Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Cadar Mbak Dian dan Fobia Atribut

Ndari Sudjianto oleh Ndari Sudjianto
16 Desember 2016
A A
Cadar Mbak Dian dan Fobia Atribut

Cadar Mbak Dian dan Fobia Atribut

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Beberapa hari yang lalu, seorang teman berkunjung ke rumah. Di antara kudapan ala kadarnya, rumpi-rumpi cantik basa basi, saya bertanya bagaimana upayanya kemari menggunakan kereta commuter? Berkisahlah dia tentang kejadian selama perjalanan.

“Sebelah gue tadi cewek bercadar. Jadi sepanjang perjalanan bawaannya takut kalau-kalau dia bawa bom,”

“Lu aja yang parno, jangan dikait-kaitin cadar sama teroris. Jangan Islamfobia lah,” jawab saya.

“Ga Islamfobia, gue cuma wahabi fobia,” kilahnya nyengir sambil membenarkan letak kerudung.

Fobia yang wajar, terlebih tempat dia tinggal hanya berjarak 10 kilo meter dari lokasi penangkapan Dian Yulia Novi di Bekasi. Mbak Dian yang wajahnya senantiasa ditutup cadar dituding sebagai “calon pengantin” peledakan bom panci yang konon daya ledaknya mencapai radius sekian ratus meter.

Teman saya semakin senewen, keinginan berlibur ke rumah saya di Bogor, malah mempertemukannya dengan seorang beratribut yang menakutinya, sebelahan lagi. Perjalanan Bekasi-Bogor yang seharusnya tak terlalu jauh membuat dia seperti sedang menempuh perjalanan Sleman-Banyuwangi.

Meski tak setuju dengan pendapatnya, cerita teman saya ini mengingatkan pengalaman empat tahun yang lalu.

Sewaktu masih menjadi wartawan di sebuah media massa nasional, saya meliput laporan jemaat Gereja Taman Yasmin, Bogor, yang mengadu ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

Di antara jemaat terdapat sejumlah anak kecil. Mereka beringsut ketakutan setelah melihat saya sembari memeluk orang dewasa di sebelahnya. Saya mengernyit, sebegitu mengerikankah wajah saya? Memang, saya tak secantik Raline Shah. Tapi kalau punya wajah mengerikan tidaklah, buktinya saya laku. Saya punya pacar, artinya wajah saya nggak creepy-creepy amat lah ya.

Perempuan dewasa di sebelah anak jemaat Gereja Taman Yasmin yang ketakutan itu lantas meminta maaf. Dia bercerita bahwa sejumlah anak memang mengalami ketakutan dengan atribut seperti kerudung, gamis, atau hal-hal yang mengingatkan mereka pada kekerasan pengusiran saat beribadah. Kebetulan yang mengusir mereka adalah laki-laki bersorban atau berkerudung bila perempuan.

Saya paham, kerudung saya membuat anak-anak jemaat Gereja Yasmin ketakutan. Begitu pula dengan cadar yang dikenakan perempuan di kereta commuter teman saya tadi. Sungguhpun saya tak bermaksud jahat, begitu pula dengan perempuan bercadar mungkin tak bermaksud buruk dengan penumpang di seluruh kereta.

Atribut memang sering dikaitkan dengan penilaian terhadap orang lain, ia menimbulkan stigma tentang suatu hal. Meski stigma sendiri, kalau katanya Goffman, membuat individu kehilangan kepercayaan dan dapat menjadi suatu hal yang menakutkan. Jadi urusan stigma dan atribut berkelindan seperti bolah ruwet yang tak jelas ujungnya.

Saya termasuk yang paling kenyang dengan stigma-stigma buruk karena atribut yang disandang. Saya pernah dikira komunis gara-gara bergabung di GMNI —yang saat itu, melalui broadcast massal yang mengatasnamakan Kivlan Zen, sempat dituding sebagai penyaruan PKI baru dan perlu diberangus. Awalnya emosi, tapi setelah saya pikir dengan agak jernih, tak perlu lah berdebat dengan asu-asu itu.

