Sastrawan Eka Kurniawan sering disebut nama, tapi jarang nongol orangnya. Orang berisik membicarakan dirinya, ia sendiri justru jadi pengamat sambil main kucing di rumahnya di Ciputat, Tangerang. Interaksinya dengan orang di media sosial dilakukan lewat sebuah fanpage yang ia kelola sendiri. Kelihatannya dia punya Twitter dan Instagram tanpa kita tahu apa namanya karena ia rahasiakan. Nomornya yang bisa diakses tidak terkoneksi dengan WhatsApp. Kadang ia mengisi senggang dengan jualan kaos buatan sendiri di situs web jual beli.
Menghabiskan masa kuliah sekaligus menerbitkan buku pertama di Yogya, Eka justru jarang muncul di kota ini. Tipe yang tak gemar bernostalgiakah ia? Ketika 3 Maret lalu ia datang, itu gara-gara didaulat sebagai pembicara kuliah umum yang digelar Kafe Basabasi di bilangan Sorowajan, tak jauh dari kampus UIN Sunan Kalijaga.
Selepas dari Yogya, kata Eka ia akan ke Korea Selatan untuk menghadiri undangan lain. Sebelum dia menghilang kembali, Mojok menodongnya untuk sebuah video bincang-bincang bersama sastrawan Mahfud Ikhwan, Arlian Buana, dan Prima Sulistya. Tulisan ini memuat beberapa pembicaraan mereka yang tidak dimasukkan dalam video yang telah tayang.
***
Mahfud: Di samping saya ada Eka Kurniawan. Orang yang mungkin sekarang menjadi representasi penting dari sastra Indonesia dan mungkin sastra Asia dalam beberapa tahun ke depan.
Eka: Nggak dunia akhirat sekalian aja?
Mahfud: Hahaha. Di karya-karya, Mas Eka sepertinya memandang miring atau tidak suka dengan dangdut. Apakah itu salah, Mas? Katakan itu salah, Mas!
Eka: Bisa salah, bisa benar.
Kalau aku menulis misalkan novel, terus ngomongin soal sepak bola, sudah pasti aku akan mengejek-ngejek Persib Bandung. Karena aku saking sebelnya, kalah melulu dalam dua tahun terakhir. Tapi, bukan berarti tidak suka Persib Bandung. Itu satu-satunya tim yang kalah atau menang, aku tetap punya kaosnya.
Mahfud: Jadi kalau ada kaisar dangdut, berarti Eka Kurniawan sangat menyukai Rhoma Irama?
Eka: Apa pun yang dilakukan Rhoma Irama, mau nyalon presiden, mau ngomong apa pun, saya tetap menghormatinya.
Arlian: Apakah ketika menulis, Mas Eka sering mendengarkan dangdut?
Eka: Ya sering. Selingan, lah.
Mahfud: Itu jawaban yang sangat aku inginkan.
Eka: Ketika aku menulis Seperti Dendam… dengan sopir-sopir truk dari Pantura, aku sempat memikirkan untuk membayangkan mereka mendengarkan lagu-lagu dangdut. Tapi, pada saat yang sama, aku merasa terlalu mainstream, hampir semua sopir bus dan sopir truk di Pantura melakukannya. Aku mencoba menggantinya, bagaimana kalau khusus orang ini, ternyata yang didengarkan adalah Obbie Messakh dan Ebiet G. Ade? Aku kadang-kadang melipir dikit.
Mahfud: Sebagai junior jauh (di UGM), saya mengenal Anda sebagai seorang penulis novel yang siap besar. Meskipun kalau mengingat hari-hari itu, ada masa-masa yang relatif berat. Tapi, seberat-beratnya Eka Kurniawan, masih berat penulis lain ya.
Eka: Berat… biar Dilan saja. Jangan kamu yang melakukannya.
Mahfud: Saya sudah curiga akan dipotong di situ.
