MOJOK.CO – Cerita ini terjadi sebelas tahun yang lalu. Membekas dan ada satu pertanyaan yang tak terjawab. Ke mana teman saya pergi bersama kuntilanak itu?
Sore itu kami mendapat undangan bermain di salah satu turnamen futsal di sebuah kota. Rasanya senang sekaligus deg-degan. Maklum, itu untuk pertama kalinya kami berlaga di sebuah turnamen, membawa nama kampus, dan berpeluang meraih piala.
Turnamen yang pada awalnya ditunggu-tunggu dan berakhir dengan sebuah drama. Drama bersama Mbak Kuntilanak yang bikin kami khawatir setengah mati.
Hari itu tiba. Kami pergi lokasi turnamen menggunakan sebuah bus. Di sana kami sudah ditunggu panitia. Mereka yang kemudian mengantarkan kami ke sebuah asrama tempat kami menginap selama tiga hari. Dan di sanalah kami bergelut dengan misteri yang membuat separuh nyawa kami hampir sirna.
Asrama yang kami tinggali apik juga. Ada puluhan kamar, berlantai tiga. Di sebelah kanan dan kiri ada dua gedung fakultas. Di seberangnya terdapat kolam ikan yang sangat besar dan di sekelilingnya adalah sawah. Asri pada pagi hari, namun mistis Ketika malam hari.
Kami ditempatkan di lantai tiga. Setiap kamar berisi dua ranjang, atas dan bawah. Terdapat jendela, yang jika dibuka, pandangan langsung mengarah ke sawah dan sebatang pohon pisang. Semilir pada siang hari, namun bikin khawatir pada dini hari.
Saya memilih ranjang bawah. Mencoba tidur. Mencium bau wangi di permukaan bantal dan seprai. Batin saya, servis yang menyenangkan sekali. Seperti di hotel. Hotelnya kuntilanak.
Saat jam makan siang, saya bertanya kepada panitia. “Sebelum kami datang, siapa yang terakhir memakai lorong lantai tiga?”
“Gak ada, Mas. Lorong ini gak pernah dipakai. Masnya pengguna pertama.”
Batin saya, oh, berarti bantal dan seprainya baru, dan sejak pembelian dibiarkan begitu saja. Mungkin.
Kemudian turnamen berlangsung. Digelar selama tiga hari. Sayang beribu sayang. Tim kami kurang beruntung. Jangankan lolos ke final, melewati penyisihan grup saja nggak bisa. Ambyar pokoknya.
Kami langsung bergegas menuju kamar masing-masing. Tertunduk lesu dan meratapi ketidakberuntungan. Tak lama, lorong hening, suasana senyap, dan kami tertidur.
Pukul 02.30.
“Mod, di atas kayak ada suara-suara aneh, yo?”
Saya mendengar sayup-sayup suaranya. Tapi gak begitu jelas.
“Mod, ini suara kucing? Kok kayak menggeret-geret sesuatu? Eh, tunggu dulu. Tapi kok kayak ada suara parau gitu ya?”
Sekali lagi, karena tidak jelas, saya mengabaikannya.
Keesokannya, kami menonton final. Tuan rumah menang. Mereka berpesta, tapi kami lebih berpesta.
Sepanjang lorong, kami menikmati makanan dan minuman. Ada yang beralkohol, ada yang tidak. Tentu saja untuk merayakan hari terakhir di kota ini. Tiba-tiba seorang teman sebut saja M, datang ke kamar saya.
“Mod, tahu gak, dari kemarin ada yang mengintai aku melulu?!”
Saya menjawab sekenanya. “Ya, wajar. Lha situ ganteng, kok. Anak mana?”
“Nih di sebelahku. Ayu, kan?”
Deg. Saya menoleh ke teman yang berada di dekat jendela. Saling bertatapan. Jantung saya berdesir. Mau bertanya, belum sampai terucap, M ngomong lagi.
“Kayaknya aku pacaran sama dia aja, deh,” kata teman saya yang kayaknya nggak sadar kalau itu kuntilanak dan mau “menculiknya”.
Dahi saya mengernyit. Batin saya, mungkin efek mabuk atau menghirup mushroom yang berlebih. Tak lama, M keluar dari kamar. Saya mengikutinya.
“Aku tak ke bawah dulu, yo. Nanti balik sebelum jam 12!” Dia pergi sambil melambaikan tangan.
Pukul 23.00.
M belum balik. Oleh karena ada satu botol yang belum dihabiskan, saya dan seorang teman turun dan bertanya kepada penjaga asrama.
“Maaf, Pak, tadi ada teman saya yang keluar, ndak? Anaknya berambut coklat, putih, tinggi 170an.”
“Maaf, Mas. Dari tadi sepi. Gak ada yang lewat. Mungkin sudah di kamar masing-masing, ya. Ini mau saya gembok dulu pintunya.”
Waduh, ni anak ke mana, ya. Kami putar balik dan mencoba mencari di asrama belakang. Oh, iya, asrama ini terhubung dengan jembatan mirip Petronas, Malaysia. Kok, ya, kebetulan asrama di belakang adalah tempat perempuan. Tambah gawat kalo nyasar ke sana.
