MOJOK.CO – Sebagai lansia, sebenarnya ada hak prioritas di setiap gerbong kereta commuter line. Tapi, kata siapa kami-kami ini selalu diprioritaskan?
Pada waktu masih muda, saya memimpikan kapan Indonesia mempunyai underground atau kereta communter line seperti London Tube atau Paris Metro. Saya merasa bisa bepergian ke berbagai tempat dengan cepat. Ongkosnya pun murah meriah. Sekarang, setelah usia lanjut alias lansia, saya baru mengalami angkutan rakyat yang saya impikan itu di Jakarta. Commuter line atau KRL saban hari mengangkut ratusan ribu atau bahkan lebih dari satu juta manusia menuju atau meninggalkan Jakarta.
Sebagai lansia, sebenarnya ada hak prioritas di setiap gerbong. Di dinding gerbong inilah belakangan dipasang imbauan: “Berikan bangku prioritas bagi kaum lansia, ibu hamil, penggendong anak, dan kaum difabel”. Gambarnya, orang memegang tongkat, ibu berperut gendut dengan gambar jantung hati, ibu menggendong anak, dan orang memegang kruk.
Sebagai lansia, saya pun berharap mendapatkan bangku prioritas, apalagi saat jam-jam sibuk seperti berangkat kerja pagi-pagi dan pulang sore hari. Bayangkan, kaum lansia yang sudah tak lagi perkasa harus berdesakan bersama penumpang KRL lainnya, seperti Pak Jokowi yang saat itu naik kereta ke Bogor. Tangan sudah tidak kekar lagi untuk bergelantungan. Telapak kaki terasa panas di atas sol sepatu.
Berdiri berdesakan seperti ini bukan hanya terjadi di dalam kereta yang melaju dari atau ke Jakarta. Di stasiun transit pun terjadi tumpukan massa. Menaruh kaki jadi susah kala menunggu datangnya kereta di peron. Pada jam sibuk, penumpang tumplek-blek di stasiun transit, seperti Tanah Abang, Manggarai. Penumpang berjubel untuk menunggu kereta ke jurusan Banten, Bogor, atau Bekasi.
Berebut naik kereta menjadi perjuangan mahadahsyat bagi lansia. Pada saat naik ke gerbong, orang tak peduli lagi dengan gender atau usia. Tak ada ampun. Hajar saja. Yang penting bisa naik kereta; syukur-syukur dapat bangku!
Hadirnya KRL yang dikelola oleh PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) memang merupakan berkah bagi Jakarta. Kereta rel listrik (KRL) mulai beroperasi tahun 1976. Jalur-jalur Jakarta – Bogor, Jakarta – Tangerang atau Parungpanjang, dan Jakarta – Bekasi dilayani beberapa KRL. Sayang, jumlahnya tidak memadai. Penumpangnya boleh dibilang seperti ikan sarden, baik dalam hal empet-empetannya maupun baunya.
Siapa saja bisa naik kereta: pedagang, pengasong, pengemis, pengamen, bahkan kambing dan ayam. Malah rasanya, isi kereta lebih banyak dikuasai pengasong, pengemis, pengamen, dan pedagang ketimbang orang yang pergi dan pulang kerja. Tiket bisa dibeli di atas gerbong kalau kondektur menagihnya. Untuk menghindari kejaran kondektur, sebagian penumpang tanpa karcis naik ke atas atap gerbong.
Makanya, pernah kan ada gerbong yang amblek di stasiun Kebayoran Lama karena kelebihan penumpang di atas atap?
Tapi, itu pemandangan naik kereta selama masa Orde Baru—eh, sampai tahun 2000-an, ding. Kini, sejak tahun 2000, PT Kereta Api Indonesia mengoperasikan 72 unit kereta, hibah dari Jepang. Gerbong bekas itu langsung mengangkut penumpang .
Setelah itu, jumlah kereta terus ditambah. Sistem tiket elektronik diberlakukan sejak 1 Juli 2013. Pengelolaan angkutan KRL mengubah sama sekali gaya dan penumpangnya. Mungkin revolusi mental yang sesungguhnya, ya, seperti gaya penumpang KRL saat ini. Mereka membeli tiket, berpakaian rapi, taat antre, tidak bergelantungan, apalagi naik ke atas atap! Penumpang bahkan mendeposit uangnya di bank PT KCI.
Armadanya pun terus ditambah. Pada tahun 2008, hanya ada 784 unit kereta, sedangkan tahun ini akan berlipat dua menjadi 1.450 unit. Setiap hari, penumpang yang diangkut ke dan dari Jakarta berjumlah sekitar 850 ribu sampai satu juta. Tahun ini, PT KCI bahkan menargetkan 1,2 juta penumpang dari dan ke Jakarta setiap hari. Jaringan juga diperbaiki. Ada 79 stasiun untuk melayani penumpang di Jabodetabek, Banten, dan Cikarang. Tapi…
…ini kenapa saya jadi ngelantur, ya? Kan fokusnya soal lansia naik kereta commuter line!
