MOJOK.CO – Mesin lama Honda GL Pro berbunyi layaknya mesin Honda sejati: halus, lirih, seperti doa hamba di sepertiga malam. Mesin baru ini berbunyi seperti mesin cuci.
Ada banyak hobi khas lelaki yang tak disukai Mas Bojo. Dia, contohnya, tak suka memancing karena dirasanya buang-buang waktu. Dia tak suka memelihara hewan apa pun karena tak bisa diajak ngobrol. Dia juga tak suka ngopi atau kelayapan pas malam hari karena, yah, ada saya.
Satu-satunya kegiatan pengisi waktu luangnya adalah merawat Honda GL Pro. Pada pagi dan petang, Mas Bojo akan menepuk tangki motornya itu sebanyak tiga kali sebelum menyambar lap dan mengenyahkan kotoran apa saja yang kasat mata. Honda GL Pro miliknya, saya yakin, adalah motor tua paling kinclong di alam semesta.
Honda GL Pro itu dia warisi dari ayahnya, dan dia menungganginya sejak kuliah. Motor inilah yang dia pakai untuk mengajak saya berpelesir saat kami pacaran. Motor ini pula yang mengantar kami ke KUA beberapa tahun kemudian. Buat kami, Honda GL Pro ini bukan lagi sekadar alat transportasi, melainkan sudah layaknya anggota keluarga sendiri.
Oleh sebab itulah Mas Bojo merawatnya dengan telaten. Semua komponen motor itu masih dan harus asli bawaan Astra, sebagai penganut paham ultra-konservatif, Mas Bojo menganggap bahwa pemakaian suku cadang non-pabrikan adalah tindakan nista.
Tapi, semuanya berubah setahun lalu. Pada suatu malam di akhir pekan, seorang teman lama bertandang ke rumah kami. Sebenarnya dia teman yang baik dan menyenangkan, tetapi apa yang ditungganginya malam itu membuat Mas Bojo melupakan kain lapnya untuk melamun sepanjang sisa pekan.
“Gimana kalau motorku dimodif kayak GL Pro kepunyaan Bambang?” Tanya Mas Bojo ketika mengantar saya ke tempat kerja.
Saya tak memperhatikan tunggangan Bambang malam itu; saya hanya tahu bahwa dia memakai motor berknalpot sember dan mesti diengkol berkali-kali untuk menyalakan mesinnya. Semestinya tak ada sesuatu yang bisa dikagumi dari motor Bambang, tapi akhirnya saya mengizinkan Mas Bojo melakukan apa pun terhadap Honda GL Pro miliknya.
Maka dimulailah bulan-bulan penghematan. Mula-mula dia membeli celengan macan setinggi pinggang dan mengisinya dengan koin-koin kembalian belanja. Sadar bahwa upayanya ini kurang progresif, Mas Bojo memangkas habis-habisan anggaran beli rokok dan memborong sekantung permen pedas. Dia juga rajin sekali lembur, dan tampaknya inilah yang membuatnya berhasil menyandang predikat Karyawan Teladan Bulan Ini tiga kali berturut-turut.
Tujuh bulan kemudian, si macan kekenyangan. Di ruang tamu keluarga, celengan itu remuk dihantam palu, dan isinya yang berhamburan membuat kami tersenyum riang. Butuh dua jam untuk menghitung jumlah total uang yang telah ia tabung.
“Ini untuk jajan Adinda,” ujar Mas Bojo, sembari mengangsurkan sepertiga dari jumlah tabungannya. “Dan ini,” sambungnya sambil melirik Honda GL Pro miliknya, “untuk biaya operasi dia.”
Keesokan hari, dia menggelandang motornya ke bengkel modifikasi untuk menukar pelek dan ban. Sekarang GL Pro tersebut memakai pelek berdiameter lebih kecil dan ban bertapak lebih lebar, yang membuatnya tampak seperti Honda Scoopy versi manual.
Batok lampu bawaannya yang mirip teve jadul diganti batok bulat berlampu LED. Speedometer dicopot dan tak diganti. Knalpotnya diganti dengan kepunyaan Honda Tiger. Beberapa perintilan kecil seperti spion, peredam kejut, dan tuas rem-kopling ikut diganti, dan kini Honda GL Pro itu telah bercakram belakang.
