Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Ulasan Smokol

Penjual Makanan Keliling: Kadang Ketemu Demit, Kadang Dikira Demit

Oktavolama Akbar Budi Santosa oleh Oktavolama Akbar Budi Santosa
10 Agustus 2017
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Jauh, jauh sebelum Go-Jek membuat warga perkotaan semakin manja, sudah ada jasa delivery makanan yang jejaknya justru begitu menoreh karena quote terkenal Suzzanna saat menyamar jadi sundel bolong.

“Bang, satenya 100 tusuk, Bang ….”

Yak, penjual makanan keliling! Di wilayah dengan karakter konsumen yang masih menganggap jasa kurir adalah pemborosan tak perlu, penjual makanan keliling masih berjaya. Go-Food what?

Disadari atau tidak, penjual makanan keliling itu punya waktu edarnya masing-masing. Pagi hari, misalnya, antara pukul 6 hingga pukul 9, misalnya, adalah jam beredarnya tukang bubur, gerobak roti, penjaja segala macam kue, dan tukang sayur.

Beranjak tengah hari hingga menuju sore, gantian gerobak es (Wall’s, es tung-tung, dawet, cincau, dsb.), cilok, siomay, batagor, bakso, serta mi ayam yang keliling.

Saat masuk malam hari, yang akan terdengar dari jalanan adalah bunyi sendok beradu dengan wajan tukang nasi goreng, denting sendok feat mangkok tukang bakso, serta teriakan “Sateee … sateee!”.

Perkecualiannya cuma tukang Sari Roti dan Susu Nasional yang jualannya tak kenal waktu. Namanya juga antek kapitalis (bercanda, gaes).

Di antara tiga waktu edar itu, pekerjaan pedagang malam hari adalah yang paling menantang. Mereka harus keluar malam-malam, bertarung dengan angin dingin dan tempat gelap, serta punya risiko keamanan yang kurang bagus. Termasuk bertemu hantu.

Mungkin itulah alasan mengapa pedagang malam hari, meski berkutat di bisnis kuliner yang diidentikkan sebagai keahlian perempuan, nyatanya malah didominasi oleh laki-laki. Dan harus kita akui, tidak jarang makanannya sedap-sedap.

***

Suatu malam saya putuskan untuk bertanya-tanya kepada pedagang makanan keliling yang keluar di malam hari.

Target pertama yang ingin saya temukan adalah penjual nasi goreng + bakmi rebus + bakmi goreng. Penjual macam ini agak susah ditemui di Bantul, kabupaten domisili saya, sehingga saya harus merantau sebentar ke Kotamadya Yogyakarta.

Tak perlu waktu lama, saya menemukan salah satunya di dekat Pojok Beteng Kulon. Untuk pembaca non-Yogya, Beteng atau Benteng adalah nama kawasan tua yang dikelilingi dinding tinggi. Semacam kota kecil dalam benteng gitulah. Pojok Beteng Kulon berarti pojok barat dalam kawasan tersebut. Nama Pojok Beteng sering disingkat jadi Jokteng.

Sebelum melakukan kontak, saya amati dulu penjual tersebut. Pandangan saya fokuskan ke arah kaki, apakah menapak tanah, melayang, atau malah nggak ada kaki sama sekali.

Iklan

Dan ternyata, ada kakinya. Sial! Padahal dalam hati saya sedikit berharap bisa menemukan penjual yang aslinya hantu. Tentu aroma misteri dan horornya akan lebih terasa. Tentu bakal menjadi tulisan pertama di Mojok yang narasumbernya makhluk gaib. Tentu bakal viral, memelesatkan peringkat Mojok di Alexa, dan membuka peluang saya direkrut Mojok sebagai redaktur khusus rubrik Malam Jumat.

Bapak-yang-ternyata-bukan-hantu ini bernama Pak Jo, berusia 66 tahun. Tidak perlu saya ulik apakah itu kepanjangan dari Paijo atau Johanson, yang jelas Pak Jo ini penjual nasi goreng senior nan baik hati. Ia sudah jualan nasi goreng sejak 1981.

