MOJOK.CO – Mobil Taft Kebo kesayangan bapak, punya aura dan bakat terpendam jadi lokomotifnya kereta kelinci.
Kalau denger kata mobil Taft yang kebayang pasti jeep kotak dengan ban gede-gede dan bisa buat offroad. Ya, itu lah Taft yang banyak dimodifikasi buat main offroad yang rata-rata keluaran tahun 90-an.
Tapi ada juga mobil Taft yang hits di masa sebelum itu, yaitu Taft 80 atau kalau di kalangan penggemarnya disebut Taft Kebo. Kalau belum ngeh, jenis ini biasanya juga dikenal dengan Taft Koramil karena zaman dulu sering menjadi andalan mobil dinas tentara. Warnanya pun ijo-ijo army gitu, jadi makin bikin identik dengan warna tentara, khususnya Angkatan Darat.
Bapak saya punya satu Taft kesayangan yang dikasih nama si Kebo Ijo. Beli dari pakde di Bandung yang dulunya adalah tentara. Jangan dibayangin setelah beli langsung mudah buat menaklukannya, Saudara-saudara. Boro-boro test drive, di-starter aja nggak bisa saking lamanya jeep itu ngendon di garasi pakde. Dokter khusus diesel akhirnya harus didatangkan langsung dari pertapaannya untuk membuat mesin si Taft Kebo bisa berfungsi lagi.
Butuh waktu lama untuk menyalakan si Kebo. Saya sudah sarapan bubur, makan mendoan bude yang enak banget, jajan es doger, beli jajan di warung depan sampe makan siang, eh, si Kebo ini belum nyala juga. Lewat siang, akhirnya si Kebo ini baru mau mengepulkan CO berwarna hitam pekat dan bau solar. Yeah, Kebo is back!
Kami langsung coba test drive Taft Kebo untuk keliling perumahan. Ohooo… Jangan dikira si Kebo langsung nurut. Dia sungguh sangat spesial.
Dengan mesin diesel tipe lama, dia harus panas dulu sebelum dikontak starter. Jadi kalau mau di-starter, harus nunggu dulu 15 detik dengan menahan kunci di posisi idle, baru bisa nyala. Tapi ya, gitu, harus dihitung beneran pakai jam tangan 15 detik, karena lampu indikatornya sudah nggak berfungsi lagi.
Sebetulnya kurang garang kalau mobil ini dinamain Taft Kebo. Mungkin seharusnya Taft Banteng karena ketika mengendarainya di awal, berasa naik banteng liar. Bagaimana tidak? Koplingnya sungguh luar biasa berat. Jadi kalau nggak kuat tahan kopling, siap-siap saja mobilnya lompat ke depan kayak banteng nyruduk. Mungkin dalam beberapa tahun mengendarai mobil ini niscaya betis sampeyan bakal berurat kayak binaragawan.
Setelah bisa jalan pun, masih banyak tantangan besar menanti. Kalau injak rem, mobilnya nggak bisa langsung berhenti. Jadi harus dipompa beberapa kali baru bisa mencengkeram rem-nya. Kalau berhenti pun nggak langsung berhenti, dia langsung banting stir. Ke arah mana banting stirnya? Hanya si Taft Kebo dan Tuhan yang tahu. Jadi kita di posisi kemudi harus siap sedia meng-counter bantingan stirnya.
Oh iya, tuas setir dan penggerak di roda kayaknya juga udah nggak sinkron. Harus diputer beberapa kali dulu setirnya baru bisa belok. Tanpa power steering, ya. Nggak usah dibayangkan beratnya. Jelas, nggak akan sanggup. Belum lagi tuas lampu sein di mana, tombol lampu di mana, tanpa klakson dan belum lagi tiap melewati polisi tidur seakan penumpang disiram konfeti serbuk kayu dari langit-langit.
Sampai di Jogja, si Taft Kebo ini langsung dibenerin oleh teman bapak yang memang ahli segala mesin. Setelah berpeluh keringat beberapa hari, mesin si Kebo mulai sedikit normal. Ya, meski kalau duduk di dalamnya masih kayak dugem. Bawa gelas isi air penuh dijamin tumpah meski posisi diam. Bisa dibayangkan getarannya, kan? Ini juga sempat bikin heboh ketika dibawa ke daerah Bantul pasca gempa. Malam hari mau ke rumah teman bapak di daerah Bantul, Kebo lewat di jalan desa dan semua orang sibuk berlarian keluar karena dikiranya ada gempa.
Setelah mesin, perawatan si Taft Kebo berlanjut ke bodi. Kondisi Kebo jelas sudah berkarat sana sini—kayak hati yang sudah lama menjomblo. Akhirnya dibenerin lah satu persatu, mulai dari karet, kaca, langit-langit yang sudah lapuk, lampu, grill depan, shock breaker, ban, dan juga dicat ulang warna ijo seger. Untungnya karena dibenerin di teman bapak, jadi biayanya agak ngirit.