Saat bekerja di Tempo, saya dituding anti-Islam, wartawan media kafir, karena waktu itu Tempo gencar memberitakan petinggi salah satu partai berbasis agama yang tersangkut kasus korupsi. Untuk yang soal ini abaikan saja. Tak apalah mereka menuduh kafir. Toh kalaupun saya kafir, saya tinggal baca syahadat lagi.

Iklan

Tapi bila menyangkut kelajangan, saya wajib protes keras hingga pelaku minta maaf. Seorang narasumber bertanya di sela-sela wawancara apakah saya sudah menikah. Jawaban saya belum waktu itu.

“Pantas ya, Tempo sering nyinyir sama kita, ternyata wartawannya belum menikah. Apa perlu kami kirimkan ikhwan-ikhwan untuk menikahi para jurnalis perempuan di Tempo,” tanyanya.

Sekilas memang seperti bercanda tapi ini adalah pelecehan. Tak ada hubungan kekritisan dan kenyinyiran dengan status pernikahan seseorang. Agus Mulyadi atau Puthut EA, kekritisan mereka tak ada hubungannya dengan statusnya yang sudah nikah atau belum. Sakit hati hayati, Bang. Lebih sakit daripada ditinggal selingkuh mantan.

Setelah mau menikah, saya sempat dianggap kurang beragama oleh sebagian calon keluarga karena dukung Jokowi di Pemilu 2014. Sia-sia sudah ngaji kitab kuning waktu remaja. Semua ilmu akan musnah ketika saya memilih Jokowi. Begitu kesimpulannya.

Rentetan stigma yang disematkan seharusnya memang tidak membuat kita memperlakukan hal yang sama kepada orang yang berbeda. Betapa tidak enaknya dianggap buruk orang lain semestinya tak membuat kita memperlakukan hal yang sama.

Itulah kenapa saya selalu berkeyakinan bahwa tak perlu lah kelompok pengguna cadar menilai buruk pemakai rok mini, begitu pula sebaliknya. Tak enaklah kelompok yang dituding liberalis menuding balik dengan sebutan wahabis. Kalau kau murka dianggap aksi 212 berbayar, kenapa kau tuduh 412 begitu juga? Jika anggapan ibu pekerja tak peduli anak membuatmu kesal, lantas mengapa kau tuding ibu yang hanya di rumah sebagai perempuan suka ngerumpi? Berlaku adilah sejak dalam pikiran. Tak ada hujjah yang tepat untuk membenarkan perilaku deskriminasi kita.

Sungguh tak patut kita menerka-nerka orang lain hanya dari atributnya saja. Robert Langdon di Lost Symbols bahkan menyadarkan mahasiswanya bahwa ritual kelompok freemason pada titik tertentu sama mengerikannya dengan upacara agama atau kepercayaan lainnya.

“Open your minds, my friends. We all fear what we do not understand.”

Terakhir diperbarui pada 4 Juni 2021 oleh

Tags: Cadarfeaturedgerejahujabteroris
Ndari Sudjianto

Ndari Sudjianto

Artikel Terkait

Menengok Bunda Maria, Yesus, Kaligrafi Allah dan Muhammad di Masjid Hagia Sophia MOJOK.CO
Histori

Menengok Bunda Maria, Yesus, Kaligrafi Allah dan Muhammad di Masjid Hagia Sophia  

4 Juni 2023
katolik dan kristen protestan mojok.co
Sosial

Katolik dan Kristen Protestan Serupa tapi Tak Sama, Ini Beberapa Perbedaannya

14 Februari 2023
jadwal misa natal di jogja mojok.co
Kilas

Jadwal Kebaktian dan Misa Natal di Jogja 2022

23 Desember 2022
Video

Sosok Pemimpin Berambut Putih Hingga Nasib Korban Binomo | Mojok Mentok

1 Desember 2022
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Gowes Ke-Bike-An Maybank Indonesia Mojok.co

Maybank Indonesia Perkuat Komitmen Keberlanjutan Lewat Program Gowes Ke-BIKE-an

29 November 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.