“Pertama kali saya bikin nasi goreng, jenengan itu jangankan dibikin, direncanakan saja belum to?” tanyanya. Retoris, Pak.

Lelaki yang sudah mempunyai tiga cucu ini berasal dari Pathuk, Gunungkidul. Rumahnya dekat tower Indosiar gitu, katanya.

“Pokoknya niat saya dulu to, Mas, pengin mandiri. Makanya saya belajar sendiri, lihat orang jualan nasi goreng lalu coba-coba. Saya jual radio tape saya dulu buat modal. Empat bulan belajar, saya mulai berjualan, dan alhamdulillah habis.”

Tiga puluh tahun Pak Jo menjadi “penguasa” di kawasan Jokteng. “Dulu rambut saya gondrong kayak rocker. Tapi, karena malu sama usia, jadi saya potong.”

Tangan Pak Jo begitu gesit meliuk-liukan spatula sambil meracik nasi goreng, sementara bibirnya tak henti bercerita.

“Dari awal jualan seharga 150 rupiah sampai sekarang jadi 12 ribu, saya ndak kepikiran untuk menetap atau mangkal. Bukannya gimana, tetapi saya ini tiap minggu pulang ke Gunungkidul, anak istri di sana, jadi saya di sini ngekos di daerah Suryowijayan. Kalau saya menetap, kasihan pelanggan kalau kecelik (kecele) ketika saya pulang ke kampung. Mending saya yang mendatangi mereka.”

“Pernah mengalami kejadian horor, Pak?” tanya saya.

“Wah lah, yo banyak, Mas. Terutama pas ‘90-an dulu.”

Saya mulai deg-degan.

Suatu kali Pak Jo didatangi seorang wanita yang memesan makanan. Ketika makanan jadi, si pembeli sudah hilang tanpa suara. Pernah pula suatu kali seorang pria gondrong datang, memesan makanan, tapi lima detik kemudian ia berubah menjadi sosok kenalan Pak Jo.

“Terutama di dekat SMP 16 Yogya. Kan dulu rumah sakit to, sering saya nemu kayak gitu pas lewat sana.”

Kisah mistis terbaru ia alami 2014 lalu. Ada seseorang datang memesan dua porsi bakmi, lalu meminta Pak Jo mengantarkan ke lokasi tertentu. Tanpa banyak fafifu, langsung Pak Jo meluncur. Begitu sampai di lokasi, orang yang tadi memesan tidak ada.

“Begitu saya sadar, ternyata saya sudah berada di tengah kuburan. Langsung saja saya telepon kerabat untuk membantu membawa gerobak keluar.”

Hiyyy! Saya bergidik.

Anehnya, kata Pak Jo, setiap kali ada demit yang mengerjai, selalu disusul dengan rezeki nomplok.

Saya lihat-lihat, bukan Pak Jo yang punya aura menarik demit, tapi gerobaknya. Terutama lampu teplok yang tergantung di gerobak. Bila cahaya remang-remang dari teplok yang apinya bergoyang kena angin itu diganti dengan sorot terang LED atau lampu neon, tentu demit mana saja malas mendekat karena setting horornya jadi kurang maksimal.

Gara-gara cerita hantu, petualangan nyamper penjual makanan ini langsung berubah jadi perburuan kisah horor. Karena kenangan adegan Suzzanna jajan sate di awal tadi, kini saya bertekad untuk mencari penjual sate.

Tukang sate yang saya temukan bernama Muhamad, 56 tahun. Karena dia orang Madura, panggilannya jadi Cak Amad.

Cak Amad berjualan di Bantul sejak 1985 setelah berguru kepada kakak iparnya. “Pernah ketemu hantu, Cak?” tanya saya sambil melirik ke lampu neon di gerobaknya.

Ia menggelengkan kepala. Nah kan.

