MOJOK.CO – Saya sering pusing ketika Lebaran. Yang terjadi justru jadi ajang pamer dan kompetisi nggak asik soal kesuksesan, prestasi keluarga, hingga tumbuh kembang anak.
Sebagai seorang ibu, sejujurnya, momen hari raya entah Lebaran maupun Natal selalu sukses bikin aku mumet. Selain harga tiket mudik Lebaran yang persentase naiknya bikin gumoh, ajang silaturahmi dengan sanak-saudara, handai-taulan dan sahabat serta kawan lama juga bikin perutku mulas, kepalaku pusing.
Pasalnya, ajang silahturahmi ketika Lebaran, yang mestinya menjadi ajang mempererat tali persaudaraan justru dijadikan ajang oncor-oncoran alias pamer. Masalahnya, yang dipamerin nggak cuma harta benda duniawi tapi juga kesuksesan keluarga, prestasi keluarga, hingga tumbuh kembang anak.
Mending ya kalau misalnya cuma pamer doang, kita masih bisa melengos, pura-pura bego, atau pura-pura mendengarkan tapi aslinya lagi menghitung total jumlah kalori yang masuk setelah menandaskan seporsi gulai ayam dan 15 tusuk sate ayam, ditambah dua gelas kolak yang kemanisan itu.
Masalahnya, udahlah mereka pamer ketika Lebaran, eh masih ditambah nyinyirin kondisi keluarga kita atau sok-sok ngasih nasihat yang nggak bijak-bijak amat tapi cenderung nyebai. Sebenernya aku masih nggak mudeng sih, mereka itu niat ngasih solusi apa cuma sekadar ngomong supaya kelihatan lebih baik?
Sebenernya, sekarang itu, pamer udah jadi hal biasa bisa, nggak harus di acara kumpul pas Lebaran. Cuma, kalau di media sosial kita masih bisa mute, unfollow, atau block semisal nggak suka dan males melihat mereka. Lha kalau di dunia nyata?
Susah beb mau nge-block, apalagi kalau yang komen dan pamer adalah sahabat, teman lama, saudara, Budhe, Pakdhe, om tante, nenek-kakek. Yang ada kamu nanti dicap anak durhaka. Lagian piye sih ngeblocke nek di dunia nyata? Haruskah kita menciptakan remote khusus untuk nge-block tipe orang nyebai?
Bagi para ibu, momok kumpul Lebaran adalah komentar soal anak. Aku yakin, mulai dari sekarang para ibu udah mulai khawatir kalau anaknya keliatan kurus, kalau nilainya jelek, kalau nggak bisa ngaji, kalau kulitnya baret-baret penuh luka, panik kalau anaknya belum bisa apa-apa, nggak jago di sekolah, susah makan, dan sebagainya.
Ibu-ibu mulai bingung mikirin baju apa yang nanti kelihatan bagus untuk anaknya, selain dia sendiri juga bingung mikirin baju yang bagus di badannya. Sungguh pelik masalah ibu-ibu ini!
Masalahe ngene lho. Ketika Lebaran dan pulang kampung, ibu-ibu akan bergerombol sendiri ngomongin hal-hal yang berhubungan dengan masalah wanita seperti kosmetik, anak, fashion, gosip artis dan banyak lagi.
Beberapa ibu yang punya anak seumuran biasanya akan memulai basa-basi dengan pertanyaan, “Anaknya sudah bisa ngapain, Bu? Kalau anak saya udah bisa jungkir balik, kayang, terbang, mecahin genteng pakai kepala.” Ketika anak yang ibunya ditanya ternyata belum sejago anaknya akan muncul nasihat lanjutan seperti, “Makanya Bu, dilesin aja di Bimbel X atau Perguruan Silat Mawar Hitam. Di sana biayanya cuma sekian puluh juta kok. Nanti jadi pinter kayak anak saya.”
Aku menyebut itu komentar Lebaran yang alusan. Kadang ada juga yang langsung body shaming, “Waah…kok anaknya kurus banget, Bu? Makannya susah, ya? Coba dikasih vitamin Z kayak anak saya, cuma sekian juta kok harganya. Nih lihat anak saya gemuk, pahanya aja kayak roti sobek.”