Aku mengingat polemik yang ditimbulkan Cantik Itu Luka. Bagaimana Eka melewati fase-fase awal ketika harus menerima kritik dari orang-orang macam Maman Mahayana yang mungkin bikin novel nggak bisa. Apa yang Mas Eka lakukan? Apa yang Mas Eka alami? Aku tahu teman-teman Mas Eka marah dan mengerahkan seluruh tenaga untuk menulis balik gitu.
Eka: Kurasa kita perlu mundur sedikit ke belakang. Bagaimana di zaman itu, aku dan teman-temanku hidup dan melihat sastra.
Saat itu kami mempunyai satu prinsip yang kadang-kadang konyol juga. Yah, namanya juga anak umur 20-an, walau asik juga melakukannya. Waktu itu kami pikir gini, di sastra Indonesia, di Indonesia, ada begitu banyak komunitas-komunitas, ada banyak kelompok-kelompok. Kalau kami tidak diterima di komunitas mana pun, ya kami bikin sendiri aja. Kita bikin novel atau karya, ada begitu banyak penerbit, tapi kalau tidak ada yang mau menerima karya kita, ya udah, kita terbitin sendiri. Kalau sudah terbit, harusnya kan buku diulas, dikritik. Kalau tidak ada yang mengkritik dengan baik, ya kami kritik sendiri saja.
Nah, ketika novel itu (Cantik Itu Luka) keluar dan ternyata kritik yang pertama datang tidak semenyenangkan yang kami bayangkan, ya yang pertama melakukannya, Muhidin, meng-counter itu. Saya rasa spirit tahun itu berlaku. Kalau orang lain tidak melakukan, kita sendiri yang lakukan.
Mahfud: Terpikir nggak waktu itu, Mas Eka menulis counter dengan nama lain?
Eka: Nggak kepikir juga sih. Emangnya gua Narudin?
Mahfud: Perlu 15 tahun setelah ada Narudin yang pertama sebelum ada Narudin yang sesungguhnya.
Eka: Ini karena Dea Anugrah gue kenal Narudin. Hahaha.
Mahfud: Sekarang apa kabar Maman Mahayana?
Eka: Baik sih, terakhir kali ketemu.
Sebenarnya saya cuek saja ketika dia menulis ulasan novel itu. Bagian yang paling menyebalkan bukan kritik dia terhadap novel itu, tapi ketika di pembuka artikel itu dia membayangkan, ni anak setelah menerbitkan Corat-Coret di Toilet, dia menghilang, kerja, jadi orang kantoran. Menyebalkan sekali. Gue dua tahun menulis novel terus dikira kerja kantoran. Mending kalau memang dapat gaji gede. Kenyataannya jauh dari itu. Tapi, ya aku berpikir artikel itu artikel pertama di media mainstream yang tidak menyenangkan. Itu privilige buatku karena setelah itu, orang mau ngomong apa tentang karyaku, aku rileks aja. Selow. Udah pernah ngalamin, dulu.
Mahfud: Menarik bahwa Maman menganggap Mas Eka setelah Corat-Coret di Toilet kemudian menjadi pekerja kantoran atau penulis yang lebih baik. Apakah karena itu juga, setelah Cantik Itu Luka, Mas Eka ke Jakarta dan beberapa tahun kemudian kira-kira menjadi pekerja kantoran?
Eka: Nggak ada urusannya sih dengan Maman S. Mahayana. Hahaha.
Aku pergi ke Jakarta juga sebenarnya nggak niat-niat banget. Hidup di Yogya zaman itu enak sekali. Biaya murah, bahkan bisa hidup tanpa harus ngekos.
Sebelum pergi ke Jakarta, di Yogya sekelompok teman berpikir bahwa kami bisa tinggal di sebuah tanah kosong yang disewa dengan murah di Jalan Kaliurang. Di situ dibangun sebuah rumah kecil yang di petak jadi empat kamar dari bilik bambu. Kami bertekad untuk hidup dengan bertani di situ. Saya pikir, Oh, ini kelompok anarko yang sangat menarik. Sebuah tawaran setelah rezim Soeharto tumbang.
Mahfud: Serius sekali generasi kalian.
