MOJOK.CO – Anak cewek ikut main tanah atau lumpur kayak anak cowok kerap dilarang para orang tua. Memang kalau anak cewek main begituan kenapa sih?
Pernah nemuin nggak, ada anak cowok, yang diketawain, hanya karena anak tersebut suka mainan dengan boneka? Atau mungkin nemu anak cewek, yang diomelin emaknya, hanya karena ia lebih memilih main mobil-mobilan, ketimbang boneka Barbie?
Dulu, jaman saya masih kecil, saya suka diomelin sama almarhum Simbah, karena saya lebih suka menghabiskan waktu bermain di sungai, memancing, atau main layangan. Simbah suka ngomel, alesannya ya nggak jauh-jauh sih. Anak cewek kok senengnya mancing, main layangan pula di sawah, sampai kulit berwarna ijo, saking kelingnya.
Biasanya, Simbah kemudian memberikan banyak wejangan bahwa anak cewek itu, seharusnya main boneka, atau belajar masak dan menjahit, rajin minum jamu, rajin luluran, merawat badan, agar kulit cerah, halus mulus kayak pakai minyak bulus. Alasannya simpel, agar esok, kelak, banyak lelaki tertarik, melihat kecantikan yang rupawan, juga punya keterampilan sebagai perempuan yang bisa diandalkan.
Nggak tahu kenapa, wejangan tersebut, kurang mengena di kepala saya. Ya bukan apa-apa, hawong nggak usah pakai acara bercantik ria, luluran, dan segalanya, toh pada waktu itu, para bocah laki-laki, sudah tertarik kok sama saya, hampir tiap hari mereka sibuk mengajak pergi, untuk diajak main layangan tentunya.
Tapi serius, sejak dulu sampai sekarang, saat kita bicara tentang pola didik orang tua terhadap anak-anaknya, semua hal harus dikaitkan dengan gender. Mainset bahwa anak cewek harus kalem, manis, cantik, teratur, tahu seluk beluk rumah dan dapur, seolah menjadi catatan khususn. Jadi sebuah kewajiban tak tertulis yang bersifat hukum mutlak di masyarakat.
Banyak anak cewek yang dianggap aib oleh keluarga mereka, hanya karena mereka bermain atau bertingkah layaknya anak-anak laki-laki. Bagi banyak orang tua, memiliki anak cewek yang bertingkah layaknya anak cowok akan mengurangi “nilai jual” si anak.
Mulai dari dibilang tak pantas, tak wajar, tak normal, sampai ancaman bahwa kelak akan susah mendapat jodoh, karena para lelaki maunya ya punya istri yang bertingkah lemah lembut, penurut, tahu dan mengerti benar seluk beluk urusan domestik rumah tangga.
Hal ini jugalah yang menyebabkan banyak orang tua mengenalkan anak cewek mereka, ke mainan khusus perempuan. Dari main boneka, bermain masak-masakan, main-main berdandan, agar mereka belajar bagaimana menjadi seorang perempuan yang kelak hidupnya bakal berkutat di seputaran urusan seperti itu. Tak jauh-jauh dari urusan dapur, sumur dan kasur.
Di sisi lain hal semacam ini juga sering terjadi di kalangan anak lelaki. Para bocah ini, dikenalkan pada mainan berjenis kelamin yang laki-laki. Main bola kaki, tembak-tembakan, perang-perangan, mobil-mobilan, pun tak kurang dengan segambreng permainan ala-ala superhero, yang semuanya macho.
Dikasih gambaran paripurna otot kawat tulang besi, trisep bisep sempurna. Mereka, para anak lelaki ini, dibentuk lewat permainan, dengan dalih supaya kelak tak menjadi lelaki yang lembek, kemayu, serta keperempuan-perempuanan.
Selain itu para bocah perempuan punya kewajiban khusus. Seperti menjaga kebersihan dengan segala permainan yang ia mainkan. Sebaliknya para bocah lelaki, bebas merdeka dengan segala kedekilan, bau matahari dan lumpur yang terkadang menempel sekenanya, di baju maupun celana.
Apa nggak ngeselin coba? Kok kesannya, semua, segala hal yang kuat, yang ceroboh, berantakan, hanya boleh dimiliki para anak lelaki, sementara anak perempuan, tak ubahnya boneka dalam kotak kaca, harus senantiasa tampil bersih sempurna.
Larangan bagi para anak cewek, untuk ikut bergabung dengan para anak cowok, bermain tanah atau lumpur, kerap diberikan oleh para orang tua, justru sebenarnya sih mengesankan bahwa anak-anak cewek jadi tak sengaja dididik untuk rapuh.
Lah gimana, kena lumpur dikit aja nggak boleh, takut lecet. Lagipula, apa salahnya sih kalau lecet sedikit? Ya itung-itung belajar lah, lecet dikit di kulit mah nggak ada artinya, ketimbang sakit kena php, eh.
