MOJOK.CO – Untuk Agni dan korban kekerasan seksual lainnya, terima kasih sudah berani untuk angkat bicara dan membuat kami sadar bahwa masalah kekerasan seksual sudah saatnya berhenti untuk diabaikan.
Halo, Agni. Di mana pun kamu berada, saya harap keadaanmu baik-baik saja dan kamu tetap kuat menjalani hari-hari berat setelah memutuskan untuk menceritakan apa yang terjadi padamu. Terima kasih karena berkat keberanianmu bercerita, orang-orang mulai membicarakan bahwa kejahatan seksual bukanlah sebuah kejahatan yang bisa diabaikan begitu saja.
Terima kasih telah menyadarkan betapa pengabaian kita terhadap masalah ini berdampak pada kasus kekerasan seksual yang seakan-akan tidak pernah terjadi, seakan-akan tidak pernah menjadi masalah. Padahal Satu dari empat perempuan nyatanya pernah menjadi korban kekerasan seksual. Tapi, hanya sedikit dari mereka yang berani melaporkannya seperti kamu. Jangankan melaporkan, membicarakannya pun mereka takut dan malu.
Kenapa korban kekerasan seksual itu takut dan malu melaporkan apa yang terjadi pada mereka?
Alasan pertama, mereka takut tidak didengar dan dipercaya. Apalagi jika pelaku adalah orang-orang terdekat. Keluarga, kerabat, orang yang mereka kenal. Bukan orang-orang jahat yang selalu tampil dalam bayangan kita seperti seorang berandalan, kriminal, atau preman bersenjata. Bagaimana orang lain mau percaya kalau pelakunya adalah orang-orang biasa, yang hidup dan ada dalam keseharian mereka?
Alasan kedua, cerita-cerita korban kekerasan seksual adalah cerita yang terlalu menyeramkan. Sesuatu yang tidak pernah terbayangkan oleh orang lain yang belum merasakannya. Bahkan untuk membayangkannya saja sudah membuat kita tidak nyaman.
Cerita mereka bukan sesuatu yang bisa dengan mudah diterima, sehingga sulit untuk orang lain benar-benar bisa mendengarkan dan berempati. Bukankah lebih mudah untuk menghindari pembicaraan tentang hal ini?
Ketika membicarakan kasus kekerasan seksual, perkosaan khususnya, yang orang lain ingin dengar adalah cerita tentang seorang perempuan yang tidak sengaja bertemu orang jahat ketika berpapasan di sebuah jalan yang sepi. Kejadian yang hampir mirip dengan ketika seseorang dirampok atau dijambret. Kejadian yang murni karena sebuah kemalangan.
Mereka tidak mengharapkan sebuah cerita tentang perempuan yang disakiti oleh temannya sendiri. Tidak bisa menerima cerita seperti yang kamu alami, atau cerita yang diungkapkan seorang penyintas seperti ini:
“Aku terpaksa harus pulang malam karena sesuatu hal. Seorang teman lelaki kemudian menawarkan diri untuk mengantarku pulang dengan mobilnya,” katanya.
“Tapi dia membawaku ke sebuah jalan yang bukan menuju rumahku.”
“Saat itu, aku tahu sesuatu yang buruk akan terjadi ketika dia mulai mendekatiku, sangat dekat. Tapi aku tidak bisa apa-apa, aku ingin melawan dan teriak, tapi bagaimana jika dia merasa tersinggung dan mulai melakukan hal jahat padaku? Dia bisa saja melukai diriku.”
“Aku sudah memohon dan berkata aku tidak mau, lalu aku berusaha menenangkannya dengan berkata aku menyukainya karena dia teman yang baik. Aku meyakinkannya bahwa dia seperti saudaraku sendiri.”
“Tapi dia menutup mulutku, dan mulai membuka ikat pinggang dan celananya.”
“Hal pertama yang aku pikirkan adalah jika aku melawan, bagaimana jika ikat pinggang itu dia gunakan untuk mencekikku? Aku tidak pernah merasa setakut itu, aku merasa sendirian, satu-satunya yang bisa kulakukan adalah berkata: tolong lakukan itu dengan cepat, lalu segera antar aku pulang.”
Persis seperti yang kamu alami. Reaksi banyak orang ketika mendengar cerita itu adalah menyalahkan korban dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, “Kenapa kamu mau diantar sama cowok?”, “Kenapa kamu nggak melawan dari awal?”, atau “Kamu kan perempuan, kenapa kamu malah pulang malam?”
