhasil, merek-merek motuba tersebut saya coret dari pikiran. Apalagi yang namanya Honda, jangan deh.
Setelah cari info sana sini, ketemu juga dengan penjual Daihatsu Charade yang masih satu kabupaten dengan saya, Kudus. Karena takut uang keburu habis buat beli kuota Internet, setelah dapat nomor HP si penjual, meski malam-malam janjian juga kami untuk COD. Lagi pula rencananya mobil ini mau langsung saya bawa pulang. Kalau malam kan nggak begitu malu sama tetangga, pulang bawa odong-odong.
Dengan ditemani seorang teman senasib seperjuangan, akhirnya saya ketemuan dengan penjual pertama. Kalau dilihat dari deretan mobil tua di halaman rumahnya, tampaknya ia memang makelar mobil. Setelah basa-basi, akhirnya Daihatsu Charadenya saya coba. Pas membuka pintu mobilnya, saya terkejut. Pintu mobilnya seperti mau copot dan ketika distarter, mobil tidak mau nyala. Ah nasib, sepertinya bukan jodoh saya.
Akhirnya ia menawarkan motuba Hondanya. Accord. Dengan harga 3 juta lebih mahal dari Charade. Karena uang tidak cukup dan juga doktrin Internet bahwa perawatan Honda mahal, saya menolaknya. Di akhir episode, ia bilang bahwa temannya ada yang mau jual Charade juga. Dia bilang pula bersedia mengantarkan ke rumah si teman ini. Saya oke-oke saja.
Kami meluncur ke rumah penjual kedua meski waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Nggak apa-apalah, lagian siapa juga yang mau memperkosa.
Sampai di rumah penjual yang kedua, saya perhatikan mobilnya dengan saksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Saya membatin, ini mobil kok mirip yang di Facebook ya? Ah kebetulan, kalau sudah jodoh memang tidak ke mana. Saya pernah lihat iklan Charade ini dan langsung jatuh hati pada pandangan kedua.
Mobil ini pun saya coba. Ketika membuka pintu, saya sudah siaga, jangan-jangan pintunya mau copot juga. Ternyata tidak. Saya lalu duduk di belakang kemudi dan mengamati interior mobil. Perasaan saya tidak enak. Sepertinya mobil ini kacau banget. Interiornya semrawut. Kursinya sobek-sobek, warnanya nggak enak. Saya mencoba menghibur diri dengan membatin, namanya juga mobil tua bangka, nanti bisa diperbaiki pelan-pelan.
Dengan mengucapkan basmalah, motuba Charade itu saya starter dan jreng … langsung hidup. Persis seperti dikatakan Mas Penjual. Mantaaap juga nich mobil.
Tapi, kok ada yang aneh. Suaranya kasar banget. Saya coba injak gas beberapa kali, suaranya tambah kasar. Dalam kondisi mesin hidup, saya turun dan jalan ke belakang melihat knalpot. Ternyata mengeluarkan asap, sodara-sodara.
Tidak sia-sia saya sekolah di STM jurusan mesin. Kata guru saya dulu, mobil itu pakai mesin 4 tak, jadi oli pelumas tidak ikut terbakar di ruang kop silinder. Yang terbakar hanya bensin. Hasilnya knalpot tidak akan mengeluarkan asap. Jika knalpot mobil mengeluarkan asap, artinya oli pelumas ikut terbakar dan artinya lagi, ring seker/piston sudah bermasalah. Seker/piston bermasalah itu sama dengan siap-siap turun mesin. Baru beli mobil langsung turun mesin? Mending pilih kabur saja. Saya nggak mau mengalami trauma seperti Pak Edi dengan Daihatsu Zebranya.
Malam itu saya pulang dengan status masih jomblo tanpa mobil.
Hari-hari berikutnya saya lalui dengan browsing dan browsing. Membuka grup jualan satu ke grup jualan lain mencari motuba yang sesuai cita-cita dan harga yang selaras dengan realitas. Tidak mudah. Kata yang saya ketik di kolom pencarian masih tetap, “Daihatsu Charade”, tetapi sekian lama saya mencari, hanya kecewa yang saya dapati. Pelajaran moralnya, ketika dompet tidak bisa diharapkan, garda perjuangan terakhir pemburu mobil ada pada ketahanan browsing.
Akhirnya saya menyerah dan kepincut dengan iklan motuba merek Honda. Persetan dengan biaya perawatannya yang mahal, yang penting saya segera punya mobil. Sebelum uang yang saya simpan di bawah bantal terkena inflasi dan tidak laku lagi.
Berbekal alamat dan nomor HP dari grup jualan Facebook, dengan semangat ‘98 saya datangi rumahnya. Sebelum sampai rumahnya saya sudah yakin mobil tua itu masih oke, sebab rumahnya di pucuk Gunung Muria, dekat makam Sunan Muria. Pasti mesin dan remnya masih bagus karena kuat nanjak dan jalanan yang ditempuh sehari-hari naik turun gunung.
Setelah nego keras ditambah pinjam uang teman satu juta, mobil tua bangka ini saya dapatkan. Untuk membawanya pulang, saya minta bantuan teman, sebab saya belum mahir nyetir naik turun gunung. Jika kelak saya menyesal telah beli mobil ini, setidaknya dia sudah membuahkan satu tulisan di Mojok. Lumayan, 300 ribu.