Tapi ya gitu, tetap saja, segala hal yang berbau laki-laki yang punya kesan macho bin maskulin, seringkali ya dijauhkan dari jangkauan para anak cewek. Sama halnya segala permainan yang berbau perempuan dan feminin, dilarang keras untuk disentuh oleh para anak lelaki.
Nggak jarang, kalau aturan tak resmi tersebut dilanggar, bocah yang nekat melanggar, tak hanya mendapat wejangan semacam kuliah subuh dari para orang tua, sampai perundungan dari teman-teman seumurannya.
Belum lagi, masih banyak yang menganggap, bahwa karena salah-didik-alias-salah-main pulalah, si anak kelak besarnya berpeluang jadi seorang gay atau lesbian. Mau dipungkiri kenyataan ini juga susah, sebab anggapan semacam itu—masih banyak—lekat di budaya masyarakat kita.
Padahal yhaaaa… itu kan nggak ada hubungannya juga, antara LGBT sama permainan mereka jaman bocah, iye khan?
Lagian, seharusnya, permainan, apapun bentuknya, ya tak mengenal gender. Apalagi di jaman sekarang. Jika permainan anak-anak, diberi label gender, dengan alasan bahwa agar kelak si anak tak terjerumus di pekerjaan yang ”salah”, tak sesuai dengan jenis kelaminnya.
Hawong sekarang ini loh, perempuan dan laki-laki, seringkali mendapat kedudukan yang sama dalam pekerjaan. Hampir tak ada lagi yang namanya; ini pekerjaan untuk laki-laki dan ini pekerjaan untuk perempuan.
Contoh kecil, memang apa salahnya, jika anak cewek pun memainkan permainan laki-laki, seperti mobil-mobilan misalnya? Jika alasannya, ini bukan permainan perempuan, lalu takut, si anak di kemudian hari jatuh cinta dengan dunia otomotif, ya apa salahnya?
Toh sekarang ini, di dunia otomotif, banyak pula nama perempuan handal, yang memegang kendali. Tak hanya di belakang kemudi, seperti Alexandra Asmasoebrata, tapi juga ada nama Michelle Christensen, seorang perempuan, yang tak hanya mengenal mobil, melainkan juga sebagai leader dari salah satu tim desain mobil terbaru dari Honda.
Atau, coba-coba deh, main-main ke Sillicon Valey. Yakin nggak nemu nama perempuan di deretan dominasi nama lelaki? Ada kan, nggak cuma satu pula, iye kan?
Pun para perempuan penguasa Silicon Valey, cakep-cakep loh, nggak kalah cakep dari para model majalah pesyen. Jika selama ini, perempuan pintar dan cerdas itu digambarkan sebagai cewek gagap dengan pergaulan, berkacamata, berpenampilan butek, nope, lupain deh. Coba deh, gugling nama Mbak (ceile, mbak hihi) Aerin Lim atau Mbak Arushi Grover.
Ya kalau di sini, ada tulisan yang bercerita tentang mereka berdua, pasti judulnya bakal seseksis ini; ”Cewek Cantik Banget, Nggak Nyangka Pekerjaannya Sesulit Ini, Fakta Nomor 5 Bikin Kamu Melongo.”
Lalu, sama halnya dengan anak laki-laki, apa salahnya pula, jika mereka asyik bermain masak-masakan, serta mengenal segala apa bumbu dapur dan bermacam-macam masakan?
Sekarang aja, siapa sih yang nggak kenal nama Junior Juna Rorimpandey, alias Chef Juna. Yakin deh, banyak perempuan yang nge-fans sama laki-laki satu itu. Nggak cuma jadi idola gadis remaja, tapi para emak juga memujanya.
Chef satu itu, dikenal bukan karena kegantengannya saja, tapi juga terkenal pinter mengolah makanan dengan bahan yang kadang seadanya, pelit senyum dan kritikan pedasnya yang cokotable.
Belum lagi kenyataannya, di berbagai restoran ternama, nama chef laki-laki, lebih banyak ketimbang chef perempuan. Apa iya, masih mau bilang bahwa permainan masak-masakan itu hanya milik para anak cewek?
Dan itu baru satu contoh kecil loh, masih ada banyak contoh lainnya. Kalau disebutin satu-satu, ya bakal panjang dan lama deh, kayak lagi nungguin jodoh datang, eh.
Yang jelas, yang namanya permainan bocah-bocah, memang udah nggak jamannya lah, pakai acara gender segala. Ini buat cowok, ini buat cewek, udah nggak relevan lagi. Sebagai orang tua, ya sebaiknya kita memberi kebebasan buat anak untuk mengeksplore segalanya, toh kita ada juga kan, untuk mendampingi mereka.
Loh katanya sayang, iye kan?