Saya suka dengan bentuk ubahan tersebut. GL Pro kami menjadi lebih modern, lebih kekar, dan tampak siap diajak menjelajah hingga Siberia. Mas Bojo semakin sering menyambar kain lapnya, dan saban sore dia mengajak saya berkeliling kota dengan dagu terangkat.
Tapi, ada yang aneh. Tarikan motor ini, kata Mas Bojo, menjadi agak loyo. Ini mungkin ada hubungannya dengan berat total motor yang bertambah.
Maka seminggu kemudian, dia membawa motornya ke bengkel langganan untuk menyampaikan keluhan. Setelah mencatat keluhan Mas Bojo, si pemilik bengkel mengelus-elus jenggotnya dengan mimik serius dan berkata bahwa solusinya ada pada bedah mesin. Mas Bojo menyetujuinya, dan ditinggallah motor itu di sana selama seminggu.
Saya tak tahu apa pun soal modifikasi mesin. Tapi dari Mas Bojo saya mendapati kalau si pemilik bengkel menjejalkan jeroan mesin Mega Pro sambil membubut apa saja yang tampaknya perlu dibubut. Dia juga mengganti karburator, penyaring udara, dan kamprat. Sebagai bonus, dia mengganti klakson GL Pro kami dengan model keong yang berbunyi sama persis seperti klakson Fortuner.
Mas Bojo menjajal mesin barunya bersama saya sore itu, dan sebagai pembonceng saya tak bisa merasakan perbedaan apa pun selain bahwa motor ini menjadi lebih bergetar. Mesin lama Honda GL Pro berbunyi layaknya mesin Honda sejati: halus, lirih, seperti doa hamba di sepertiga malam. Mesin baru ini berbunyi seperti mesin cuci.
Tak puas dengan trek dalam kota, tiga hari kemudian dia mengajak temannya berpelesir ke Telaga Sarangan di lereng Gunung Lawu. Itu adalah keputusan yang tepat: Sarangan berjarak hanya dua jam dari rumah kami, dan treknya bervariasi dengan aspal mulus nan lebar. Orang Cepu berakal sehat pasti menjajal motor barunya ke Sarangan.
Tapi beberapa jam kemudian dia sudah balik ke rumah. Mukanya seletih peserta audisi Idol saat menunggu antrean, begitu pun dengan temannya. Tak terlihat motor GL Pro itu di teras rumah.
“Mesinnya jebol, Adinda,” jawab Mas Bojo, meski saya tak bertanya. “Langsung aku taruh di bengkel.”
Singkat cerita, motor itu pun sembuh beberapa hari kemudian. Mas Bojo tak pernah menungganginya lebih jauh dari gapura kampung sejak saat itu, dan dia juga telah lama melupakan kain lapnya. Beberapa kali dia mengungkapkan penyesalannya karena mengoprek mesin, tetapi mengembalikannya ke kondisi asli juga membutuhkan banyak biaya.
Dan dari sini saya mendapat pelajaran penting mengenai motor: kecuali Anda berniat ikut balapan, jangan sekali-kali mengulik sektor mesin. Percayalah bahwa mesin motor Jepang mana pun dibuat dengan perhitungan teknis yang pelik berdasarkan banyak pertimbangan. Kalau tenaga motor Anda cuma segitu, ya terima nasib saja.
Pelajaran penting berikutnya adalah ini: perlakukanlah Honda GL Pro, atau motor lawas mana pun, sebagaimana Anda memperlakukan orang yang sudah tua. GL Pro telah hidup cukup lama sehingga sudah selayaknya diberi pensiunan. Mengulik mesin tua Honda GL Pro, saya pikir, adalah tindakan yang sama belaka dengan mengganti beberapa organ dalam Simbah, mencekokinya dengan aneka jamu, lalu mendaftarkannya ke Pelatnas dengan harapan dia bakal memenangi medali PON.
“Bagaimana kalau kita jual saja, Adinda?” tanya Mas Bojo beberapa waktu lalu dengan mimik merana.
Saya tak berani menyahut; rasanya bagai hendak menjual hewan peliharaan renta yang kelewat rewel dan tak berguna lagi.
BACA JUGA Kelebihan Sepeda Motor Suzuki yang Membunuh Bengkel Resminya Sendiri dan kisah mengharukan lainnya di rubrik OTOMOJOK.