Eka: Tapi, setelah 1-2 minggu terbukti bahwa saya tidak berbakat untuk menjadi anarkis dan makan dari kebun sendiri yang bahkan sayuran pun belum tentu tumbuh. Akhirnya, saya balik ke kos lama, ternyata sudah ada yang menempati. Akhirnya saya carilah sebuah kos baru. Sebenernya saya cuma simpen barang. Kebetulan waktu itu ada teman, anak B-21 (Balairung, lembaga pers mahasiswa di UGM tempat Eka berorganisasi) juga, yang mengajak ke Jakarta untuk ya ngeliput di sebuah majalah. Pergi ke sana dan ternyata keterusan. Nggak kerja sebenarnya, luntang-lantung saja.
Si ibu kos (yang di Yogya) ini nyari-nyari, nelepon, “Ini kos mau diterusin apa nggak?” Kalau saya lanjutin, tapi nggak pernah saya tinggalin, ngapain bayar-bayar duit? Tapi, masalahnya, kuncinya saya bawa juga. Dibongkar ajalah kamarnya, itu barang kirim ke adik saya.
Jadi ke Jakarta semacam kecelakaan. Aku pergi ke sana, keterusan luntang-lantung, akhirnya nggak balik-balik juga.
Mahfud: Dan dua tahun kemudian ada Lelaki Harimau?
Eka: Ya, selama dua tahun itu sambil nulis, lah. Ya karena nggak ada yang dikerjain.
Setelah itu Maman Mahayana menulis lagi tentang Lelaki Harimau. Dan entahlah, kali ini dia memuji-muji walaupun pujiannya sangat aneh. Dia menganggap Lelaki Harimau sebagai tulisan yang eksperimental. Saya sendiri tak tahu di mana eksperimentalnya. Tapi, ya okelah. Mungki tiba-tiba dia menyadari betapa berbakatnya saya, hahaha.
Arlian: Apa yang membuat Mas Eka betah di Jakarta akhirnya?
Eka: Mungkin aku memang ditakdirkan menjadi anak kota ya. Mungkin sial aja aku lahir di desa, tumbuh di kota kecil, gitu. Kalau sekarang aku harus balik ke kota tempat aku lahir, aku nggak yakin sanggup hidup. Pertama, aku nggak bisa ngurus sawah. Dulu aku pernah dikasih kakekku seekor kambing karena anak seumuranku waktu itu punya tanggung jawab seekor kambing. Pergi ke hutan untuk nyabit rumput untuk kasih makan kambing. Aku dicoba dikasih seekor kambing seperti teman-temanku yang lain. Satu hari kambing itu aku mandiin, terus aku jemur, aku iket. Mati dia, nggak tahu kenapa. Kepanasan atau apa. Sehabis itu tidak ada lagi yang percaya, aku juga tidak percaya, bisa mengurus kambing lagi. Jadi, mungkin aku akan bisa lebih bertahan hidup di kota deh daripada di desa.
Mahfud: Aku nggak tahu apakah pembaca Eka Kurniawan tahu bahwa nama Eka Kurniawan pernah dalam berapa tahun hilir mudik di credit title acara-acara tivi. Aku ingin Mas Eka cerita soal dunia televisi.
Eka: Luntang-lantung di Jakarta, setelah itu nerbitin Lelaki Harimau, aku semakin pesimis bisa hidup sebagai novelis.
Mahfud: Tetap tidak terkenal waktu itu, ya?
Eka: Tetap tidak terkenal. Tetap tidak menghasilkan sama sekali. Terkenal tidak, menghasilkan uang pun tidak. Tapi, entah kenapa aku masih saja luntang-lantung di Jakarta. Kadang-kadang ada saja hal-hal yang ajaib terjadi pada hidupku. Kadang-kadang aku berpikir, ada unsur-unsur spiritual. Tuhan mengirimkan seseorang kepada saya. Nah, orang ini bilang, ”Kamu mau nggak ngurusin sinetron? Ngurusin naskah-naskah sinetron?” Padahal nonton sinetron kagak pernah. Nulis skenario juga belum pernah. Tapi, dia nawarin dan gajinya gede sekali. Ya, gajinya tidak bisa ditolak.
