MOJOK.CO – Pengetahuan yang ‘menyederhanakan’ feminisme mbok ya jangan terus menerus direproduksi. Kalau kayak gitu, sih, makin banyak yang sebel sama orang yang menjadi feminis, dong.
Beberapa waktu yang lalu saya membaca artikel Mojok seputar feminisme yang ditulis oleh Fitriana Hadi. Di awal membaca, saya tidak sepakat dengan beberapa tesis yang beliau sampaikan. Namun karena di revolusi industri 4.0 ini over information menjadi penyakit yang berbahaya, saya memutuskan untuk mengabaikannya.
Ndilalah, saya mulai gelisah. Apalagi, ketika beberapa teman membagikan artikel tersebut dan mengungkapkan komentar yang bunyinya kira-kira begini, “Iya, orang-orang feminis mah suka halu. Bilangnya anti-patriarki, tapi menikmati fasilitas patriarki.”
Oh, meeeeen!
Fasilitas? Fasilitas apa? Fasilitas untuk saling menindas dan menjatuhkan? Kenyamanan apa, sih, yang perempuan peroleh dalam sistem patriarki? Kenyamanan menjadi second sex atau objek kesayangan gender dominan? Ewh.
Sudahlah, mari kita bahas saja tesis kemarin satu per satu dan mulai membuka mata. Ingat: tidak ada perempuan yang untung dalam patriarki. Ini persis seperti membahas persoalan buruh: mau berapa besar pun gajimu, yang paling kaya ya tetap bosmu. Mau berapa banyak pun kenikmatan dalam masyarakat patriarki, yang utama ya tetap laki laki!!!
1. Ditraktir Saat Kencan
Berelasi tidak sehierarkis itu, Sayangku. Tidak semua perempuan mau ditraktir saat kencan dengan alasan “menikmatinya”, melainkan semata karena perempuan tak ingin melukai ego para laki-laki. Jadi, semua ini bukan karena kami nggak punya duit dan cari gratisan; kami hanya tidak mungkin mengatakan, “Nggak usah bayarin aku, Mas! Aku bisa bayar sendiri,” di depan kasir. Bisa runtuh harga diri kekasihku!
Tidak, Sayang, kita berelasi untuk saling menguatkan, bukan menjatuhkan. Nanti, di lain waktu, kami ganti makanan tersebut dengan sesekali masak untuk pasangan, sembari memberi kejutan di depan kosan. Romantis, kan? Iya dong.
Soal pemberian pemberian lain? It’s okay—kita saling bertukar hadiah, Sayang. Selama hadiahnya bukan dari pejabat dan bernilai miliaran, saya rasa sih oke-oke aja. Toh, kalau miliaran, bisa-bisa nanti dikira gratifikasi. Bukannya lanjut romantis, malah ketangkap KPK, atuh….
Tesis laki-laki dan perempuan berbagi peran di luar rumah dan di ranah domestik itu tidak hadir melalui patriarki. Ia telah hadir sejak dulu kala, bahkan ketika era matriarki muncul, di mana sistem keluarga belum terbentuk. Patriarki hadir justru menghancurkan tatanan keseimbangan yang ada dan menciptakan sistem seolah-olah domestik hanya menjadi tugas perempuan, sedangkan non-domestik adalah milik laki-laki.
Lebih lanjut, patriarki membuat kita menganggap bahwa domestik adalah ruang tanpa nilai dan kekuatan. Padahal, domestik adalah kekuatan perempuan! Kekuatan! Ia memiliki nilai yang sama berharganya dengan tugas-tugas maskulinitas lain!
Jadi please, deh: it’s okay kamu dibayarin, it’s okay kamu bayarin, it’s okay kamu di domestik, it’s okay juga kalau tidak. Hal ini tetap tidak merusak ataupun melukai ideologi feminismu, Sayangku~
2. Dibantuin Pas Angkat yang Berat-Berat
Patriarki memang membentuk pemahaman bahwa perempuan rapuh dan laki-laki kuat. Tapi, ideologimu sebagai seorang feminis tidak akan luntur meskipun kamu dibantu orang lain angkat barang. Apalagi, kalau suamimulah orang yang membantu menggendong anakmu! Hal itu kan malah unch unch gemash, gitu!