Pas udah dicat, si Kebo juga banyak yang nawar, loh. Bapak langsung sumringah banget, “Wah Jeep-nya banyak yang nawar nih. Pasti lagi hits.” Eh, ujung-ujungnya, ditawar karena katanya bagus buat kepala kereta kelinci. Lhadalah....
Setelah perbaikan sana sini, Kebo pun udah sip buat jalan. Sip dalam artian ya kalau jalan bisalah, ya. Kalau panas ya kepanasan karena belom ada AC nya. Kalau hujan ya basah karena air kadang masih masuk lewat sela-sela jendela. Tapi untungnya, dengan perbaikan minor, si Kebo betul-betul layak jalan. Hanya terkadang saat knalpotnya ngadat, masih sering nyemburin CO hitam pekat yang kadang bikin orang satu gang berlarian menyelamatkan jemuran sebelum jadi hitam dan bau solar.
Kebo ini layaknya Kimi—mobil Karimun kesayangan saya, dia kayak punya nyawa. Heran, apa saya yang berhalusinasi punya Herbie atau emang kebetulan aja dia rewel kalau pas diomongin. Jadi, waktu itu zaman ospek kampus biru, jam 3 baru sampe rumah, jam 5 sudah harus berangkat lagi ke kampus. Pas ospek hari kedua, bapak nganterin pakai Kebo.
Ketika mau berangkat, saya bilang, “Kok sama Kebo? Nanti telat, loh. Kan nggak bisa ngebut.” Bapak bilang sih nggak apa-apa. Akhirnya duduklah saya di kursi miring belakang. Eh, sampai Selokan Mataram, nggak ada angin, nggak ada hujan, beneran lah itu si Kebo mogok. Akhirnya ibu langsung turun nyegat motor lewat dan saya diboncengin sama bapak-bapak yang mau pergi ke pasar. Untung nggak telat.
Sampai saat ini si Taft Kebo masih setia nongkrong di garasi. Garasi sendiri ya. Mohon maaf, kami penganut mahzab satu mobil satu garasi. Bukan penganut mobil banyak dan bisa diparkir di pinggir jalan atau di depan rumah tetangga (malah curhat).
Selama 13 tahun ini, si Kebo udah nggak rewel-rewel amat. Sejak ada Kebo, saya jadi banyak-banyak latihan s-a-b-a-r kalau lagi di jalan. Antara digedor orang karena asap. Lalu, pelan-pelan di jalan karena takut remnya nggak berfungsi. Ngerti caranya memompa solar kalau pas pompa solarnya ‘masuk angin’ (percayalah, penyakit ini hanya ada di mobil diesel tahun uzur). Ataupun PD waktu naik ke Ketep Pass, padahal belum pernah nyetir naik ke gunung. Percaya diri karena saya pikir, CC si Taft Kebo kan gede. Padahal, mah, skill saya belum mumpuni. Akhirnya, ya, pulang-pulang kena omel bapak juga.
Selain kesabaran, juga dibutuhkan ketahanan mental dan fisik. Pernah nyetir Jogja-Bandung-Jakarta tanpa AC dan power steering? Yes, I did! Mungkin yang bisa mengalahkan saya, cuma sopir bus ALS rute Aceh-Sumbawa. Saya jadi kepikiran, kalau mobil ini memang menjadi media pendidikan tentara kala itu. Biar mereka betul-betul dilatih ketahanan fisik dan mentalnya.
Sekarang, Kebo juga jadi trademark bapak. Perumahan saya yang bertipe RSSS ini, jalannya memang sudah berasa masuk labirin. Jadi, kalau ada yang cari rumahnya Pak RW, kemudian bingung dan tanya orang, pasti dijawab, “Oooh, yang rumahnya ada Taft ijonya.” Ya, ternyata Kebo seterkenal itu. Meski kemungkinan besar, karena asapnya, sih.
Saking sayangnya sama si Taft Kebo, dulu zaman kakak saya nikah, dia juga ikutan dibawa ke gedung. Tentu saja, driver-nya saya—yang memang makin lama alus nyetirnya. Sampai-sampai, penumpang mobil ini susah membedakan, ini mobil Taft atau Rubicon? Ehem.
Selain itu, Kebo juga menjadi primadona anak kecil dan bayi piyik di sekitar rumah. Jadi, kalau mereka mau makan, terkadang kudu di dekat si Kebo. Sering kali, kalau Kebo jalan, banyak anak kecil yang gelantungan di konde ban serep belakang, sampai bikin ibu senewen.
Tidak cukup sampai di situ, bayi yang baru bisa duduk pun, biasanya minta berfoto ria di kap depan. Sementara para ponakan, alih-alih pakai mobil yang ber-AC. Mereka malah rebutan naik Kebo. Hmmm, ternyata sudah didandani cakep-cakep, aura kereta kelinci belum juga bisa lepas dari si Kebo, ya.
Fyi aja, nih, saya pernah bawa si Taft Kebo waktu sakit panas. Eh, tahu-tahu, dia nabrak pager dan penyok di bagian belakang. Sampai sekarang masih belum dibenerin, sih. Ya, kali aja kalau naskahnya ditayangin sama Mojok, bisa buat nambahin dempul. Ya, kali aja, loh, ya.