Oke, mari kita mulai lagi, Saudara-saudara.
Dalam kondisi perubahan gaya hidup dalam memilih moda transportasi, baik dari awal ada KRL hingga hari ini, kaum lansia kayaknya masih belum diperhitungkan. Memang ada disclaimer “bangku prioritas”. Namun, hal ini tidak lantas berarti ada kesempatan bagi kaum lansia, atau orang hamil dan penggendong anak, serta kaum difabel untuk mendapat prioritas.
Apalagi, sebagian besar penumpang harus berjuang keras untuk mendapatkan tempat duduk agar bisa tidur dari Jakarta sampai stasiun tujuan, atau sebaliknya. Perjuangan memperoleh tempat duduk sering dilakukan oleh penumpang dengan “menjemput’ kereta dari stasiun keberangkatan sebelumnya. Penumpang ke Bogor yang menunggu di Tanah Abang banyak yang naik kereta ke stasiun Duri atau Angke untuk mendapatkan tempat duduk sampai ke Depok atau Bogor. Begitu pula penumpang ke Bekasi atau Bogor; di saat padat, banyak dari mereka yang naik kereta ke stasiun Kota demi tempat duduk.
Nah, kalau mereka berjuang begitu, apakah rela melepaskan kenikmatannya untuk kaum lansia yang naik dari stasiun berikutnya? Bahkan kalau ada wanita hamil bilang minta duduk karena kehamilannya saja sering dicuekin!
Itu pun syukur, karena masih mending daripada dijawab, “Emangnya yang ngehamilin siapa???”
Jurus paling jitu untuk tidak menyerahkan tempat duduk kepada kaum lansia, orang hamil, dan difabel yang selama ini berlaku adalah menutup kuping dengan earphone dan mata merem serapat-rapatnya. Jurus tidur pulas dengan mulut menganga seolah mengorok diperagakan hampir semua penumpang kereta commuter line.
Nah, terus, bagaimana, dong, nolongin kaum lansia?
Kalau nggak mau capek dan berdesak-desakan di kereta, ya memang mending di rumah saja. Lebih nikmat lagi kalau disambi momong cucu atau mendengarkan kicauan burung di depan rumah. Kalau toh mau bepergian dan tak penting-penting amat, pilihlah jam-jam longgar antara pukul 11.00 sampai 14.00.
Bakal jadi lebih repot kalau lansia itu masih bekerja. Mereka mesti berangkat pagi dan pulang sore. Tak bisa dielakkan, mereka pasti berantem dengan penumpang lain agar bisa naik kereta di saat padat-padatnya.
Memang, sih, tak semua penumpang memakai jurus tutup mata selama dalam perjalanan. Ada pula yang mempunyai hati dan memberikannya kepada lansia, orang hamil, atau difabel. Ada juga penumpang yang meminta orang yang lebih muda untuk berdiri dan memberikan tempat duduknya untuk mereka yang mendapatkan prioritas duduk.
Saya beberapa kali mendapat kesempatan seperti itu. Ada anak muda yang menyerahkan bangkunya untuk saya; mungkin karena hari itu saya sudah kelihatan tua. Tapi kalau saya tak mendapatkan tempat duduk, saya terpaksa berdiri sampai stasiun tujuan. Nah, kalau nasibnya begini, mungkin saya dipandang masih gagah perkasa, belum kelihatan lansia (eh… malah GR!).
Terlepas dari tampak lebih muda secara fisik atau tidak, lansia (dan orang hamil atau difabel), layak mendapatkan kursi prioritas. Kalau penumpang tidak memberikan, mungkin PT KCI harus memberikan kemudahan dengan cara lain.
Kalau sekarang PT KCI memberikan prioritas bagi penumpang wanita dengan dua gerbong khusus di ujung depan dan belakang, kenapa kaum lansia tidak diberikan prioritas yang sama di kereta commuter line? Jadi, kan, kaum lansia, orang hamil, penggendong bayi, dan difabel malah tak dicampur aduk dengan penumpang lain yang masih sehat.
Selama ini, satpam menjaga ketat kereta khusus untuk wanita. Lah terus, apa salahnya ada satpam juga yang mengawal ruangan khusus untuk kaum lemah? Kalau Transjakarta bisa memberikan tiket gratis untuk lansia, kenapa PT KCI tak bisa menyediakan kemudahan bagi mereka?
Hadeeeh, apa susahnya sih?