PHP paling epik di negeri ini selalu muncul di seputar tujuhbelasan. Setiap tahun, sejak bendera-bendera mulai dipasang di halaman kantor kelurahan, mereka selalu bilang begini: “tugas generasi muda adalah mengisi kemerdekaan”. Ada yang pakai spanduk, poster, atau yang langsung ceramah di depan hidung kita. Sasarannya jelas, mereka berseru kepada generasi muda. Dan semua orang tahu, banyak di antara ‘generasi muda’ itu adalah jomblo atau rentan jomblo.
Artinya, para jomblo diwarisi sesuatu untuk diisi, dengan kata lain, diserahi ‘kekosongan’. Kekosongan ini bisa macam-macam, gak perlu googling, bisa rumah kosong, tanah kosong, atau …… (isi sendiri) yang masih kosong.
Semua orang juga tahu, apa-apa yang kosong selalu jadi rebutan, ehm.. Dan kalau yang kosong itu sebuah negeri yang kaya raya, jadinya bukan Rangga yang menang, tapi Si Borne.
Jadi jangan heran kalau Indonesia tak selesai-selesai dirampok dengan gaya hukum rimba. Saban tahun seruan mengisi-kekosongan itu diputar ulang, sudah puluhan tahun. Mungkin tahun depan masih ada kalimat itu, mencoba mengingatkan lagi para generasi muda: Ingat, Nak, Indonesia masih kosong!
Sudah berlapis-lapis generasi jomblo ketemu PHP model beginian, saban tujuhbelasan menjanjikan tanah kosong bernama Indonesia kepala generasi muda. Bayangkan sendirilah apa yang terjadi setelah berpuluh-puluh tahun.
Korbannya mungkin sudah sebanyak antrian pendaftar Indonesian Idol digabung antrian lomba-lomba semacamnya—setiap tahun. Salah satu korbannya kawan saya.
Ceritanya begini (cieee, mau curhat nih), waktu kawan itu dengan semangat menggebu dan tekad baja ala jomblo mau mengisi kemerdekaan, ia mendapati bahwa tempat yang diinginkannya sudah penuh. Semua tempat yang cakep-cakep sudah digondol kerabat dan handai taulannya orang-orang pengusung hukum rimba—hukum rimba inilah (bukan manusia) bos dari bos dari bosnya para PHP. Kawan saya terpental. Ia menolak jalan hukum rimba.
Kawan itu tahu, begitu juga banyak orang lain, siapapun yang maksa mau mengisi kemerdekaan dengan mengganti hukum rimba, kau pasti akan kecewa. Atau kau tidak akan sempat kecewa karena sudah disekolahkan—siapa sih yang suka disekolahkan.
Tapi rupanya para jomblo waktu itu tak mau menyerah begitu saja, jalan satu-satunya adalah mengganti hukum rimba. Kawan itu ikut bergabung. Mereka berusaha mengisi kemerdekaan dengan melawan hukum rimba. Tapi kalian pasti sudah tahu, sejarah belum bisa memenangkan mereka, dan hukum rimba masih berlaku.
Setelah itu saya kadang mendapati sang kawan mengutip kalimat terakhir novel pertama Tertralogi Buru-nya Bung Pram, sambil terus bertanya-tanya, apalagi yang tersisa untuk diisi? Pantai-pantai sudah atau sebentar lagi dipenuhi perumahan mewah, deretan hotel, rumah pejabat, orang kaya, dan sampah. Gunung-gunung juga sudah disewakan, sekalian dengan hutan-hutannya. Laut-laut sudah kehabisan ikan. Sungai-sungai kering kerontang.
Tapi ia juga melihat orang-orang tersudut di pinggir-pinggir kota. Desa-desa, kalau tidak segera digusur, berarti sudah tidak punya cukup sumber daya yang bisa bikin makmur orang sekampung.
Ia lalu berpikir, satu-satunya peluang yang tersisa, baginya dan sebagian jomblo sezamannya, adalah menjadi petugas kebersihan. Maka jadilah mereka membersihkan sisa-sisa pesta pora perampasan ala hukum rimba. Mereka bekerja untuk orang-orang yang digusur dari hutan dan pesisir, dari kota dan desa. Mereka juga membereskan sisa kerusakan dari perayaan potong hutan, serta perhelatan keruk tanah dan laut. Itulah cara mereka mengisi kemerdekaan—yang memang sudah kosong.
Lantas mereka dibayar apa? Saya yakin kalian semua sudah tahu jawabannya—atau bisa tanya ke kepala suku Mojok.co kesayangan kita semua. Tapi satu hal yang penting, kawan saya itu, juga kawan-kawannya, telah berjumpa PHP paling epik di negeri ini.
Membayangkan kisah kawan itu—kawan imajiner saja sesungguhnya, saya jadi mengkhayal lagi, jangan-jangan para PHP itu mau bilang, “tugas kalian generasi muda adalah mengisi kemerdekaan, sebab kami sudah mengosongkannya.”
Tapi, saya tak perlu galau berkepanjangan. Jomblo-jomblo masa kini sudah jauh lebih well-informed, well-connected, dan well-experienced sehingga kedap-PHP. Bayangkan apa yang terjadi ketika mereka berhadapan dengan seruan usang nan epik itu dari para Pemberi Harapan Palsu.