Apa boleh buat, terserah deh. “Lu bener percaya kalau gue bisa?” “Iya.” Ya udah, aku datang wawancara. Aku bilang aku belum pernah nonton sinetron, aku tidak pernah bikin skenario, tapi aku bisa bikin cerpen. Nggak tahu kenapa aku diterima. Akhirnya kerja ngurusin sinetron.
Aku rasa lebih banyak belajar dari situ daripada memberi kontribusi yang baik. Selama kurang lebih setahun, bekerja di satu PH (production house). PH besar. Setiap hari hanya ngurusin naskah. Jangan dipikir seperti editor-editor keren yang ngurusin bagaimana plotnya berkembang, bagaimana dramatisnya, bagaimana gantung cerita. Sebagian besar urusannya nggak gitu. Urusannya, misalkan, syuting kan setiap hari, stripping gitu. Orang-orang naskah, editor naskah kayak aku, ditelepon, artis ini nggak bisa syuting hari ini, bisa nggak diganti, tapi ceritanya bisa tetep jalan? Nah, itu yang dipikirin.
Atau program TV kan hidup dengan parameter rating. Rating-nya turun, mereka lihat saingannya siapa. Saingannya di TV anu begini, kenapa mereka bisa lebih banyak penontonnya? Karena di sana ada hantu. Nah, gimana cerita kita ini tiba-tiba biar bisa ada hantunya? Mungkin ini terlihat absurd, tapi berhasil. Setelah dimasukin hantu, rating naik lagi. Emang penonton Indonesia juga bajingan sih, hahaha. Ngerjain kita semua.
Mahfud: Karena Mas Eka sudah membuat pengakuan, saya juga. Saya juga menulis skenario di satu episode “Di Sini Ada Setan”.
Eka: Oh ya? Aku jadi script editor di situ.
Mahfud: Berarti kita tidak jodoh, Mas. Karena setelah dua minggu, aku didepak. Karena mungkin hantunya terlalu lokal. Hahaha.
Eka: Harusnya kamu kasih tahu namamu, biar aku tahu.
Mahfud: Mahfud Ikhwan waktu itu siapa yang kenal? Dan karena nggak jadi nulis skrip sinetron, aku akhirnya balik ke Jogja dan jadi seperti inilah aku. Tampaknya sinetron memisahkan Mahfud Ikhwan dan Eka Kurniawan. Hahaha.
Arlian: Kerja di dunia film itu cukup memengaruhi Mas Eka juga ya untuk penulisan novel selanjutnya, ya? Seperti Dendam dan O?
Eka: Ya, aku rasa itu salah satu masa di mana aku belajar banyak dari TV, dari skenario. Tiba-tiba aku melihat cerita dari sudut pandang yang sangat visual. Yang sebelumnya aku lebih banyak dipengaruhi oleh pendongeng, zaman aku kecil, remaja. Kita tergila-gila dongeng yang dituturkan seperti sandiwara radio, yang bahkan aspek-aspek visual pun harus diomongkan, harus diterangkan. Tapi, ketika masuk ke TV dan film, kita bisa melihat cerita disampaikan secara visual dan itu suatu yang buatku menarik, tantangan juga: pertama, bagaimana bisa menyampaikan cerita secara visual. Kedua, di novel pertama dan kedua, aku sering bertanya-tanya pada diriku sendiri soal dialog. Aku merasa nulis dialog dalam bahasa Indonesia nyusahin sekali. Tentu saja kita ngomong dalam bahasa Indonesia, tapi bahasa Indonesia yang kita omongkan dengan bahasa Indonesia yang kita tulis itu kadang-kadang berbeda, ada jarak. Sementara kan novel tertulis. Itu kadang-kadang menyulitkan gitu. Dan aku belajar dialog mau nggak mau salah satunya lewat TV, film,atau mendengarkan radio. Mereka ngomong.
