MOJOK.CO – Saya akan coba menjabarkan poin per poin kenapa “Tukang Ojek Pengkolan” harusnya sudah tamat dan diganti sinetron baru agar nggak jadi toxic.
Saya tahu seyakin-yakinnya kalau saya akan menjadi musuh bersama ketika nulis ini. Public Enemy. Musuhnya siapa? Ya penggemar sinetron Tukang Ojek Pengkolan yang jadwal tayangnya udah kayak jadwal orang salat asar karena saking istikomahnya itu.
Bagaimana tidak? Di Facebook saja, ada banyak grup yang mewadahi para pencinta Tukang Ojek Pengkolan. Rata-rata beranggotakan 3000 biji. Belum lagi official akun twitternya yang mempunyai follower hingga 4000 biji. Jumlah yang kalau dijadikan ormas udah lumayan cukuplah kalau mau dijadikan alat politik pilihan lurah.
Walaupun begitu, saya tetap akan meneruskan kegelisahan saya akan sinetron ini. Terutama untuk penggemar Tukang Ojek Pengkolan. Baik yang garis keras, garis tengah, maupun yang garis lucu. Soalnya ini demi kebaikan bersama. Demi perkembangan persinetronan Indonesia juga.
Begini. Saya akan mencoba menjabarkan poin per poin kenapa Tukang Ojek Pengkolan harusnya sudah tamat dan diganti sinetron baru. Bila tidak, sinetron yang dianggap keren itu bakal bikin dunia sinema Indonesia akan makin jalan di tempat.
Sama sekali ndak bakal mau maju-maju kita kalau gini caranya. Jangankan ngejar drama korea, ngejar sinetron zaman dulu macam Si Doel Anak Sekolahan atau sitkom Bajaj Bajuri aja bakal gelagepan.
Oke, langsung ke poin pertama ya. Yaitu soal jumlah episode Tukang Ojek Pengkolan yang udah kelewat banyak.
Kamu mau tahu angkanya? Sudah di atas 2.400 episode, Bung!
Sebagai pembanding, sinetron Tukang Bubur Naik Haji yang pemeran utamanya tiba-tiba jadi nggak ada tukang buburnya itu jumlah episodenya saja “cuma” 2185 episode. Sinetron Tersanjung yang dulu sering kita bully karena jumlah seasonnya yang sampai 7 dan wajah artis pemeran utamanya bisa berubah, jumlah episodenya “cuma” 365 episode.
Jadi, jumlah episode Tukang Ojek Pengkolan itu kalau dimasukkan dalam fase kehidupan seorang manusia. Jumlah 2.400 episode itu merupakan periode yang sudah cukup untuk mengubah nasib seorang tukang ojek pengkolan menjadi seorang entrepreneur di bidang otomotif. Plus naik haji dua kali dan operasi plastik tiga kali.
Drakor? Jangan tanya. Rata-rata jumlah episode per judul film antara 16-20 episode. Mungkin ada yang sampai lebih dari 30 episode, tapi memang alur cerita dan naskah awal memang seperti itu. Bukan cerita jadi tambah panjang karena ratingnya bagus.
Memang salah ya kalau episodenya banyak? Ya ndak sih, sama sekali ndak salah.
Cuma coba bayangkan begini:
Indomie goreng itu enak, kalau sesekali. Tapi kalau tiap hari kamu memakannya selama 5 tahun tanpa jeda sekalipun, besar kemungkinan akan ada banyak efek mengerikan yang muncul. Macam usus yang jadi nyemek, lambung penuh kuah dari air panas dispenser, ginjal yang penuh micin, sampai kandungan darah yang penuh minyak sayur.
Efek mengerikan yang sama bukan tak mungkin juga muncul kalau kamu lihat sinetron yang tayang setiap hari selama lebih dari 5 tahun. Saya berani berasumsi bahwa akan muncul efek samping yang nggak kalah mengerikan pula. Apalagi keberadaan profesi yang jadi jualan sinetron itu makin lama makin nggak kita temukan di dunia nyata.
Poin kedua adalah naskah dan alur cerita.
Pada awalnya naskah sinetron Indonesia biasanya lumayan bagus. Dan alur ceritanya mengalir serta terlihat nyata. Kejanggalan mulai muncul ketika rating sinetron tersebut tinggi.
Saat seharusnya sinetron tersebut harusnya selesai, maka dengan segala cara akan dimunculkan skenario dan alur cerita yang membingungkan penonton. Herannya, yang nonton ya biasa-biasa saja.
Kamu tentu masih ingat ketika Haji Sulam dalam cerita Tukang Bubur Naik Haji meninggal, entah kenapa sinetron tersebut bisa tetap jalan terus, padahal tokoh utamanya sudah nggak ada. Kita tentu jadi bingung, kok ya ada sinetron yang judulnya adalah bentuk ghibah karakter yang udah meninggal. Bukannya didoain, malah dijadiin judul doang.
Saya pernah membaca sebuah curhatan tentang ini dari seorang penulis naskah sinetron kejar tayang. Ia bilang sebenarnya Indonesia tidak pernah kekurangan penulis skenario film yang bagus. Tetapi saat dihadapkan dengan kenyataan di mana ia harus menulis setiap hari dengan deadline gila-gilaan, ruang kreatif itu tentu hilang dan berganti jadi ruang rutinitas.
Poin ketiga adalah perkembangan karier para pemainnya yang justru berbahaya untuk ke depannya.
Kalau seorang aktor dan aktris bermain hanya dalam satu cerita film dalam jangka waktu yang sangat lama, tentu tidak akan berkembang kualitas aktingnya. Ya bakal mentok di situ-situ saja.
Ambil contoh seorang aktor kayak Mas Furry, yang karena kelamaan main di Tukang Ojek Pengkolan nggak bakal bisa lepas dari karakter Mas Pur.
Coba sekarang bayangin kalau Tukang Ojek Pengkolan udah nggak laku lagi, terus karena Mas Furry masih banyak penggemarnya, blio ditawarin main film. Saya yakin pilihan yang ditawarkan produser ke Mas Furry pun nggak bakal jauh-jauh dari karakter Mas Pur.
Oleh karena itu, kalau kamu memperpanjang episode Tukang Ojek Pengkolan dengan selalu mantengin tayangannya tiap hari. Selain bikin dunia cerita di tipi kita mentok, itu juga mempersempit range karakter yang bisa dimainkan oleh aktor-aktor di sinetron ini karena udah kelewat nyaman dengan Tukang Ojek Pengkolan yang nanti pasti ada masa pensiunnya.
Dengan begitu, tawaran kehidupan setelah proyek ini kelar pun malah jadi mengkhawatirkan untuk mereka. Bagi saya, dengan tidak menonton, itu justru malah memaksa para aktor, sutradara, dan penulis naskahnya untuk berkembang sekaligus menawarkan hal baru lagi.
Sebab, hidupnya tukang ojek itu nggak melulu soal pengkolan. Ada juga perempatan, pertigaan, simpang lima, sampai bunderan yang bisa bikin para pemainnya balik lagi ke titik keberangkatan.
BACA JUGA Surat untuk Mas Pur, Tukang Ojek yang Tetap Bekerja di Tengah Pandemi Corona atau tulisan soal T.O.P. lainnya.