MOJOK.CO – Mengikuti pepatah Cina, amal baik yang telah diperbuat sepanjang hayat, bisa porak-poranda hanya dari sepatah dua patah kata saja. Dan itu hampir terjadi dengan Jokowi.
Polemik pidato Presiden Joko Widodo alias Jokowi ihwal relawan “kalau diajak berantem juga berani” beberapa waktu lalu, mengingatkan saya pada kalimat klasik ini: “Zhong shen wei shan, yi yan bai zhi, ke bu shen hu?”
Maknanya: Amal baik yang telah diperbuat sepanjang hayat, akan porak-poranda oleh sepatah kata saja, maka bagaimana bisa kau tak mau berhati-hati saat berbicara?
Tentu saja kalimat itu tidak muncul dari saya, tapi merupakan salah satu petuah filsuf Khonghucu (551–479 SM) dalam kitab Wejangan Keluarga Konfusius (Kongzi Jiayu) yang menurut saya sudah sepatutnya dicamkan betul-betul oleh Jokowi, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, dan manusia-manusia lain sejenis mereka.
Bijimana tyda? Buktinya, Ahok yang mati-matian tiga tahun membenahi Jakarta sehingga menjadikannya diakui sebagai Global Thinkers 2017 versi majalah bergengsi Amerika Foreign Policy, keok setelah penyuluhannya di Kepulauan Seribu soal Al-Māʼidah ayat 51 dianggap menistakan agama dan menyulut demo akbar buat menggulingkannya dari tampuk kekuasaan ibukota sampai dijebloskan ke penjara.
Kali ini, gantian Jokowi yang sudah jorjoran membangun Indonesia dengan menggalakkan proyek konektivitas infrastruktur di mana-mana, agaknya juga mau disikat pakai cara serupa—kendati mungkin tidak akan seberingas pada kasus Ahok karena belum menyentuh isu primordialisme yang renyah digoreng. Meski begitu, kalimat sambutan Jokowi dalam acara Rapat Umum Relawan Jokowi di Bogor (4/8) itu, sempat dipertanyakan oleh pihak-pihak yang berseberangan.
Anggota Badan Komunikasi DPP Partai Gerindra Andre Rosiade, misalnya, menganggap “Presiden secara tidak langsung menganjurkan kekerasan dalam Pemilu 2019” mendatang. Bahkan, Politisi Partai Demokrat Andi Arief melalui Twitter-nya meminta “Kapolri menangkap Presiden Jokowi malam ini karena sudah memerintahkan kekerasan yang bisa mengarah perang sipil. Lebih berbahaya ketimbang terorisme.”
Wah, wah, sebentar, mari kita lihat dulu duduk perkaranya.
Jika kita mau konsisten tabayun menyelidiki asbābu al-wurūd dengan mendengarkan utuh pidato Jokowi yang berdurasi 14 menitan itu, rasa-rasanya menemukan adanya anjuran atau perintah penggunaan kekerasan, baik secara langsung maupun tidak langsung sebagaimana yang dituduhkan, sepertinya adalah hil yang mustahal belaka.
Saya kira, tanpa bantuan ilmu linguistik yang muluk-muluk sekalipun, kita akan tetap bisa dengan mudah memahami inti dari pidato Jokowi adalah motivasi untuk berani menghadapi setiap kondisi dan konsekuensi dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 nanti.
Apa yang diucapkan Jokowi ini sebenarnya juga ada dalam buku yang saya nukil di awal tadi. Jika Jokowi bilang “kalau diajak berantem juga berani”, maka Khonghucu menuturkan, “Peperangan memang ada strateginya, tapi keberanian adalah pangkalnya (Jiao zhan you lie yi, er yong wei ben).” Hm, makin kelihatan deh antek asengnya.
Namun, Khonghucu mewanti-wanti bahwa modal keberanian saja sebenarnya belumlah cukup. “Keberanian yang ditopang dengan kemauan mendengarkan dan berkonsultasi dengan siapa saja, itulah yang pasti menang (Yong er hao wen, bi sheng),” sambungnya tegas.
Berdasar itu, Khonghucu selanjutnya mengecap orang yang tidak punya keberanian serta tidak mau mendengarkan nasihat kecuali dari kubunya sendiri sebagai “orang dungu” (yu). Dan, menurut Khonghucu lagi, buang-buang tenaga saja menjelaskan apapun terhadap orang dungu karena usaha demikian “sama halnya dengan menabuh genderang kepada orang tuli” (ru hui long er gu zhi). Ya jelas itu usaha sia-sia, karena memang tidak akan kedengaran.