Eka: Sekarang aku yang nanya ya. Waktu kamu menang di DKJ itu, kamu udah tahu duluan?
Mahfud: Nggak.
Eka: Nggak?
Mahfud: He-eh. Kalian jahat.
Eka: Loh, jangan bilang kalian, wong aku juga nggak tahu kalau kamu menang.
Mahfud: Karena itu membuatku harus naik kereta.
Eka: Kalau tahu, kamu naik pesawat ya?
Mahfud: Iya. Karena aku berkali-kali ke Jakarta itu selalu naik kereta. Kedatangan ke Jakarta itu seperti perjudian besar. Ya, mungkin suatu saat aku mau menulis suatu cerita tentang kereta.
Arlian: Seperti Sungging Raga, pemuda kereta.
Mahfud: Oh, kalau gitu nggak jadi. Hahaha.
Eka: Kenapa? Kenapa kamu nggak mau sama seperti Sungging Raga?
Arlian: Hahaha, Mas Eka iseng banget.
Eka: Ini jangan diedit ya.
Mahfud: Aku nggak baca karya Sungging Raga sih, jadi aku nggak mau sama dengan sesuatu yang belum kubaca.
Arlian: Aman. Jawabannya aman.
Mahfud: Sebentar lagi kan Piala Dunia, aku pengin tahu, Mas Eka mendukung siapa?
Eka: Argentina, lah.
Mahfud: Ah, nggak menarik. Sama kalau begitu.
Eka: Siapa pemain Argentina yang kamu suka?
Mahfud: Messi, lah, gimana lagi?
Eka: Dari semua generasi? Katakanlah sejak tahun ‘80.
Mahfud: Kalau itu tentu saja Maradona. Itu adalah nama sepak bola dan pesepak bola pertama yang kudengar. Tapi, jadi nggak menarik, aku ingin berdebat berbeda gitu, lho.
Arlian: Oh ya, mau konfirmasi, Cantik itu Luka tadinya dijuduli O Anjing ya, Mas? Kenapa itu bisa berubah?
Eka: Kayaknya kalau O Anjing nggak bakal laku.
Arlian: Emang Cantik Itu Luka laku?
Eka: Cantik Itu Luka awalnya (kukira akan) laku, ternyata nggak juga.
Tapi, menurutku pemain Argentina paling menarik itu Redondo, lho.
Mahfud: Bisa kuterima. Tapi ,Redondo tidak sangat besar di timnas.
Eka: Berarti kita nggak berdebat dong?
Mahfud: Redondo sangat kusayangi karena aku pendukung Madrid.
Kalau baca sejarah itu, ada tokoh lain yang paling menarik karena misterius. Hanya ada potongan-potongan kecilnya di YouTube. Namanya Bochini, orang yang disebut Maradona sebagai maestro.
Arlian: La pausa.
Mahfud: Yang kalau digambarkan sama Jonathan Wilson, Bochini itu hanya satu kali pernah masuk Piala Dunia di menit 80 berapa gitu. Kemudian Maradona muterin dia, ”Kami udah nunggu, Bos,” karena dia nge-fan gitu. Dia tumbuh dengan orang ini. Dan mungkin sekarang siapa ya? Pemalas gitu.
Eka: Higuain?
Mahfud: Dia bukan striker. Hahaha.
Eka: Tapi, pemalas juga sih.
Arlian: Riquelme terakhir kayaknya.
Mahfud: Kira-kira begitu. Dia menciptakan istilah La pausa. Orang yang bisa menghentikan pertandingan karena gerakannya.
Prima: Pernah nggak Mas Eka dan Cak Mahfud mengalami fase menulis itu sangat menyakitkan?
Eka: Terus-terusan sih kalau itu.
Prima: Sakit apa, Mas?
Eka: Fisik dan mental.
Mahfud: Biar keren, aku sama dengan Mas Eka.
Eka: Heran, banyak anak muda pengin jadi penulis. Itu sangat menyakitkan.
Mahfud: Karena mereka belum tahu itu. Mungkin mereka belum tahu rasanya dikritik Maman Mahayana.