Toxic masculinity dimulai ketika laki-laki insecure dengan maskulinitasnya. Bisa saja, ia takut maskulinitasnya luntur karena beberapa hal. Ha wong mbak-mbak pramugari saja bantuin bapak-bapak angkat koper di kabin!
Lagian, kita jarang, kan, nemu bapak-bapak ngamuk karena dibantuin pramugari? Jadi, nggak ada relasinya angkat barang dengan cita-cita feminisme, Kak….
3. Ingin Selalu Dingertiin
Oh, saya setuju banget bahwa dialog dan komunikasi itu penting, Kak. Kalau seandainya dialog dan komunikasi antargender kita benar, mungkin patriarki tak akan pernah hadir dalam nilai masyarakat kita. Seandainya saja perempuan tidak diminta bungkam dan berdiam diri di dalam dapur, mungkin perempuan akan lebih mudah dipahami.
Sayangnya, sejarah kita terlalu lama membungkam perempuan sehingga nilai-nilai masyarakat menjadi asing dengan pikiran dan isi kepala perempuan. Dalam patriarki hanya pengetahuan versi laki-laki yang dominan dalam percakapan sosial. Sehingga hari ini sering kita temukan komunikasi antar gender berjalan secara asimetris.
Bisa saja mereka yang mengeluh pasangannya sulit di mengerti memang belum mampu menangkap pola komunikasi pasangannya. Namun, nanti waktu pasti akan membantu. Masak, ya, sudah lima tahun bersama masih belum paham kapan pasangannya ngamuk, kapan pasangannya ngambek??? Tidak hanya perempuan, laki-laki pun akan gedek kalau pasangannya susah memahami mereka~
Bisa jadi, bukan pasanganmu yang tidak mengatakan apa maunya, tapi kamu yang tidak memahami apa yang pasanganmu ingin sampaikan. Nah, feminisme berusaha mendialogkan kedua bahasa itu, mylov~
4. Body Shaming Sama Diri Sendiri
Namanya juga prinsip my body my authority, jadi suka-suka kawan kaulah dia mau upload foto dirinya dengan caption “gemuk”, “kurus”, “cebong”, atau “kampret”. SUKA-SUKA DIA, MYLOV, SUKA-SUKA DIA. Ya itu kan tubuh dia, bukan tubuh kau~
Terus, kalau dia menyebut dirinya gemuk biar dibilang, “Nggak kok, Beb, kamu kurus,” memangnya kenapa??? Memang situ bisa baca pikiran orang??? Hadeeeh.
Kurang-kurangilah prasangka itu, nanti tak nyenyak tidur kau. Sudahi saja pikiran-pikiran yang menyandarkan gemuk-kurus pada standar industri. Toh, semua orang punya ukurannya masing-masing.
Namun, jika dalam aktivitas media sosialnya dia menunjukkan tanda-tanda insecure dan depresi dengan bentuk tubuhnya, menjadi tanggung jawab kita semualah untuk merangkulnya dan memberikan support bahwa ia sudah cantik dan sempurna sebagai dirinya. Jika ingin menjadi feminis, jadilah feminis solutif, bukan feminis nyinyir, mylov.
5. Mendapat Kursi di Transportasi Umum
Public policy mengenai gerbong perempuan dan kursi khusus perempuan tidaklah lahir dari masyarakat patriarki. Ia justru lahir dari kebijakan yang mengedepankankan gender. Memang belum sempurna dan sesekali tidak memenuhi social policy yang di harapkan, tapi ia justru melindungi perempuan dari patriarki.
Jadi, yaaaa, begitulah semacam antitesis yang ingin saya sampaikan. Pendapat ini tidak hadir sendiri, melainkan melalui diskusi bersama dengan teman-teman lainnya, baik laki-laki maupun perempuan.
Oh iya, satu lagi, nih, Kak: feminis itu tidak selalu perempuan. Banyak juga, kok, laki-laki yang menjadi feminis! Terus, pengetahuan yang ‘menyederhanakan’ feminisme mbok ya jangan terus menerus direproduksi. Kalau kayak gitu, sih, makin banyak yang sebel sama feminisme dan orang-orang yang menjadi feminis, dong. Ayolah sama-sama kita buat agar stigma-stigma terhadap feminisme yang kurang tepat tidak mendarah daging.
Salam perlawanan!