MOJOK.CO – Sejak beberapa tahun ini kata “klitih” berubah makna jadi aktivitas mengerikan yang memakan korban jiwa. Dan berikut, pengakuan dari mantan pelakunya.
Dalam sepekan terakhir, Yogyakarta dirundung tiga masalah penjambretan dan pembacokan. Pertama, kejadian di daerah sekitar Jalan Monjali pada pukul lima pagi. Korban adalah seorang perempuan (mengendarai motor) dijambret tasnya oleh dua orang pemuda (yang juga mengendarai motor). Beruntung, perempuan itu berani mengejar, menabrak motor pelaku, dan akhirnya pelaku tertangkap.
Kedua, pembacokan yang dilakukan sekelompok orang di Jalan Kapten Pierre Tendean. Korban selamat namun mendapatkan puluhan jahitan. Ketiga, pembacokan terjadi di dekat Mirota Kampus UGM. Korban tewas yang diketahui merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya UGM atas nama Dwi Ramadhani Herlangga. Kejadian tersebut terjadi sekitar saat jam sahur.
Kejadian terakhir menjadi pembicaraan paling santer. Sebab sebelum kejadian, korban baru saja membagikan sahur gratis kepada orang-orang sekitar. Sayang, di saat dia bikin aksi mulia, pada saat itulah dia harus meregang nyawa pula.
Peristiwa ini jelas bikin semua orang jadi khawatir. Di lini masa beredar tagar Yogya sedang tidak aman (lagi). Wajar, kejadian-kejadian seperti itu pernah terulang beberapa tahun yang lalu. Kejadian yang biasa disebut oleh orang Yogya dengan istilah: “klitih”.
Pada prinsipnya, klitih saat ini dimaknai sebagai aksi kekerasan remaja untuk menganiaya orang lain di jalanan. Bisa dengan celurit, pedang katana, atau senjata tajam mematikan lainnya. Banyak kasus korban sampai meninggal dunia. Parahnya, tidak seperti dulu yang hanya menyasar target-target tertentu, saat ini target korban klitih jadi asal, jadi random. Kalau sedang sial, siapapun bisa jadi korban, termasuk Anda.
Jujur saja, saya dulu adalah pelaku sekaligus korban klitih. Bukan sebuah kenyataan yang bisa dibanggakan tentu saja—saya tahu. Pada era 2005-2011, saat itu klitih sangat marak di wilayah Yogyakarta. Baik pelaku maupun korban adalah remaja SMA yang saat itu sebagian merupakan teman-teman saya.
Biasanya kami melakukan kegiatan klitih saat jam pulang sekolah, sekitar jam dua siang. Boleh dibilang itu jam reguler dengan level “waspada” dari hari Senin-Jumat. Pada periode itu, mau ke mana saja, kami juga harus berhati-hati jika mengenakan seragam sekolah, tidak bisa sembarangan lewat di jalanan begitu saja. Mengenakan jaket adalah salah satu cara untuk menyembunyikan identitas seragam.
Lho, memangnya ada apa kok sampai menyembunyikan identitas seragam sekolah di jalanan begitu? Sebab, pada saat itu, di Kota yang Berhati Nyaman ini ada permusuhan yang diawetkan antara satu sekolah dengan sekolah lain. Kebencian yang turun-menurun dari senior ke junior, dari generasi angkatan lawas ke generasi angkatan baru. Sehingga, setiap sekolah punya lawannya masing-masing. Sudah mirip seperti suporter klub bola yang punya permusuhan dengan kelompok suporter lain.
Bagaimana suporter Persija Jakarta adalah musuh dari suporter Persib Bandung, misalnya. Hal itu terjadi juga di tempat saya sekolah. Hanya kami tidak pernah pakai kaos dukungan bola, kaos kami, identitas kami ya seragam sekolah kami sendiri. Kami tidak bisa memilih berada di pihak mana. Sebab pihak kami sudah ditentukan saat kami memutuskan untuk masuk ke sekolah mana.
Itu juga yang jadi sebab jika level “waspada” tadi akan dinaikkan jadi tingkat “awas” kalau memasuki hari Sabtu. Lho, lho, memangnya ada apa pada hari Sabtu?
Sabtu adalah hari di mana sekolah menggunakan atribut dengan warna khusus. Ada sekolah yang seragamnya berwarna coklat, sekolah seragamnya biru, sekolah seragamnya hijau, hingga sekolah yang seragamnya merah muda. Dengan begitu, tanpa membaca emblem atau meminta anak sekolah membuka jaketnya, orang sudah bisa mengidentifikasi seseorang sekolah di mana, hanya dari celananya!
Memangnya apa sih kegiatan klitih atau nglitih itu? Intinya sih ya cuma jalan-jalan. Keliling jalanan hampir seluruh wilayah se-Yogya. Itu biasa saja kami lakukan dalam rombongan cukup banyak, sekitar 10 motor berboncengan. Semakin banyak semakin bagus, karena kalau lebih sedikit dari itu bisa sedikit beresiko. Resiko apa memangnya? Nanti juga kamu tahu dari cerita saya.