Dari situ bisa kita pahami, sekeras apapun menabuh genderang kebenaran ke telinga orang dungu, tetap tidak akan didengarkan kecuali kita merupakan atau mau menjadi bagian dari mereka. Pasalnya, pihak-pihak semacam ini memang sudah tidak bisa berbuat “adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan” kalau kata Mbah Pram. Kebenaran dianggap tunggal dan hanya punya mereka. Sedang kesalahan adalah milik yang dipandang berseberangan dengannya. Kalian suci, kami penuh noda.
Makanya saya tidak heran kalau dulu ada yang petantang-petenteng akan menggunakan mental “Perang Badar” antara muslim vs kafir untuk memenangkan Pilpres 2014, namun reaksi orang-orang masih saja bisa adem ayem. Bahkan beberapa orang malah menangkap sebagai humornya kelas elite politik.
Hal itu yang sebaiknya membuat kita tidak boleh serampangan menafsirkan pidato Susilo Bambang Yudhoyono bulan Februari lalu, “Para kader, tahun ini tahun politik menuju Pemilihan Umum 2019. Hancur negara kita kalau politik ini makin tidak beradab. Memfitnah lawan-lawan politiknya tanpa beban. …Apa yang akan saya lakukan? Saya mengatakan tadi saya akan melakukan jihad. …Ini perang saya. This is my war!”
Juga, tak seharusnya ada yang ngamuk dengan mengajukan tafsir macam-macam ketika viral video Prabowo Subianto yang mengatakan, “Bapak ibu kita kalau mengajarkan kita; ‘Nak belajar yang baik, jadi orang yang baik, kalau besar jadi orang baik membantu orang, membantu tetangga.’ Kalau strategi tidak begitu; kalau perlu kau rampok tetanggamu yang sedang kesusahan… loot a burning house, rampoklah rumah yang sedang terbakar.”
Sialnya, tampaknya kini ada yang mulai menerapkan strategi itu. Coba tuan tengok gerombolan homo sapiens yang, alih-alih berempati dan menolong, malah kegirangan menyerapahi gempa di Lombok sebagai azab karena pemimpinnya beralih preferensi politik. Bencana kalian azab, bencana kami cobaan.
Oh ya, asal antum tahu, ajaran “merampok rumah yang sedang terbakar” dari Prabowo itu ternyata juga muncul dalam strategi kelima dari Tiga Puluh Enam Taktik (Sanshiliu Ji) peperangan Cina kuno. Bahasa aslinya disebut sebagai “chen huo da jie”. Waduh, lha kok jebul sama-sama antek aseng? Bijimana nih?
Sayangnya banyak masyarakat kita yang malah sering menggunakan strategi ketujuh taktik peperangan Cina kuno dalam Sanshiliu Ji, yakni “wu zhong sheng you” yang arti harfiahnya “mengadakan yang tidak ada”, alias bikin hoax, memelintir kata-kata, memfitnah, dan sebangsanya, untuk memenangkan suatu peperangan entah apa bentuknya.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya orang-orang yang hobi menggunakan istilah-istilah perang itulah yang layak kita waspadai. Sebab, menurut Henry Giroux dalam esainya yang dimuat The Conversation pada 11 Januari 2018, bahasa berbau peperangan cenderung dipakai oleh politikus-politikus fasis nan otoriter sejak zaman Adolf Hitler sampai Donald Trump sekarang.
Di tangan orang fasis, “bahasa kebrutalan dan budaya kekejaman dibiasakan melalui penyebarluasan metafora-metafora kasar peperangan, pertempuran, pengusiran, kemurnian ras, dan ‘pengkopar-kapiran’ (demonization),” tulis guru besar McMaster University tersebut.
Kenapa begitu? Karena “ini adalah bahasa yang nyaman untuk melihat dunia sebagai zona tempur, dunia yang ada untuk dijarah, dan mereka yang berbeda pendapat sebagai ancaman yang harus ditakuti jika tidak dihilangkan,” terangnya.
Rakyat pun terus dikompori pakai pemelintiran isu-isu tertentu untuk “melegitimasi kefanatikan dan kebencian yang lama dipendam” terhadap yang liyan. Ujung-ujungnya, “bahasa fasisme berkembang dalam bentuk mobilisasi ketakutan, kebencian, dan kekerasan.” Akhirnya, semua bermuara pada isu-isu peperangan alih-alih persatuan.
“Bahasa semacam ini,” tegas Profesor Giroux, “mengikis kemanusiaan kita, dan membuat terlalu banyak orang mati rasa dan diam dalam menghadapi ideologi dan praktik yang mengerikan dari tindakan kekejaman etis (ethical atrocity).”
Pertanyaannya, kalau diajak berantem dengan orang-orang model begini, masa kita enggak boleh berani? Cuma pasrah diam memberikan pipi kiri ketika pipi kanan kena tampar?
Kalau boleh pinjam kata-kata Wiji Thukul. Ya, hanya ada satu kata: lawan!