MOJOK.CO – “Antara aku, kau, dan bekas Vespaku.”
Sebelum kaget oleh kabar betapa bumi itu datar dan Gajah Mada ternyata muslim yang bernama Gaj Ahmada, saya sudah dibikin kaget oleh bapak saya. Bapak saya, yang seumur-umur cuek saja saat saya memperoleh ranking bagus di sekolah, santai-santai pula meski saya sering keluyuran hingga pulang lewat tengah malam, suatu sore di tahun 2000 bertanya,
“Kowe pengen pit montor opo, Le?” Kamu kepengin sepeda motor apa, Nak, katanya.
Meski sempat kaget saya mampu menjawab mantap, ”Vespa!”
Gagal lolos UMPTN, saya tetap tinggal dan berkuliah di kota kelahiran saya. Dan Anda tentu tahu, kuliah tak seperti anak sekolah yang paling banter cuma sampai sore hari. Ada saatnya kuliah pukul 6 sore hingga 8 malam—kalau di fakultas saya, terutama kelas-kelas asisten dan praktikum. Ketika kuliah malam itulah saya sering pulang berjalan kaki. Kalau Bapak dan Ibu bertanya, saya menjawab sudah tak angkot dan tak ada teman yang memberi tumpangan. Saya menduga inilah yang mendorong Bapak menawari saya sepeda motor.
Kebanyakan teman saya menunggangi sepeda motor sendiri dan, sebagaimana saya, saat itu kebanyakan dari mereka jomblo. Mereka juga baik-baik. Jadi sesungguhnya selalu ada jok kosong untuk saya. Lalu kenapa saya jalan kaki? Tak lain agar dibelikan Vespa oleh Bapak.
Saya kepengin Vespa penyebabnya sederhana. Saya adalah penggemar Slank sejak album ke-4, Generasi Biroe. Meski Pay, Indra, dan Bongky hengkang—atau dihengkangkan, saya tidak tahu—saya tetap penggemar Slank. Nah di video klip lagu andalan album Mata Hati Reformasi yang disebarkan tahun 1998, yakni “Ketinggalan Jaman” yang sependengaran saya kelak pada tahun 1966 ditiru oleh band gurem bernama The Rolling Stone dalam lagu “Out of Time”, para personel Slank rame-rame mengendarai Vespa. Inilah yang membikin saya kepengin punya Vespa.
Tapi, itu lagi-lagi cuma alasan supaya saya terlihat lakik dan nge-rock di hadapan teman-teman saya. Sebab sesungguhnya, di sini saya kali pertama mengaku, saya kepengin Vespa gara-gara sinetron Lupus Millenia yang dibintangi Irgy Fahrezy sebagai Lupus, Mona Ratuliu sebagai Poppy, dan Sophie Navita sebagai Happy. Lupus di sinetron itu menunggangi Vespa kuning. Tentu saja harapan saya, setelah menunggangi Vespa saya memiliki pacar secantik Poppy dan Happy.
Nggilani? Panceeen. Hahaha.
Sesungguhnya saat itu di rumah juga ada Vespa, Vespa PX milik Bapak yang merupakan satu-satunya kendaraan di rumah kami saat itu. Sayangnya, Vespa PX kurang kece. Lebih cocok dipakai untuk mengantar surat dari kantor kecamatan ke kelurahan-kelurahan atau berangkat serta pulang mengajar PMP di SD negeri ketimbang menjemput gebetan.
Maka, bisa dibilang Bapak kena jebakan betmen ciptaan saya. Tapi, ya bukan jebakan-jebakan banget ding. Masih mending saya kepengin Vespanya Lupus. Gimana coba kalau saya kepengin permadani terbangnya Jun dalam sinetron Jin dan Jun atau bahkan rajawalinya Brama Kumbara dalam Saur Sepuh? Bisa-bisa Bapak stroke ringan seketika. Mit amiit.
Cuma selang beberapa hari dari sore itu, Bapak membawa pulang Vespa Sprint yang tebengnya bergambar kepala seorang Indian komplet dengan war bonnet-nya. Tapi Vespa Sprint menurut saya terlalu besar. Belum lagi, sebagaimana Steve Jobs, saya suka dengan kesederhanaan, huahaha. Gambar di tebengnya menurut saya malah mengganggu, dan terutama: nggak Lupus babar blas.
“Ono sing liyane ra, Pak?” Ada yang lain nggak, Pak? saya berlagak bertanya.
Bapak menjawabnya dengan perbuatan. Cuma sekira sejam kemudian, Bapak membawa pulang Vespa lain. Kali ini Vespa VBB 1965 berwarna biru muda. Lha ini, meski beda warna, tapi Lupus banget, batin saya.
Saya segera menjajalnya. Engkol starter saya tendang. Ternyata enteng, tak seperti Vespa PX Bapak. Dan… ntreeenggg! Sekali pancal, langsung nyala.
“Ketiban cecak wae kuwi urip,” Kejatuhan cecak saja nyala, Bapak mengomentari entengnya engkol Vespa tersebut. Saya yakin Bapak mengutip kalimat itu dari penjualnya.