Eka: Itu sangat menyakitkan secara fisik maupun mental. Tapi, setelah melakukannya dan berpikir ternyata nggak ada hal lain yang bisa dikerjakan, ya udah keterusan jadi.
Prima: Rasa sakit itu, persisnya seperti apa sih?
Eka: Ya, duduk mengetik, lama-lama pegel e. Hahaha.
Prima: teknis banget, hahaha.
Mahfud: Loh, itu bukan teknis. Itu fisik dan psikis. Orang selalu bilang nulis novel stamina harus tinggi. Yang disebut stamina itu biasanya lebih rohani. Tapi, justru itu sangat fisik. Aku pernah, untuk pertama dan terakhir kalinya aku minum Fatigon. Jadi, aku ingin menyelesaikan novel yang kemudian baru empat tahun kemudian selesai, ingin kuselesaikan dalam dua minggu. Aku ingin dalam beberapa hari tidak tidur. Makanya, untuk pertama kali aku beli suplemen penahan kantuk. Dan aku beli Fatigon.
Arlian: Ini bukan product placement, ya.
Mahfud: Itulah mengapa aku tadi nanya Mas Eka, apakah Mas Eka pernah terpikir untuk membuat ulasan tandingan sendiri. Karena aku pernah memikirkannya ketika menulis novel pertama. Dan aku kemudian melakukan apa yang kupikirkan itu. Jadi ketika ada orang yang bingung ketika menemukan sebuah tulisan yang menyebut bahwa Ulid adalah cerita kakakku, itu adalah usahaku untuk membuat resensi atas novelku sendiri. Hahaha.
Prima: Menggunakan nama siapa?
Mahfud: Mahfud Ikhwan. Jadi ya sakit, Prim. Biar kami aja yang jadi penulis. Kamu editor saja.
Arlian: Mas Eka olahraga apa? Biar fit selalu dalam menulis.
Eka: sekarang sih lari sama sepedaan. Selingan, kecuali lagi di sini (di luar kota). Kalau lagi di rumah, satu hari lari, besok sepeda. Lari sekitar 4 kilo dalam waktu 40 menit.
Prima: Katanya Mas Eka pernah menjajal hidup di jalan?
eka: Waktu SMA itu aku tinggal di rumah bibiku. Kelas satu semester dua, aku tidak pernah sekolah, tidak pernah masuk. Bibiku berpikir bahwa aku pulang ke rumah orang tuaku. Orang tuaku berpikir aku masih di rumah bibiku. Ya, zaman itu kan belum ada handphone, belum tanya-tanya. Semuanya berprasangka baik terhadapku.
Aku sendiri nggak sadar, tiga bulanan lewat ketika aku ditemukan. Aku udah luntang-lantung sampai ke pinggir pantai. Sudah ke Pangandaran, dan itu pun nggak balik ke rumah. Ditemukanlah oleh salah satu omku dan disuruh pulang. Ketika pulang, baru diketahui aku sudah dikeluarkan dari sekolah. Ada surat, dikasih dua pilihan, ini mau dikeluarkan karena bla-bla-bla atau mau masuk lagi, tapi kelas satu lagi. Wah, aku males dong kalau kelas satu lagi, semakin lama dong aku sekolah. Aku bilang, ya udah dikeluarin aja. Akhirnya nggak sekolah selama berapa waktu. Ketika temanku udah kelas dua, nah itu aku masih nggak sekolah, tapi itu udah di rumah.
Lama-lama membosankan juga di rumah. Nggak ada teman, dari pagi sampai siang nggak ada siapa-siapa gitu. Kubilanglah sama ibuku, kalau ada sekolah yang mau menerimaku di kelas dua, aku boleh deh sekolah. Bapakku nyari-nyari, kebetulan bapakku kenal dengan banyak sekolah karena dia kadang-kadang ngebantu beberapa sekolah ngajar bahasa Inggris.