Tapi, aneh juga sih. Listrik baru masuk Bantul tahun ‘90-an. Tahun ’80-an akhir ketika Cak Amad mulai jualan, tentu Bantul masih remang-remang. Suasana favorit demit. Bagaimana bisa si Cacak nggak pernah melihat penampakan?

Yang unik daripada melihat demit, gerobak sate Madura lebih sering dikira sebagai demit itu sendiri. Kok bisa?

Ihwalnya ada pada sirine sate Madura yang memakai lonceng. Dulu sempat ada banyak kejadian, mahasiswa dari luar daerah yang baru awal-awal tinggal di Yogya kaget mendengar denting lonceng malam-malam dan mengira itu tanda hantu sedang lewat. Setelah memberani-beranikan diri mengecek keluar, ternyata tukang sate lewat.

Selain misteri kenapa lonceng horor begitu yang mereka pakai (nostalgia lonceng sapi Madura?), sate Madura keliling masih punya satu misteri lain. Yakni gerobaknya berbentuk kapal, seperti yang dipakai Cak Amad ini. Padahal jualannya sate ayam, nggak ada hubungan dengan laut sama sekali.

Jawaban Cak Amad soal gerobak kapal itu memuaskan sekali. “Wah, saya nggak tahu. Saya sih cuma ikut-ikutan saja kayak yang lain.”

Saya pernah baca artikel di Internet bahwa ini masih berhubungan dengan kapal/perahu sebagai moda transportasi antarpulau di Madura. Tapi, ada juga yang bilang gerobak sate kapal itu sekadar untuk tampil beda.

Teori lain mengatakan, bentuk ini dibuat demi tujuan aerodinamis, mempermudah gerobak didorong sehingga menghemat energi penjualnya. Sebuah teori yang saya yakin pembuatnya berpegang pada buku Fisika Marthen Kanginan.

Saya sendiri menduga bentuk ini dibuat sebagai pengingat bahwa dulu mereka menyeberang ke tanah Jawa dengan perahu. Tetapi, berhubung sekarang sudah ada Jembatan Suramadu, mengapa bentuk gerobaknya tidak diubah jadi jembatan?

Biarkan rubrik Otomojok yang menjawabnya.

Terakhir diperbarui pada 11 Agustus 2021 oleh

Tags: Baksogerobakhantunasi gorengpenjual makanan kelilingsate
Oktavolama Akbar Budi Santosa

Oktavolama Akbar Budi Santosa

Pengulas mie di @nyaaarimie

Artikel Terkait

15 Tanda Absolut Sebuah Warung Bakso Sudah Pasti Enak MOJOK.CO
Esai

15 Ciri Warung Bakso yang Sudah Pasti Enak dan Bikin Balik Lagi

19 Oktober 2025
4 Dosa Penjual Nasi Goreng yang Merusak Rasa, Mengurangi Kenikmatan Makan
Pojokan

4 Dosa Penjual Nasi Goreng yang Merusak Rasa, Mengurangi Kenikmatan Makan

14 Agustus 2025
5 Tips Aman Makan Sate Kambing yang Katanya Berbahaya
Pojokan

5 Tips Aman Makan Sate Kambing yang Katanya Berbahaya

11 Agustus 2025
3 Kesalahan Penjual Mie Ayam Bakso yang Bikin Saya Menghindari Kuliner Ini dengan Sepenuh Hati
Pojokan

3 Kesalahan Penjual Mie Ayam Bakso yang Bikin Saya Menghindari Kuliner Ini dengan Sepenuh Hati

5 Agustus 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Judi Online, judol.MOJOK.CO

Pengalaman Saya 5 Tahun Kecanduan Judol: Delusi, bahkan Setelah Salat pun Doa Minta Jackpot

2 Desember 2025
Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

2 Desember 2025
UGM MBG Mojok.co

Gadjah Mada Intellectual Club Kritisi Program MBG yang Menyedot Anggaran Pendidikan

28 November 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.