Pertanyaan itu kemudian diikuti pertanyaan-pertanyaan lain yang sesungguhnya bukan sebuah pertanyaan, tapi penghakiman.
“Memangnya waktu itu kamu pakai baju apa? Baju lengan pendek? Rok pendek? Apa yang kamu harapkan dengan pakai baju itu di malam hari?”
Pertanyaan yang semakin menyalahkan korban, menunjukan bahwa korban sendirilah yang memancing kejadian itu terjadi. Atau bahkan korban “mengharapkan” kejadian itu terjadi.
Lebih jauh, korban akan semakin tersudut karena dianggap tidak melakukan perlawanan atau menghidari pemerkosaan, yang artinya itu adalah sebuah hubungan yang dilakukan berdasarkan konsensus. Perkataan korban tetang “lakukan dengan cepat” dianggap sebagai sebuah konsensus. Lalu, bagaimana kasus ini bisa disebut pemerkosaan?
Memang, cara paling mudah untuk menghindari ketidaknyamanan terhadap kejadian ini adalah dengan menyalahkan si korban. Ya mau gimana lagi, menyalahkan adalah cara yang paling cepat.
Padahal, jika benar-benar mendengarkan ceritanya, kita tidak akan mengabaikan bahwa korban melakukan perlawanan. Ketika dia “merelakan” badannya untuk mengganti nyawanya yang bisa saja terancam, itu adalah sebuah perlawanan. Mengatakan “lakukan dengan cepat” adalah sebuah perlawanan.
Alasan ketiga, kenapa banyak korban yang tidak melapor? Yang sering terjadi adalah pelaporan kekerasan seksual terlalu merepotkan dan menyakitkan bagi korban. Bahkan untuk melapor, korban harus membuktikan terlebih dahulu bahwa dia “benar-benar korban”. Iya, lucu memang. Seorang korban harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.
Korban harus menjalani berbagai pemeriksaan medis, menunjukan bekas atau tanda di badannya bahwa dia sudah melakukan perlawanan ketika pelaku menyakitinya. Dan, perlawanan yang tidak menghasilkan bekas, tidak dianggap sebagai sebuah perlawanan.
Alasan keempat, jika korban kekerasan seksual berani mengungkap kebenaran seperti yang kamu lakukan, mereka harus berhadapan dengan pandangan-pandangan ragu dan curiga. Jika muncul dari orang terdekat, kecurigaan ini tentu akan menghancurkan perasaan korban.
Agni, perjuanganmu untuk melawan empat alasan yang menakutkan demi mendapatkan keadilan adalah hal yang sangat berarti bagi korban-korban lainnya untuk berani angkat bicara.
Dengan mereka saling berbagi atas apa yang mereka alami, mereka tidak akan merasa berdiri sendiri dan terus menerus merasa bersalah. Membuka diskusi tentang kekerasan seksual juga dapat membantu kita mengurangi stigma yang menempel pada isu ini, khususnya dalam melawan victim blaming untuk meyakinkan korban bahwa apa yang terjadi bukanlah salah mereka sehingga korban bisa terus melanjutkan hidupnya.
Agni, bersama dengan keberanian kamu dan harapan akan lebih banyak korban yang angkat bicara, saya yakin suara kalian bisa semakin didengar untuk sampai kepada orang-orang yang punya otoritas supaya mereka mengerti dan melakukan sesuatu untuk menyelesaikan masalah ini.
Apalagi yang menyangkut mekanisme pelaporan terhadap kasus kekerasan seksual yang bahkan kamu sendiri butuh waktu setahun supaya ceritamu bisa didengar. Kalau pelaporan yang lamban ini bisa diubah, pelaku bisa langsung dihukum. Ini akan menjadi upaya yang sangat berarti untuk mencegah kasus kekerasan seksual lainnya karena pelaku kekerasan seksual yang berkeliaran bebas punya potensi melakukan kejahatan yang sama ke orang lain.
Sekali lagi, terima kasih Agni karena telah angkat bicara. Terima kasih karena telah memulai pembicaraan yang penting ini. Saya harap kamu tahu bahwa kami selalu ada di belakang kamu dan mendukung kamu untuk mendapatkan keadilan.