MOJOK.CO – Kelas ekonomi Garuda Indonesia sebetulnya udah lumayan dibandingkan maskapai lainnya. Namun, kayaknya masih bisa ditingkatkan kualitasnya.
Garuda Indonesia memang tidak main-main soal pelayanan. Cakupan destinasi domestik dan internasional Garuda yang terbaik di Indonesia saat ini, tingkat ketepatan waktu yang termasuk dalam jajaran terbaik, makanan dan minuman yang lengkap dan enak, sampai reputasi keselamatan yang baik dan diakui.
Namun, karena rubriknya bertemakan otomotif, tentu kita tidak akan membahas sisi pelayanan, manajemen operasional, dan keandalan para penerbang. Bahkan, perawatan yang tentunya mumpuni di bawah kendali GMF AeroAsia sebagai salah satu anak usaha juga bukan fokus pembahasan ini. Yang penting, apa yang langsung dirasakan secara teknis oleh penumpang, kan?
Saya juga akan berfokus ke kelas ekonomi. Yah, akui saja, sebagian besar pembaca Mojok adalah penumpang ekonomi. Kecuali mereka, pemegang BCA Prioritas tempo hari.
Ukuran kursi biasa saja
Ketika membela nama bangsa berlomba di Hong Kong 10 lalu dan naik maskapai ini, perjalanan pulang-pergi terasa kurang menyenangkan terkait ukuran kursi. Ketika berangkat, saya duduk di kursi tengah barisan belakang armada Airbus A330-200. Ruang untuk duduk banyak “terkorting” oleh seorang bule di sebelah kiri yang begitu gemuk dan ditambah lagi beliau tidur sepanjang perjalanan.
Untunglah, seorang TKI wanita yang duduk di sebelah kanan saya berbaik hati berbagi lebar kursinya dan senantiasa sigap memberikan jalan ketika saya hendak ke kamar kecil. Di perjalanan pulang, kami “dijamu” oleh armada Boeing 737-800 dengan konfigurasi kursi yang sama dengan perjalanan domestik untuk duduk selama 5 jam nonstop.
Seat pitch B738 milik Garuda Indonesian (sekitar 31-32 inci, menurut data SeatGuru) memang lebih besar dibandingkan maskapai low cost (misalnya Citilink dengan 28-29 inci), juga bersaing dengan hampir seluruh maskapai bintang 5 lainnya yang memiliki pesawat narrow body untuk penerbangan domestik.
Namun, ini tidak istimewa dibandingkan pesaing full-service airline dari Lion Grup, yaitu Batik Air yang juga menawarkan hal serupa dengan harga sekitar setengahnya. ANA dan Korean Air malah bisa menawarkan seat pitch sekitar 33-34 inci untuk penerbangan domestik, sesuatu yang ditawarkan Citilink untuk kelas Comfort Economy di A330-900neo mereka.
Berita buruknya lagi, data SeatGuru menunjukkan bahwa sebagian besar armada long haul Garuda Indonesia juga memiliki seat pitch yang sama. Jika hendak ditingkatkan ke paling tidak 34 inci, kapasitas penumpang bisa berukurang hingga sepuluh persen. Yah, demi legroom yang lebih baik, okelah.
Hal lain yang mengenaskan adalah seat width sebesar 17″ milik Garuda Indonesia yang lebih sempit dibandingkan 17.5 inci milik Citilink di A320 barunya. ANA malah bisa menawarkan hingga 18 inci. Jika mau mengikuti ANA, berita baiknya adalah Garuda Indonesia tidak perlu mengurangi kapasitas penumpang dan penumpang duduk lebih nyaman. Berita buruknya? Keluar uang untuk ganti kursi.
Masih butuh inflight entertainment di zaman sekarang?
Sebagian besar armada Garuda Indonesia menggunakan perangkat Audio Video on Demand (AVOD) yang ukuran layarnya paling tidak setara komputer tablet di bagian belakang setiap kursi. Melihat tayangan review penerbangan di YouTube yang meluncur setahun terakhir, tampilan dan fiturnya masih tidak banyak berbeda dari awal dekade lalu selain fitur Live TV untuk pesawat tertentu. Kontennya pun dikabarkan juga memiliki frekuensi pembaharuan yang lambat alias kudet.
Di masa pandemi seperti sekarang, tentu ada kelompok orang yang ogah menyentuh layar AVOD. Tidak ada pandemi pun, banyak orang juga memilih untuk tidur atau sibuk dengan gadget sendiri. Bagaimana cara Garuda Indonesia berusaha menghadirkan hiburan yang mumpuni? Mungkin bisa mengikuti langkah Batik Air dengan menghadirkannya melalui inflight WiFi.
Menurut salah satu penyedia perangkat lunak hiburan melalui inflight WiFi, Inflighto, penumpang dapat mengakses koleksi musik, film, permainan, saluran televisi yang bisa diakses secara live, serta memantau posisi pesawat melalui flight tracker langsung dari gadget pribadi.
Hal ini tentu memberikan privasi bagi penumpang, khususnya kelas ekonomi, agar tetangga sebelahnya tidak mengetahui hiburan apa yang sedang dinikmati. Penumpang pun tidak dipaksa untuk menggunakan wired headphone, juga tidak harus memiliki headphone atau earphone berkabel jika ogah meminjam. Earbuds? Bisa saja, kan pakai perangkat sendiri.