Lalu ketika si ibu menjawab kalau anaknya doyan makan dan sebenarnya beratnya ideal menurut buku KMS (Kartu Menuju Sehat), komentarnya berubah menjadi: “Mungkin dia nggak bisa gemuk karena maunya ditungguin mamanya. Kan mamanya sibuk kerja. Udah Bu, resign aja biar bisa ngurus anak di rumah.” Lak nyebai banget to beb, komen ngono kui.
Mungkin bagi ibu-ibu itu, komen sambil lalu yang intinya membanggakan anaknya ini nggak bikin sakit hati orang lain. Padahal kadang luorone rek ning ati.
Bayangkan kalau kamu seorang ibu yang bangun subuh tiap hari supaya bisa nyiapin sarapan untuk anaknya sebelum berangkat kerja, susah-susah ngatur menu dan belanja sayur organik, menghabiskan hari libur di rumah demi quality time bersama buah hati, lalu tiba-tiba kamu suruh resign aja biar bisa ngurus anak. Padahal walau anakmu nggak lemu ginuk kayak roti sobek, tapi perkembangannya masih normal berdasar buku KMS.
Bayangkan juga misalnya kamu punya anak yang ceria, yang pinter banget menyanyi dan melukis tapi masih belum tertarik menghafal angka dan huruf karena usianya baru empat tahun, lalu anakmu langsung di cap bodoh, dianggap perlu sekolah supaya pintar menulis dan berhitung.
Atau misalnya kamu dan suamimu sepakat untuk mengajari anakmu Bahasa Jawa dahulu alih-alih Bahasa Inggris. Tiba-tiba anakmu dianggap nggak keren, nggak kekinian, nggak hebat dan dianjurkan belajar Bahasa Inggris supaya bisa masuk sekolah internasional. Apa nggak sakit hatimu sebagai ibu? Sakit lho, lebih sakit dibandingkan ketika kamu ditinggal pas lagi sayang-sayangnya.
Sayangnya, banyak ibu-ibu yang karena tak ingin diremehkan, direndahkan, maupun dicap gagal mendidik anak ketika kumpul Lebaran lantas “menghalalkan segala cara” supaya anaknya menjadi paling baik. Sebenarnya ya sah-sah saja sih ingin anaknya jadi yang terbaik. Namun, jangan sampai caranya salah dan mengorbankan kebahagiaan si anak.
Kadang, demi obsesi terlihat keren pas Lebaran, anaknya dileskan sana-sini sampai anaknya kelelahan dan nggak punya waktu untuk bermain. Ada anak yang ketika berusia dua tahun sudah mulai disekolahkan dengan harapan anaknya langsung pandai berhitung, membaca dan cas cis cus ngomong Inggris. Kita mulai lupa kalau sejatinya anak kita juga perlu bermain dan tertawa, perlu bercengkerama dan bersenda-gurau dengan kita nggak melulu baca buku.
Ketika si anak tak sesuai ekspektasi, kita mudah marah dan kecewa lalu menghukum mereka. Padahal bukan salah anak kalau mereka lebih pandai melukis dibanding berhitung? Ingat, ikan yang pandai berenang pun akan terlihat bodoh jika kita menilainya dari caranya memanjat pohon.
Bagiku, anakku bukan untuk dikompetisikan ketika Lebaran. Aku sudah wareg dengan segala nyinyiran soal tubuh anakku yang kurus, atau soal mengapa dia belum juga masuk PAUD di usianya yang sudah masuk tiga tahun ini.
Nggak apa-apa anakku kurus, yang penting di buku KMS masih hijau dan grafiknya sesuai tumbuh kembang anak seusia dia. Nggak apa-apa anakku belum masuk PAUD dan belum bisa kayang atau terbang kayak anak ibu-ibu yang lain, toh di rumah juga sudah belajar mewarnai, ngorek-orek tembok, nyanyi lagu anak-anak dan main. Kadang-kadang main ke museum kalau ibunya sempat.
Nggak apa-apa anakku nggak seanteng dan seimut Gempi anak Papa Gading, nggak apa-apa anakku nggak seindah dan seapik penampakan anak-anak selebgram, karena bagiku yang terpenting adalah anakku bahagia dan bisa menjadi apa yang dia impikan tanpa perlu terpengaruh kompetisi dan obsesi orang lain.
Semangat menyambut Lebaran ya Ibu-ibu, kalian kuat!