MOJOK.CO – Betul juga ya, kalau WNI eks ISIS ini langsung ditolak buat kembali, negara kan jadi nggak perlu repot-repot mikirin cara untuk menyelesaikan persoalan ini.
Gara-gara Menteri Agama Fachrul Razi melempar wacana terkait 600 WNI eks kombatan ISIS akan dipulangkan dalam waktu dekat, perdebatan mengenai diterima atau tidak diterimanya WNI eks ISIS ke Indonesia kembali menyeruak ke permukaan lagi setelah sebelumnya dibahas Maret 2019 lalu.
Yang kocak, setelah wacana ini dilemparkan ke publik dan jadi bahan ketubiran masyarakat—sampai jadi trending topik di sosial media, Pak Menag malah meralat pernyataannya dan bilang kalau pemulangan WNI eks ISIS tuh masih dalam tahap pengkajian.
Karena sudah kadung rame dibahas, akhirnya banyak tokoh ikut berbicara mengenai persoalan ini. Misalnya Mahfud MD yang bilang kalau pemulangan WNI eks ISIS ini ngaco dan lebih banyak mudaratnya. Kalau pun dipulangkan, WNI eks ISIS ini kemungkinan nggak akan diterima masyarakat. Dihindari, disindir, dicibir, terus nanti jadi teroris lagi. Jadi biar saja tetap di luar. Gitu kata beliau.
Pun dengan Jokowi yang bilang kalau dia secara pribadi keberatan memulangkan mereka.
“Kalau bertanya kepada saya, saya akan bilang tidak. Tapi masih dirataskan,” kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta.
Setahun lalu, saya pernah menuliskan pendapat saya mengenai alasan kenapa kita perlu menerima WNI eks ISIS untuk kembali ke Indonesia. Pendapat yang nggak terlalu populer dan tentu saja dicacati banyak orang yang tidak percaya kalau sebagian dari WNI eks ISIS adalah korban dari propaganda ISIS dan korban dari masalah struktural yang ada di Indonesia hingga akhirnya frustasi dan memilih bergabung dengan ISIS.
Waktu itu saya melihat permasalahan ini bukan hanya dari kacamata kemanusiaan—tentang betapa malangnya nasib mereka yang menjadi korban tipu daya ISIS dan harus menjalani hidup penuh kekerasan dan penderitaan di kamp pengungsian.
Tapi juga dari kacamata perdamaian—bahwa dengan menerima kembali mereka ke Indonesia akan menunjukan bahwa negara tidak abai. Artinya, itu memutus pemikiran tentang negara yang ternyata masih peduli atas kehidupan mereka.
Mengampuni dan memberikan kesempatan kedua terhadap mereka juga bisa memutus rantai kekerasan terorisme karena hanya dengan menjadikan mereka sebagai kawan, negara bisa mencari informasi lewat dalam dan membuat strategi kontra narasi atas propaganda yang sebelumnya digunakan ISIS untuk merekrut dan memperdaya mereka bersama banyak orang lainnya.
Pendapat saya untuk menerima kembali WNI eks ISIS ini tentu dengan asumsi ada assesment tentang seberapa radikal mereka sebelum dikembalikan. Dan anggapan bahwa mereka harus menjalani berbagai program terlebih dahulu, bukan yang dikembalikan, lalu dilepaskan begitu saja.
Setelah saya renungkan lagi dalam-dalam, apa yang saya pikirkan setahun lalu ternyata sudah nggak relevan. Saya akui saya cukup naif. Bukan, bukan naif karena berpikir bahwa eks kombatan/simpatisan ISIS bisa melakukan pertaubatan. Tapi naif karena menganggap negara bisa membuat program deradikalisasi yang tepat yang bisa bikin WNI eks ISIS itu nggak jadi radikal lagi.
Juga naif karena berpikir negara mau membuat program reintegrasi yang baik yang bisa membuat eks ISIS kembali diterima di masyarakat dan akhirnya nggak terpikir untuk kembali ke jalan kekerasan lagi.
Kalau lihat dari komen-komen pejabat kita tadi, emang sudah paling betul ditolak saja sekalian!!11!
Kalau langsung ditolak buat kembali, kan negara jadi nggak perlu repot-repot mikirin cara untuk menyelesaikan persoalan ini. Masa harus nambah-nambahi kerjaan Kemenag, BIN, Kemensos, Kemenkopolhukam, dan BNPT buat bikin strategi deradikalisasi, rehabilitasi, dan reintegrasi.
Kalau langsung ditolak, negara nggak perlu repot lagi menginterogasi alasan kenapa WNI eks ISIS itu memilih untuk pergi. Nggak perlu tahu motivasi mereka, dan nggak perlu tahu strategi yang dilakukan ISIS biar bisa sukses bikin mereka berpaling ke lain hati, eh ke lain negara. Meskipun itu semua penting untuk dijadikan kajian yang bisa bikin strategi pencegahan lebih efektif, tapi ya pura-pura nggak tahu aja. Pencegahan tetap pakai sosialisasi aja.
Peduli amat juga masalah kemanusiaan. Toh pergi ke sana udah jadi pilihan mereka. Terlepas dari apakah mereka cuma diajak keluarganya dan nggak ngerti apa-apa soal ISIS. Atau banyak perempuan putus asa dan anak-anak mengalami trauma mendalam di sana. Yaudah lah ya, pokoknya itu kan salah mereka. Lagian, jumlahnya juga nggak seberapa kok, 600 orang doang. Angka segitu mah sedikit, ngapain dipikirin.
Kalau pun misal nanti mereka jadi dendam ke negara karena diabaikan begitu saja, terus di masa depan merencanakan penyerangan sebagai upaya pembalasan dendam, ya itu dipikirin nanti aja.
Inget, keamanan itu lebih penting dari kemanusiaan!11!
Meskipun aslinya sih ya bisa dapat dua-duanya kalau negara benar-benar mau mikir penganganan yang serius lho, ya. Keamanan dan kemanusiaan kan bukan sesuatu yang mutually exclusive.
Lagian, ngapain juga nerima WNI eks ISIS. Mereka toh nggak akan bisa dibikin tobat. Kasus teroris yang tobat kayak Ali Fauzi, eks Jamaah Islamiyah yang akhirnya jadi partner densus buat jinakin bom dan pengetahuannya membantu densus melacak anggota JI lain, dan nggak jarang mengajak temannya yang mantan kombatan untuk ikut tobat dan mengambil jalan perdamaian, itu tuh cuma anomali. Inget, kalau jadi teroris, meskipun cuman simpatisan, sekali setan akan tetap jadi setan.
Oh iya, emang Indonesia mau gitu dianggap sebagai negara penampung teroris kalau nerima mereka? Nggak kan? Jadi ya sudah benar ditolak saja mereka, biarin aja Suriah yang udah hancur lebur karena perang itu ngurus mereka.
Terakhir, emang sudah betul WNI eks ISIS ditolak ke Indonesia, soalnya, kalau mereka balik dan menjalani program deradikalisasi yang ada sekarang, yang programnya cuma seminar dan pembinaan yang nggak terlalu jelas, mereka akan tetap radikal dan jadi ancaman. Jadinya ya emang mending nggak usah kembali sekalian….
BACA JUGA Kenapa Kita Perlu Menerima Mantan Kombatan ISIS untuk Kembali atau artikel lainnya di POJOKAN.