“Duit limaratus gambarnya apa?”
“Munyuk.”
“Kalau duit limapuluh ribu?”
“Mbahnya munyuk.”
Begitu kira-kira percakapan yang dibawakan Den Baguse Ngarso dengan temannya dalam sebuah adegan. Den Baguse Ngarso adalah pelawak yang dulu sering tampil di TVRI.
Setelah percakapan itu, acaranya tak ditayangkan lagi, dan Den Baguse Ngarso dipenjarakan. Entah tahun berapa persisnya kejadian itu. Yang jelas, uang kertas limaratus rupiah yang berlaku masih bergambar orangutan. Sedangkan uang limapuluh ribu bergambar Soeharto mesem. Bagi yang tak paham bahasa Jawa, munyuk berarti monyet.
Ndak jelas juga muatan apa yang dibawa Den Baguse Ngarso ketika mengucapkan ‘mbahnya munyuk’—apakah benar-benar cuma guyon atau ada alasan lain. Dari lawakan itu, Den Baguse Ngarso dikriminalisasi dengan Pasal Penghinaan Presiden (agar lebih singkat, berikutnya saya sebut Pasal Munyuk).
Nasib apes Den Baguse Ngarso itu terjadi sudah bertahun-tahun lalu, tapi bisa saja kembali terjadi di masa sekarang dengan Den Baguse Ngarso yang lain. Pasalnya, belakangan ada wacana untuk menghidupkan kembali Pasal Munyuk. Sebelum melanjutkan membaca, saya sampaikan sebuah disclaimer: saya bukan pendukung Jokowi atau Prabowo. Sejak lahir sampai sekarang, saya masih istiqomah untuk golput. Saya menulis ini semata-mata tak setuju dengan Pasal Munyuk.
Salah satu yang melontarkan perlunya Pasal Munyuk diberlakukan kembali adalah Jusuf Kalla (JK). Tidak baen-baen, Wakil Presiden sendiri! Selain JK, ada juga dari pendukung Jokowi yang menyebut dirinya Pro-Jokowi (PROJO).
Wacana Pasal Munyuk juga bukannya tanpa lawan, di kubu yang berseberangan, ada Bung Fahri. Kader PKS paling kharismatik yang dijuluki anak twitter sebagai ‘Bung Mantap’ ini memang sering offside, tapi cocotnya ada benarnya kali ini. “Serangan dan kritikan kepada pejabat itu biarkan saja, agar pejabat lebih baik dan bisa mengoreksi diri. Kalau tidak mau dikritik, jangan mau menjadi pejabat negara. Mundur saja,” ujar Bung Fahri yang bukan tokoh dalam film Ayat-Ayat Cinta ini, sebagaimana dikutip Bisnis.com.
Bandingkan dengan cocotnya JK yang dikutip CNN Indonesia berikut: “Presiden kan kepala negara. Di mana pun di dunia ini, Presiden itu dihormati orang. Kalau (orang) memaki-maki atau menghina Presiden, tentu fungsi pemerintahan juga terkena. Jadi wajar saja (pasal itu dihidupkan).” Atau simak cocot Ketua Umum PROJO, Budi Arie Setiadi, yang dikutip Gatra: “Kita tidak mungkin membiarkan lembaga presiden dilemahkan dengan caci-maki dan sumpah-serapah, sehingga menghambat efektivitas roda pemerintahan.”
Fungsi pemerintahan mana yang terhambat oleh caci-maki dan sumpah-serapah? Kalau baru caci-maki dan sumpah-serapah saja bisa membuat roda pemerintahan tidak efektif, bagaimana mau menghadapi Ancaman, Tantangan, Hambatan, dan Gangguan (ATHG)? Bagaimana dengan bahaya laten kuminis? Bagaimana bisa menghadang neokolonialisme-imperialisme-kapitalisme? Bagaimana kita yakin pemerintah akan membawa negeri ini ke arah yang benar? Bagaimana kita bisa menjadi Cahaya Asia? Bagaimana Macan Asia bisa mengaum kembali? Auuum!