Ada satu sekolah yang kemudian aku masuki. Saat aku masuk, satu kelas hanya ada 13 orang. Dan mungkin separuhnya buangan dari sekolah-sekolah lain juga. Ada yang nggak pernah masuk sekolah, terus dikeluarkan. Ada yang hamil di luar nikah, masuk ke situ. Dia juga brojolin anaknya dulu baru sekolah lagi. Ya macem-macem, lah. Karena isinya seperti itu, sekolah itu sangat menyenangkan buatku. Masuk pelajaran pertama, pelajaran kedua capek, ya udah nogkrong di kantin sampai pelajaran keberapa, masuk lagi. Gurunya nggak terlalu peduli.
Prima: Dua bulan itu ngapain, Mas, di jalan?
eka: Ya banyak. Bepergian ke kota mana, kota mana. Naik truk, naik kereta.
Arlian: Tidak bayar, tentu saja.
Eka: Kadang-kadang kalau kepaksa ya bayar, tapi lebih sering nggak. Satu ketika pernah sih, ini pengalaman yang sangat mendebarkan. Kelas satu SMA umur 16tahun ya. Jadi aku sangat lelah sekali tidur di gerbong kreta, tidur di pos polisi. Aku nggak tahu sekarang, tapi zaman dulu, di alun-alun kota suka ada ada pameran produk, kayak pameran seminggu gitu. Ada kios-kios orang jualan. Aku tidur di situ karena semua orang ya tidur bergeletakan.
Satu ketika, aku sangat lelah dengan itu dan aku ada sedikit uang, sok-sokan untuk pertama kalinya dalam hidupku aku nginap di penginapan di Purwokerto. Aku tanya berapa semalam, ternyata aku sanggup bayar. Aku nginap di penginapan untuk pertama kalinya. Eh, malam-malam digedor resepsionisnya, “Dek, Dek, mau ditemenin nggak?” Wuih, deg-degan sepanjang malam. Kalau benar-benar datang, gue bayarnya gimana? Sebenarnya udah langsung ngomong, “Nggak! Nggak!” Tapi sampai pagi deg-degan gitu.
Prima: Cak Mahfud punya pengalaman yang sama gilanya?
Mahfud: Oh, nggak. Aku anak baik-baik. Aku anak kesayangan Mama, nggak boleh ke mana mana.
Prima: Punya rencana untuk berhenti menulis?
Eka: Aku sih berkali-kali mencoba untuk berhenti menulis. Pertama, karena tak ada lagi hal yang bisa kukerjakan, aku balik lagi menulis. Yang kedua, tubuh udah ketagihan untuk melakukannya lagi dan lagi.
Mahfud: Aku pernah kehabisan tabungan dan mulai berpikir melamar pekerjaan dengan nilai gaji yang mungkin 7-8 tahun lalu kudapat. Tapi, suatu saat Puthut EA datang dan itu membuatku bisa bayar kontrakan, setidaknya sebagian. Terus ada fase kehabisan uang lagi, tiba-tiba kemudian Eka Kurniawan dkk. di DKJ memenangkanku. Itu meyelamatkanku secara ekonomi.
Prima: Kenapa kepikiran untuk berhenti menulis?
Eka: Sejak zaman SMP sering berpikir bahwa menulis bukan pilihan yang paling mengasyikkan. Sebenarnya lebih ke mencoba memikirkan pilihan-pilihan lain. Misalkan, waktu SMA aku berpikir jadi anak band kayaknya lebih menarik. Tapi, kemudian sadar nggak berbakat. Ketika awal kuliah, aku berpikir menjadi komikus atau pun pelukis lebih menarik. Aku sempat nyobain daftar ke Seni Rupa ISI, lalu gagal. Lalu balik lagi ke Filsafat dan mencoba membangun ulang kembali harapan menjadi seorang penulis. Sampai sekarang berpikir punya bisnis seperti Puthut EA sepertinya menarik juga. Dia adik kelasku bisa jadi ketua suku, masa gue enggak?
Arlian: Terakhir, Mas, ada pesan untuk penulis muda nggak?
Eka: Jangan jadi penulis, itu menyakitkan.