Nah, agar penumpang tidak bete akibat kehabisan daya baterai, hadirkan slot USB untuk mengecas (paling tidak smartphone dan mendukung fast charging). Bakal lebih baik lagi jika bisa stopkontak seperti biasa untuk laptop.
Sangat baik pula jika inflight WiFi tidak hanya digunakan untuk menggantikan AVOD, tetapi disertai fasilitas gratis untuk berkomunikasi dalam bentuk teks (saat ini sudah tersedia, tetapi belum untuk B738) dan juga membaca berita.
Misalnya ketika paman saya pulang dari luar negeri awal 2020, beliau masih santai-santai nyeruput kopi di bandara di saat datangnya banjir di beberapa wilayah di Jakarta. Pemandangan banjir menyambutnya ketika terbang di atas Jakarta.
Sesampainya di rumah, paman saya bertanya ke grup WhatsApp kenapa tidak ada yang memberitahu dirinya perihal banjir.
Padahal, kami sudah memperingatkan di malam sebelumnya dan sesaat sebelum pesawatnya lepas landas, hujan deras melanda Jakarta dan tidak kunjung berhenti. Ini tidak akan terjadi jika penumpang bisa membaca berita terkini di dalam penerbangan.
Inflight tracker? Tetap penting dan semakin membantu jika bisa berkomunikasi gratis di udara
Ketika fitur text messaging melalui internet secara gratis dan juga inflight tracker bersatu, perannya sangat mujarab. Hal ini membantu jika Anda berekspektasi bahwa penerbangan yang ditumpangi akan terlambat.
Delapan tahun lalu, ketika pulang dari berlomba di Batam, penerbangan Garuda Indonesia yang kami tumpangi ditemani hujan deras sejak lepas landas sampai mendarat. Oleh karenanya, kecepatan pesawat diperlambat dan terdapat sedikit pengalihan rute menjadi lebih jauh. Durasi normal sekitar 1 jam 40 menit “membengkak” menjadi 2 jam 5 menit.
Ibu-ibu yang duduk di sebelah saya panik karena pengalihan rute itu dan pesawat belum juga menunjukkan tanda-tanda akan belum akan mendarat. Beliau begitu khawatir, jangan-jangan penerbangan dibajak. Saya membuka layar AVOD untuk menunjukkan posisi pesawat sedang baik-baik saja, dengan kecepatan yang sedikit diperlambat, berada di atas langit Kota Bogor, dan mengarah ke Jakarta.
Cerita lain lagi datang dari pengalaman saya terakhir kali pulang kampung sekitar akhir 2017 lalu, bukan dengan penerbangan Garuda Indonesia kali ini. Sebelum berangkat, rombongan kami yang terdiri dari 6 orang sudah memberi pesan kepada penjemput untuk duduk saja di dalam mobil dan kami akan mencari sendiri di tempat parkir.
Setelah naik pesawat dan ponsel dimatikan, kami harus menghadapi kenyataan delay selama 30 menit untuk pengecekan tambahan armada dan 50 menit untuk menunggu antrian lepas landas di runway. Lama perjalanan jadi lebih lama dari durasi normal, yaitu 1 jam 5 menit.
Sesampainya di tujuan, penjemput berdiri kelelahan sambil bernapas lega, yang dijemput akhirnya tiba dengan selamat. Delay panjang menjadi indikator awal dari kejadian kecelakaan pesawat dan inilah yang dikhawatirkan oleh penjemput. Bersamaan manyunnya penjemput di penerbangan sebelumnya, hal ini tidak akan terjadi jika terdapat koneksi internet di pesawat untuk paling tidak bisa mengirim pesan teks.
Sisanya, apalagi ya? Kamar mandi pesawat, khususnya untuk kelas ekonomi, tentu memiliki karakter yang kurang lebih sama di berbagai maskapai. Kursi? Sama seperti kursi di kelas ekonomi lainnya, dibalut kulit atau fabric dan tentunya jika direbahkan akan mengganggu legroom penumpang lain, juga ketika mereka sedang menikmati AVOD atau meja.
Jika dipikir-pikir, penerbangan Garuda Indonesia khususnya kelas ekonomi untuk armada Boeing 737-800 tidak berlebihan, tetapi juga bukanlah yang termewah secara teknis. Kualitasnya tentu lebih baik dibandingkan apa yang bisa disajikan oleh low cost carrier, tetapi tidak semua kelebihan tersebut dinikmati oleh penumpang. Ketika kebutuhan penumpang begitu beragam dan zaman berkembang, rasanya kondisi armada yang sebelumnya sudah terasa menjadi kurang “mevvah” untuk memenuhi kebutuhan tertentu.
Kelas ekonomi memang menjadi kelas terendah dalam suatu penerbangan, tetapi tentunya Garuda Indonesia diharapkan bisa membuat para penumpang merasa lebih nyaman lagi agar pembedanya dengan Batik Air lebih terasa dan selisih harga terasa lebih worth.
Mari kita berdoa semoga pandemi segera berakhir dan bisa kembali terbang dengan bebas untuk berbagai kebutuhan, atau sekadar berlibur. Juga untuk Garuda Indonesia, agar bisa bertahan menghadapi masa sulit dan terus melayani masyarakat Indonesia.
BACA JUGA Nasib Lansia yang Nggak Dipercaya Punya BCA Prioritas, Dianggap Lupa Ingatan dan kisah menarik lainnya di rubrik OTOMOJOK.