Barangkali JK memang terlalu sibuk sampai ndak sempat baca koran, ndak tahu di Amrik sana, presiden dimaki itu lumrah—apapun partainya. Atau JK ndak tahu bahwa di Perancis, parlemen malah sudah mencabut Pasal Munyuk mereka sejak 2013 lalu. Jadi yang dimaksud JK dengan di-mana-pun-di-dunia-ini itu di mana? Majapahit? Baik cocot JK maupun Budi sama-sama gak mutu, sama-sama nir-elaborasi, sama-sama argumentum ad cocotem!
Jadi, lebih cerdas cocot siapa? Makanya, jangan terus-menerus menjelek-jelekkan PKS. Saya sendiri diam-diam kagum dengan partai ini, saya yakin di dalamnya banyak orang baik. Cuma sedikit oknum yang tukang fitnah, masalahnya yang sedikit itu justru lebih menonjol. Benalu-benalu politik itu seolah militan membela PKS, padahal keberadaan mereka justru menggembosi PKS dari dalam, sehingga masyarakat membentuk sterotipe bahwa semua kader PKS seperti mereka.
Sudah waktunya kader yang benar-benar mencintai PKS seperti Bung Mantap merapatkan barisan, cuma PKS Garis Lurus yang bisa mengembalikan martabat PKS dan mendepak benalu-benalu itu dari tubuh partai. Buktikan bahwa PKS bisa prohresip, revolusioner, toleran, ndak korupsi, ndak anti-pesantren, ndak anti-ilmu alat, ndak anti-tabayyun, ndak mata keranjang, ndak tukang HOAX, ndak suka selingkuh, setia pada agama, bangsa, negara, pancasila, dan istri tercinta. Kalaupun kalah, la tahzan, Akhi, insya Allah ada jalan: buat PKS Perjuangan. #SavePKS
Tapi ada yang jauh lebih urgen ketimbang #SavePKS: Pasal Munyuk yang tahu-tahu muncul lagi dalam draft revisi UU KUHP. Sebelumnya, Pasal Munyuk (Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP) sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Putusan MK bernomor 013-022/PUU-IV/2006 karena bertentangan dengan UUD 1945, palu diketok tanggal 4 Desember 2006. Kalau sudah putusan MK, harusnya ndak bisa diganggu gugat. Tapi kenyataannya sekarang muncul lagi di draft RUU. Jangan-jangan process business pembuatan UU kita memang ongol-ongol?
Dan ini bukan kali pertama. Tahun 2013, usaha menghidupkan Pasal Munyuk pernah dilakukan oleh pemerintahan SBY. Tapi itu kan Orde Katakan-Tidak-Pada(hal)-Korupsi, yang presidennya gampang mutungan. Sekarang sudah Orde Tukang-Mebel-Jadi-Presiden, lho! Kalau yang mau Pasal Munyuk itu SBY atau JK ya wajar, wong mereka satu guru satu ilmu. Fansnya Jokowi ndak perlu dengarkan mereka.
Ingat ya, Mas-Mas, Mbak-Mbak, salah satu nilai jual Jokowi yang membuat separuh lebih pemilih negeri ini sudi memercayakan suaranya adalah kerendahan hati. Dulu, Jokowi itu murah senyum, parasnya juga yang ndesani, lebih sering mengucapkan #AkuRapopo ketimbang #BukanUrusanSaya. Pada ndak mau Jokowi tak lagi seperti yang dulu, kan? Jokowi berubah jadi megalomaniak, antikritik, dan haram dihina? Jokowi tapi rasa SBY atau Soeharto?
Atau jangan-jangan ada pihak yang sengaja ingin menjatuhkan popularitas Jokowi di periode pertamanya? Semacam konspirasi Yahudi, misalnya? Yaa robb.