Lalu saya coba untuk berputar-putar kota saya yang berbukit-bukit. Edan, tarikannya enteng. Tenaganya besar. Bodinya juga lurus. Ngacir sekali.
“Iki wae, Pak,” saya memutuskan meminta Vespa itu kepada Bapak sesampainya di rumah.
Bapak menjawab lagi dengan perbuatan. Pergi mengendarai Vespa PX-nya lalu pulang dengan membawa STNK dan BPKB Vespa biru muda tadi. Kata Bapak, harganya dua juta tiga ratus ribu rupiah.
Maka demikianlah, Vespa itu sah menjadi tunggangan saya. Saya pakai untuk berkuliah, sekadar jalan-jalan, dan tentu, mengunjungi gebetan saban Minggu. Ya, Minggu, sebab Sabtu jatah pacarnya.
Ternyata kece serta ngacirnya Vespa saya membuat banyak kawan kepengin meski kemudian cuma dua orang yang benar-benar memilikinya. Satu Vespa tahun 1962, satunya lagi Vespa Sprint. Entah bagaimana prosesnya, apakah memakai tipu muslihat sebagaimana saya ataukah merengek-rengek sambil menangis, saya tak tahu. Yang jelas kemudian kami sering berkonvoi kecil-kecilan. Entah berangkat dan pulang kampus atau hanya berputar-putar di kota.
Itu semua tak berlangsung lama. Cuma hitungan bulan. Tak sampai tahun. Satu demi satu Vespa kami masuk angin. Saya lupa rincian penyakit yang menyerbu Vespa kawan-kawan saya. Yang pasti, kedua teman saya kemudian memilih menunggangi motor Jepang yang usianya jauh lebih muda ketimbang Vespa mereka. Tinggal saya seorang yang menunggangi Vespa.
Tapi itu bukan berarti Vespa saya baik-baik saja. Busi klomoh alias basah hingga untuk menyalakannya saya mesti membongkar pasang busi berkali-kali serta mempraktikkan tendangan badainya Ken dan Ryu dalam game Street Fighter ke engkol starter adalah makanan sehari-hari. Pun demikian dengan kawat kopling kendor hingga sesaat saya merasa sedang menjadi joki kuda balap.
Juga rem roda belakang yang luput lantaran terendam oli hingga salah seorang kawan saya berseloroh bahwa untuk mengendarai Vespa, saya tak hanya membutuhkan bensin, tapi juga nyali. Saya tak beralih ke kendaraan lain selain karena kadung cinta Vespa, saya juga sadar keadaan ekonomi orang tua saya.
Soal rem luput, saya pernah nyaris dipukuli tentara. Entah bagaimana, siang itu saya nyaris menabrak sepeda motor seorang tentara. Pak Tentara membentak saya. Dasar mulut busuk saya, spontan saya membalasnya dengan berondongan makian. Setelah saya sadar ia berambut cepak serta mengenakan singlet hijau dengan entah logo apa yang jelas ada gambar bedilnya, saya mingkem lalu ngacir. Saya lolos setelah masuk keluar jalan tikus kota saya. Tapi apes, saya malah menabrak L300 pengangkut sayur. Tentu saja saya tak mau lepas dari kepalan tentara tapi jatuh di pitingan sopir mobil sayur. Saya pun ngacir lagi. Alhamdulillah selamat. Hehe.
Itu soal Vespa saya yang maunya jalan terus alias tak mau direm. Soal Vespa yang ngambek jalan babar blas, saya juga pernah.
Ceritanya sore itu saya bersama salah seorang kawan nongkrong di pusat kota. Awalnya semuanya baik-baik saja. Tapi begitu kami mau pulang, pedal starter tak bergerak sedikit pun ketika saya tendang. Standar saya lepaskan, Vespa berusaha saya dorong. Eeeeeekkk! Sekalipun full ngeden saya merasa sedang mendorong gajah keseleo. Vespa sama sekali tak mau bergerak. Tak ingin terkena serangan ambeien mendadak, saya menyerah, duduk di trotoar sambil merapalkan salah satu gerundelan terpanjang dalam hidup saya.
Saat itulah datang pahlawan saya: seorang lelaki gondrong penunggang Vespa Sprint. Mungkin ia sudah mengamati polah saya dari kejauhan. Begitu tiba, setelah berbasa-basi sejenak, ia mengecek engkol starter, membuka penutup mesin, mengambil kunci pas dari bagasi Vespanya, lalu memutar salah satu baut di bagian kipas mesin Vespa saya. Terdengar bunyi krak. Dan setelah berkali-kali tendangan ke engkol starter, Vespa saya akhirnya nyala. Seher saya pecah, katanya. Ia menyuruh saya segera menggantinya.
Ngomong-ngomong soal kerukunan sesama penunggang Vespa, saya pikir Anda sudah sering mendengar. Saat berpapasan, sesama penunggang Vespa selalu saling melempar bunyi klakson atau bahkan anggukan kepala lengkap dengan lambaian tangan serta senyuman. Saat salah seorang pengendara mendahului pengendara Vespa lain, si pendahulu bakal mengacungkan jempol, bahkan ada kalanya dengan santai mengajak mengobrol.
