[MOJOK.CO] “Coba kamu pikir lagi, kenapa parkir liar itu ada? Bukannya gara-gara kamu muter-muter Jogja dengan mobil pribadi alih-alih naik Transjogja?”
Sebagai sebuah kota wisata yang selalu menjadi jujugan manusia Indonesia maupun dunia, Jogja tentu tidak pernah lepas dari sorotan. Jogja sebagai tempat wisata selalu diharapkan tampil sempurna karena menyanding istilah “Istimewa” dalam nama resminya.
Tetapi, kesempurnaan hanya milik Allah, Jogja tetap banyak bolongnya. Dulu, wisata Jogja sempat tercoreng karena postingan (atau lebih tepatnya “pengaduan”) beberapa wisatawan yang merasa harga makanan di lesehan Malioboro terlampau mahal. Kaki lima tapi harga bintang lima, rasane embuh. Kalau istilah Jawanya, regane nuthuk. Harganya ra mashoook.
Kini akhir tahun 2017 Jogja kembali digoyang masalah rusaknya citra wisata akibat juru parkir liar yang memberikan tarif tinggi tapi tak sampai langit. Hanya 2-3 kali lipat saja dari harga biasa. Tetapi wisatawan tidak terima. Mereka kembali mengadu di medsos, utamanya lewat grup Facebook Info Cegatan Jogja (ICJ).
Pemerintah langsung menindak dengan mengadili dan menghukum beberapa juru parkir liar. Sultan pun bertitah bahwa tarif parkir harus sesuai aturan. Membuat tempat parkir baru juga tidak diperbolehkan. Harus ditindak tegas kalau ngeyel, gitu!
Duh, memang jadi rakyat kecil selalu salah dan ditindas ya. Padahal niat mereka sebenarnya baik, eh dianggap merusak citra wisata. Parkir liar ini jahat dengan memberikan tarif mahal? Eh tunggu dulu. Wisatawan ini tahu nggak sih kalau di Jogja sebenarnya ada kantung parkir resmi yang tarifnya jelas terjangkau? “Tahu, Mas, tapi jauh dari lokasi wisata,” jawab seorang wisatawan berinisial A. “Tahu, Mas, mau pakai tapi udah penuh,” kali ini wisatawan berinisal B memberi jawaban. Wisatawan C sampai Z memberikan jawaban yang kurang lebih sama.
Lalu di tengah keluhan-keluhan tersebut muncullah seorang pahlawan, siapa lagi kalau bukan juru parkir liar. Tanpa mereka para wisatawan ini harus jalan 1-2 kilometer, berpanas-panasan atau bermandikan hujan untuk sekadar menuju Keraton.
Tanpa juru parkir liar ini Anda akan pusing mencari parkiran lain karena kantung parkir sudah penuh. Mereka menyediakan sesuatu yang lebih menguntungkan dibanding parkir resmi, yakni jarak. Maka ada kompensasi yang harus dibayar, yakni harga. Eh dasar wisatawan tidak tahu diuntung, sudah bagus ditolong, menolong balik dengan membayar yang tidak seberapa kok malah tidak mau dan lapor pemerintah. Ini namanya jahat apa superjahat?
Wisatawan mah emang gitu. Transjogja sebagai transportasi umum sudah banyak yang baru, masih aja pergi ke mana-mana pakai kaleng Kong Ghuan alias mobil pribadi. Padahal sudah tahu Jogja itu sempit. Situ parkir di satu tempat terus jalan ke mana-mana juga bisa, eh lha kok sombong dari Malioboro ke Keraton pakai mobil. Terus bingung cari parkir, begitu ada parkir liar dimanfaatkan, lalu tahu harganya lebih dikit, langsung komplain. “Ih, Jogja kok mahal sih.” Lalu posting wadulannya, mengadu ke netizen. Menurut kowe, parkir liar ada kalau tidak memenuhi permintaanmu lalu buat apa lagi, heh? Pancen semprul.
Pemerintah juga gitu, terlalu memanjakan para wisatawan dan malah menghukum warganya sendiri. Mbok ya pemerintah ini nggak usah sok-sokan menertibkan parkir liar tanpa ada solusi menekan para wisatawan yang memenuhi Jogja dengan kaleng Kong Ghuan-nya. Jangan cuma berani tegas sama wong cilik, harus berani pula sama wisatawan yang selalu merasa menjadi raja itu. Memang pendapatan Jogja ini banyak didapatkan dari sektor wisata, tetapi kalau begini terus, lama-lama wisatawan terlalu berkuasa sampai warga Jogja sendiri yang sebenarnya ingin mendukung pariwisata dengan mudah diinjak-injak.
Perkataan “Jogja kok mahal sih” merupakan salah satu indikator awalnya. Pernyataan ini seolah menolak Jogja untuk jadi kota yang lebih makmur. Ya kaya secara harta memang tidak menjamin kemakmuran, tetapi kalau Jogja terus diinjak agar terus-terusan murah, bagaimana wisatanya mau berkembang coba? Mengembangkan wisata itu butuh uang, duit. Salah satu sumbernya dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Masalahnya, PAD pun alokasinya tidak penuh untuk pengembangan wisata kan. Maka dari itu, beberapa kelompok sadar wisata (pokdarwis) yang anggotanya adalah masyarakat di sekitar daerah wisata sering mencari dana tambahan, salah satunya adalah dengan menambah biaya parkir ketika hari libur panjang.
Catat ya, libur panjang alias high season. Uangnya digunakan untuk peningkatan tempat wisata, baik SDA maupun SDM-nya. Ujung-ujungnya untuk kebaikan kalian semua wahai wisatawan yang budiman!
Jadi, sebelum kalian para wisatawan sok-sokan membela keadilan harga murah dan menegakkan peraturan pemerintah yang juga sebenarnya merugikan, kalian mbok ya introspeksi dulu. Jangan-jangan, selama ini tuntutan aneh-aneh kalian terhadap suatu tempat wisata malah secara perlahan mengubah citra tempat wisata tersebut.
Bisa jadi justru karena tuntutan kalian nilai-nilai asli dari suatu tempat wisata hilang karena tujuan mencari keuntungan semata. Barulah setelah itu amati lingkungan wisata yang didatangi. Kalau ada parkir liar atau wisata berharga mahal, misalnya, jangan langsung asal ngadu tanpa melihat aspek lain. Bisa jadi mahal karena selama ini pajak yang diberikan kepada pemerintah tidak berbalik menjadi kesejahteraan bagi masyarakat kecil di sekitar tempat wisata. Lalu parkir liar diambil sebagai sebuah langkah perlawanan, agar pemerintah mau memperhatikan mereka.
Di sisi lain, peraturan pemerintah juga jangan ditelan mentah-mentah, perlu dikaji. Jangan-jangan aturan parkir murah tidak hanya merugikan juru parkir karena pendapatan sedikit, tetapi juga menjadi celah agar wisatawan berbondong-bondong menggunakan kendaraan pribadi. Padahal, tata kota tidak memungkinkan menampung lonjakan kendaraan pada saat musim libur.
Mulai sekarang, tolong jadilah wisatawan yang cerdas.
“Ealah, niatnya mau liburan, piknik, itu buat menyegarkan pikiran kok, Mas. Malah disuruh mikirin kesejahteraan masyarakat kecil di lingkungan wisata. Bikin pusing aja!”
Ya kan liburnya udah selesai, sekarang Waktunya Indonesia Berpikir.