Kami mencarinya hingga sudut-sudut asrama, dan itu membuat penghuni asrama agak sedikit kaget. Sayang, hasilnya nihil. Kami kembali ke lantai tiga. Di luar dugaan kami bertemu dengan seorang panitia. Karena bingung, kami menceritakan kegelisahan kami. Responsnya sungguh aneh bin unik.
“Hmm, ternyata jadi, ya.” Dia mengelus jambangnya berulang kali sembari menampakkan raut muka berpikir.
“Jadi, gimana, Mas?”
“Dua hari yang lalu, ada Mbak—dia sembari menyebutkan ciri fisiknya, antara lain berambut panjang, bibirnya sobek, mata kirinya menggantung dan ada sayatan di pelipis kirinya, dan itu membuat kami ngeri, minta tolong ke saya. Carikan anak yang JARANG MANDI DAN SUKA TIDUR LAMA. Apa teman mas memiliki ciri-ciri kayak gitu?”
Kami lemas. Terdiam. Ciri-cirinya memang demikian. Mandi tiga hari sekali. Sekalinya tidur, bisa hampir 20 jam. Memang kacau hidup si M. Lalu, saya menjawabnya pelan.
“Iya, Mas. Terus gimana, Mas?”
“Coba saya tanyakan ke orang pintar, ya, Mas. Takutnya dibawa ke alam lain.”
Waduh. Ini namanya pergi bersama teman, pulang membawa nisan. Saya bergegas mengabarkan berita ini kepada teman-teman. Kami berembug. Mencari akal dan berpikir kemungkinan terburuk kalau dibawa kuntilanak ke alam lain.
Beberapa dari kami mencoba menghubungi orang pintar. Begitu juga dengan saya. Dan jawaban yang saya dapatkan adalah:
“Tenang aja, Mas. Temen sampeyan cuman diselimutin kuntilanak. Nanti abis subuh juga balik.”
Tambah gak tenang. Iya, kalo balik. Kalo nggak, gimana? Karena tak sabar, sekali lagi kami mencari di seluruh tempat di asrama. Dari kamar mandi hingga gudang. Sayang, lagi-lagi hasilnya nihil.
Pukul 03.00.
Kami meminta izin kepada penjaga asrama untuk pergi. Dibolehkan dengan syarat ketika azan Subuh harus kembali. Kami mengiyakan. Mencari lagi dari sawah, kolam, hingga fakultas seberang. Dan lagi-lagi, hasilnya hampa.
Sesuai permintaan penjaga asrama, kami kembali. Menuju kamar masing-masing dan mencoba tidur.
Pukul 06.00.
Seorang teman masuk. Mengabarkan bahwa M telah pergi ke kota B yang kalau menempuh dengan mobil, bisa memakan waktu hingga 6 jam. Jadi, saya pikir nggak mungkin juga ke sana. Dan kalau memang ke sana, gak mungkin juga balik subuh.
Pukul 07.30.
Saya keluar kamar. Dari kamar sebelah, M keluar juga. Astagfirullah.
“Sori, Mod. Tadi abis subuh baru balik.”
Saya ingin memukulnya. Hanya sekadar membuktikan apakah itu adalah manusia atau bukan. Tapi, sebelum kepalan tangan mendarati di pipinya, dia melengos dan menuju ke kamar mandi. Saya memanggil teman-teman dan mengabarkan M telah kembali. Tentu saja semuanya kaget.
Lalu, kami bergegas untuk berkemas. Menitipkan salam kepada panitia karena tidak mengikuti acara penutupan. Kami takut M malah terkena bujuk rayu kuntilanak dan hilang lagi.
Kami pulang menggunakan kereta api. Sepanjang perjalanan, dari asrama ke stasiun, kemudian di kereta api, M tak mengeluarkan sepatah kata pun. Jika ditanya, hanya mengangguk dan menggelengkan kepala.
Anehnya, setelah melewati perbatasan, M mulai berbicara.
“Kemarin aku diajak pergi. Jalan-jalan gitu. Mau diajak ke tempatnya, tapi belum sampai ke sana, kok aku malah ditarik. Nggak tahu siapa yang narik.”
“Trus pas jalan-jalan, dia ngomong apa?” Saya penasaran dan bertanya.
“Katanya, aku adalah sosok yang selama ini dicarinya.”
“Memangnya dia cari sosok yang gimana?”
“Laki-laki yang jarang mandi dan durasi tidurnya panjang banget.”
“Oh.” Saya hanya menanggapinya pelan. Setelah mendengar cerita itu, kami jadi sering mandi dan tidur nggak lebih dari delapan jam. Namun tidak dengan M. Dia masih tetap begitu, dan tentu saja, menikmati petualangan dengan makhluk halus lainnya.
BACA JUGA Ketika Kuntilanak Menyamar Jadi Santri di Pondok Pesantren atau tulisan goib lainnya di rubrik MALAM JUMAT.