Nama “klitih” sendiri mulanya bukan berarti sesuatu yang menyeramkan. Klitih sebenarnya kata yang merujuk pada Pasar Klitikan Yogya, sebuah pasar menjual barang bekas atau biasa disebut juga sebagai pasar maling. Klitih pada mulanya bermakna kurang lebih berangkat jalan-jalan santai ke Pasar Klitikan untuk beli barang-barang bekas di sana. Aktivitas “nglitih” berarti ya berangkat jalan-jalan ke Pasar Klitikan, enggak lebih.
Hanya saja, seiring berjalannya waktu, makna “klitih” kemudian beralih rupa jadi ajakan jalan-jalan bareng teman-teman dan tidak harus menuju ke Pasar Klitikan. Lalu berkembang lagi jadi “jalan-jalan” seperti yang biasa saya lakukan bersama teman-teman saya.
Lalu apa saja yang kami lakukan selama konvoi putar-putar se-Yogya itu? Selain berlagak karena masih remaja, kalau melihat ada anak SMA “musuh bebuyutan” kebetulan lewat, kami identifikasi terlebih dahulu. Kami tanya baik-baik dari mana. Kadang, terlebih dahulu kami mengucapkan salam (kalau enggak selamat siang ya selamat sore).
Jika jarak sudah cukup dekat, begitu tahu emblem di lengan kanan adalah SMA musuh bebuyutan, baru kami ramai-ramai memukulnya. Serius. Bukan perilaku yang patut untuk ditiru tentu saja, tapi, sejauh ingatan saya, saat itu tidak ada satu pun aksi klitih di Yogya menggunakan senjata tajam. Sebab, kami tahu itu membahayakan nyawa orang lain. Lagian, meski masih bocah, kami juga takut jika digiring menuju hotel prodeo.
Tapi akan lain jika hari itu adalah hari Sabtu, kami tak perlu repot-repot bertanya. Kan sudah kelihatan celana berwarna apa. Semisal masih satu kubu SMA, ya cukup say hello saja. Semisal kok lawan, ya langsung dilabrak. Tawur sudah.
Apakah sekolah tahu? Menurut saya sih tahu juga, hanya saja mereka juga tidak bisa melakukan apa-apa. Lha gimana? Kelakuan kami kan di luar jam sekolah. Jadi, wajar jika sekolah tidak bisa juga dipersalahkan begitu saja.
Mungkin banyak yang bertanya kenapa kami melakukan aktivitas merusak saat itu. Ya, sederhana sih. Kami hanya ingin terlihat keren membela SMA kami. Ingin melakukannya sebagai bukti solidaritas terhadap kawan kami yang pernah jadi korban, lalu kami merasa punya kewajiban melakukan aksi balasan. Intinya, benar-benar cuma ingin jadi beken saja di sekolah kami sendiri.
Kalau dibilang penyebabnya karena kami kurang dalam belajar agama. Oh, tunggu dulu. Kami (boleh dikatakan) cukup rajin beribadah. Ikut pengajian juga di sekolah juga—kadang-kadang. Bahkan, tak jarang, sebelum beraksi kami berdoa agar sukses di “medan perang”. Opo ora wangun, lur?
Sayangnya, lama ke lamaan, kian hari klitih malah makin brutal sampai membawa barang-barang senjata tajam. Korban pun tidak hanya luka-luka, tapi sampai merenggang nyawa. Jika dulu niat awalnya adalah untuk keren-kerenan di kalangan sendiri, saat ini klitih sudah bergeser menjadi benar-benar berniat menghabisi nyawa orang lain.
Untuk itulah, seingat saya, dinas terkait pernah menerapkan peraturan yang mengubah emblem seragam SMA. Jadi, tak ada lagi nama SMA di lengan kanan. Semua sekolah diganti dengan cap “Pelajar Kota Yogyakarta”.
Hasilnya pun cukup efektif pada saat itu. Klitih saat itu makin jarang. Bahkan hampir punah. Kami pikir demikian karena hampir tidak pernah ada informasi ada klitih di jam-jam sepulang sekolah. Hanya saja, peraturan ini ternyata tak berarti karena klitih tak dilakukan siang hari atau sore hari lagi. Melainkan malam hari hingga menjelang subuh.
Bahkan, makin banyak penjahat-penjahat betulan yang melakukan aksi pembacokan lalu menyembunyikan kejahatannya dengan menyebut aksinya sebagai klitih. Mereka, pelaku-pelaku yang masih remaja, tapi sudah begitu pengecut karena beraninya menyerang orang yang tak melawan, lalu pakai senjata pula. Hal-hal yang sebenarnya sangat jauh dari aksi “klitih” yang saya tahu.
Tentu saja orang-orang seperti itu adalah orang-orang yang perlu dikasih pelajaran. Jika mereka ada di angkatan teman-teman saya dulu, polisi mungkin tidak perlu turun tangan. Orang-orang ini sudah barang tentu akan dihabisi sendiri oleh teman-temannya, baru kemudian digelandang ke kantor polisi.
Begitu keluar dari penjara pun masih akan dijauhi seumur hidup oleh teman-temannya, karena sudah jadi pecundang terbesar yang pernah lahir ke dunia.
Ben kuapok sisan~