[MOJOK.CO] “Bersama Suzuki Thunder 125 cc, saya mengalami fase bangga, kesal, hingga tercerahkan. Sungguh motor yang penuh hidayah.”
Bisa memiliki motor dari usaha sendiri itu sebangga FPI jika benar-benar bisa beralih dari Facebook ke Redakstimes dan pindah dari Google ke Geev. Kebanggaan yang bukan hanya merupakan bentuk kemandirian, melainkan ada unsur mengejek orang lain di sana.
Hal itu yang saya rasakan ketika menginjak usia 23 tahun dan mampu membeli mengkredit motor dengan uang sendiri di saat banyak teman pakai motor dari belas kasih orangtua mereka. Peristiwa bersejarah yang terjadi 2007 lalu dan motornya adalah Suzuki Thunder 125 cc. Thunder 125 saya pilih karena di jaman itu motor batangan sedang nanjak-nanjaknya.
Sesuai semangatnya, pabrikan Suzuki memang sengaja menghadirkan motor sport dengan harga terjangkau. Tujuannya jelas, menandingi Honda yang sedang mendominasi pasar lewat Tiger dan MegaPro serta Yamaha dengan Scorpio-nya. Ini lebih seperti balas dendam karena di pertarungan pasar tahun 1999—2000, Suzuki dedel duel gara-gara Suzuki Thunder 250 cc tak laku-laku.
Penjualan Suzuki Thunder 250 cc memang memprihatinkan. Dari berbagai sumber yang layak dipukuli ramai-ramai, kabarnya dalam setahun tak sampai 1.000 unit yang bisa terjual di seluruh Indonesia. Suzuki akhirnya menghentikan produksi motor tersebut. Diduga, harga yang mencapai 20 juta dan situasi ekonomi yang baru lepas dari krisis moneter yang jadi penyebabnya.
Suzuki tak patah arang. Empat tahun ia berbenah untuk melahirkan Suzuki Thunder 125 cc. Dengan bodi yang sporty dan harga yang cuma 11,5 juta, Suzuki Thunder 125 laris manis tanjung kimpul. Dan saya adalah salah satu pembelinya. Gimana lagi, motor ini selain murah dan cocok di kantong, bisa dicicil pula.
Saya juga kepincut dengan Thunder 125 karena pilihan warna banyak, model velg keren, dan memang lagi ngetren. Sesederhana itulah cara saya memilih tunggangan karena saya tak tahu banyak soal jeroan motor.
Rendahnya tingkat “literasi motor” saya terhadap mesin Thunder ini kelak membuat saya menjadi bulan-bulanan.
***
Delapan tahun berlalu.
Di ujung 2015, kondisi motor ini seperti aturan pakai obat tetes mata. Sekali jalan, bisa mogok sampai tiga kali. Sebagai trik, saat di lampu merah saya punya tradisi khusus, yakni menarik gas motor sekenceng-kencengnya biar mesin nggak mati.
Dan ini yang paling bikin kzl. Setiap kali ke bengkel, selalu saja ada ujaran kebencian dari si montir. “Jika sudah masuk tahun kelima tidak layak dipakai, diloak aja, Mas.” Buruknya pengapian menjadi alasan yang paling saya dengar dari om-om di bengkel tadi.
Aki yang berfungsi menyimpan energi listrik sering ngadat, alhasil saya harus ngongkek atau menggunakan kick starter untuk mengidupkannya. Tak cukup sekali, bahkan sampai maraton puluhan kali ngengkol. Alih-alih kaki kanan jadi tambah berotot, kaki justru sering cenut-cenut.
Saran montir yang sebenarnya baik tapi menyakitkan itu sedikit banyak ada benarnya. Memang harusnya motor ini saya loakkan saja. Terutama ketika mengenang kejadian berikut.
Suatu malam, saya baru selesai mengisi bensin di Jalan Hayam Wuruk Denpasar dan hendak ke Tabanan yang jaraknya 20 kilometer. Baru beberapa kilometer jalan, mendadak motor macet. Berkali-kali saya starter, tidak kunjung menyala. Demikian juga saat saya dorong sambil lari terus gigi saya masukin (seperti gaya pembalap). Nihil.
Saya coba dorong sekitar 100 meter dengan harapan dapat anugerah bisa menyala setelah di-starter dan akhirnya: tetap tak menyala. Hal ini saya lakukan berulang-ulang. Dorong. Starter. Dorong. Starter.
Tetap tak menyala.
Saya tak mau menyerah meski keringat mengucur deras. Setelah berkali-kali saya coba, akhirnya saya sampai pada satu kesimpulan: aku lelah.
Kemudian motor saya tepikan. Saya mampir di halaman pertokoan dekat Terminal Ubung Denpasar yang sudah tutup. Waktu menunjukkan pukul 00.30 WITA, waktu yang tepat untuk tidur memang. Di halaman pertokoan yang ukurannya dua kali lapangan voli itu sudah ada dua orang pria yang sedang tidur. Yang satu sekitar umur 70-an dan satu lagi masih belia sekira 17 tahunan.
Di samping mereka ada dua sepeda ontel yang di kanan kirinya dipenuhi aneka macam mainan anak-anak dari boneka, celengan, sapu, dan yang paling menonjol adalah kemoceng. Saya mengambil jarak sekitar lima meter dari mereka. Keduanya terlihat sangat lelap. Setelah klepas klepus dubats (dua batang rokok) sambil memandangi motor yang seolah menantang untuk dibakar ini, saya putuskan untuk tidur di emperan.
Baru sekitar setengah jam saya tidur-tidur ayam, si bapak tua tadi bangun dan jalan entah ke mana. Saya tak menghiraukannya lagi karena kecapaian mendorong motor seberat 130 kilo sudah cukup melelahkan jiwa dan raga. Lamat-lamat saya mendengar suara takbir pertanda si penjual kemoceng itu salat di emperan toko.
Saya baru sadar jika pak tua tadi keluar untuk berwudu. Setelah sepuluh menit berlalu, bapak tua itu membangunkan remaja belasan tahun tadi untuk salat. Sambil memicingkan mata yang sudah kantuk itu saya lihat keduanya beribadah di antara lalu lalang truk dan dinginnya angin malam.
Saat itu pula hati saya merasa tertampar. Saya tengok kanan kiri, apakah ada kamera. Barangkali ini adegan sinetron Azab Ilahi, Siksa Kubur, atau reality show Tukang Bubur Naik Gaji. Ternyata tidak ada kamera sama sekali. Adegan ini nyata.
Selesai salat, tak ada percakapan dari kedua pria itu. Si bapak hanya sesekali meluruskan jagrak kayu untuk sepedanya agar posisi sepeda berisi barang dagangan tetap terjaga. Keduanya lanjut tidur.
Melihat adegan itu, saya yang sepanjang perjalanan dorong motor merutuki nasib buruk punya motor Thunder dan terus memaki-maki jadi malu untuk mengeluh lagi. Si bapak tua yang meski pakai sepeda kayuh penuh dengan barang dagangan dan tidur di emperan tetap menjalani hidup dengan sangat woles dan tetap melaksanakan kewajiban dengan penuh nikmatnya.
Lha saya yang masih muda beda dan kurang berbahaya ini sering mengeluh untuk hal remeh-temeh begini. Ah… ada banyak cara Tuhan menampar hambanya agar bersyukur, salah satunya dengan membuat motor saya mogok. Saya pun menikmati tidur semalaman di samping penjual kemoceng tadi yang sepertinya bapak dan anak.
Seandainya Pak Wiranto dan HT islah, adegan tidur di emper bersama motor Thunder 125 itu kiranya bisa ditiru.