Dan seperti yang sudah saya ceritakan, jika ada yang kesulitan, yang melihat bisa dijamin memberikan pertolongan. Apa yang saya ceritakan tadi cuma satu dari sekian banyak pertolongan yang pernah saya alami. Yang paling sering adalah Vespa saya didorong pancal ke pedagang bensin eceran. Dorong pancal itu seperti ini: si penolong mendorong bagian belakang tepong Vespa yang mogok menggunakan kaki sambil melajukan Vespanya. Kepada mereka saya ucapkan terima kasih.
Balik lagi ke Vespa saya yang rewelan: tentang Vespa tak mau berhenti sudah, Vespa yang mogok sama sekali sudah, sekarang giliran Vespa yang nyala-mati-nyala-mati seperti lampu flip-flop.
Singkat cerita sore itu saya hendak makan bareng dengan gebetan yang ketika itu sedang saya bribik dengan sepenuh daya. Maklum, ia gadis yang saat itu membuat saya nganu. Sekali lagi saat itu lho, Bune Thole. (Jika naskah ini diterima, pesan ini mohon jangan dihapus ya, Mbak, Mas Editor. Demi keutuhan rumah tangga saya, hehe).
Terang saja sore itu saya merasa keruntuhan durian yang sudah dibuang kulitnya sebanyak satu pasar buah. Apalagi sebelumnya ia selalu menolak ajakan keluar saya.
Tapi, perasaan itu musnah saat baru mencapai separuh jalan menuju rumahnya. Vespa saya mendadak mati. Saya pancal engkolnya, nyala. Eh, baru jalan sekira lima meter, mati lagi. Jalan lagi lima meter, mati lagi. Begituuu terus entah sampai berapa kali, saya tak sempat menghitungnya. Sungguh saya kesal bukan main hingga saya berniat memasak Vespa saya menjadi endog bakar saat itu juga.
Untungnya saya tak membawa korek api. Tapi, sekalipun membawa, saya pikir tak bakal berguna sebab mendadak hujan turun sungguh deras. Jangankan nyala sebatang korek, bara bakaran sate milik bakul sate Madura di lima ribu dua belas kecamatan ditumpuk jadi satu pun saya pikir bakal padam olehnya. Belum lagi ingatan betapa Bapak telah bersusah payah membelikannya membuat saya urung membakarnya.
Saya memutar balik Vespa saya. Mendorong perlahan menuju titik berangkat dengan daya seorang petinju habis kena TKO di ronde pertama.
Lima tahun saya menjadi pengendara Vespa tua penuh waktu. Barangkali karena kasihan, atau mungkin karena keadaan ekonomi orang tua saya membaik, Bapak kemudian menawari saya sepeda motor baru bikinan Jepang.
Meski masih cinta, tapi saya merasa Vespa telah memperumit hidup saya. Saya pun menerima tawaran Bapak.
Berdasarkan pengalaman lima tahun tersebut, saya lantas menarik kesimpulan: Vespa tua hanya cocok bagi orang yang gemar dan jago membongkar pasang mesin. Kalau tak jago, ia harus selalu punya uang nganggur demi berjaga-jaga kalau-kalau Vespanya minta menginap di bengkel. Itu pun harus pandai-pandai memilih bengkel. Selain jago, si montir juga mesti jujur.
Jangan sampai Vespa Anda jatuh di tangan montir yang gemar menukar jeroan Vespa pelanggannya seenak ia mengganti kondom jebol. Atau barangkali bisa juga bergabung dengan kelompok penggemar Vespa. Mungkin sekali di sana ada orang baik yang selalu bersedia memperbaiki Vespa Anda secara cuma-cuma.
Tapi, kalau Anda adalah orang yang lebih suka tangan Anda kotor oleh bumbu ketimbang oli, membayar iuran BPJS pun telat-telat, dan lebih suka nongkrong dengan sedikit teman sambil ngobrol soal warung mana yang murah dan enak daripada bergabung dengan duyunan orang sembari mengobrolkan mesin, mendingan Anda menguntit jalan yang telah saya tempuh.
Meski kini saya menunggangi sepeda motor muda bikinan Jepang, tapi Vespa tua saya tidak saya jual. Pernah ada yang menawar dua puluh juta, cuma saya jawab, “Ijoli omah jati tua sak sawahe lagi tak culke.” Tukar dengan rumah jati tua lengkap dengan sawahnya baru saya lepas. Sombong sekali. Beberapa bulan lalu Vespa saya cat. Kinclong. Lalu saya taruh di garasi. Kalau saya kangen, saya lap-lap dan pandangi lama. Slogan “Lebih baik naik Vespa” yang dulu pernah saya imani telah saya buang, saya ganti dengan “Lebih baik nonton Vespa”. Sebab, bukankah cinta tak selalu harus menunggangi, bukan?