Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Megawati Diusulkan Jadi Pahlawan Demokrasi Merupakan Satire Paling Cadas Abad Ini

Muhammad Nanda Fauzan oleh Muhammad Nanda Fauzan
22 Oktober 2020
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Sebuah kelompok ormas bernama JBMI mengusulkan agar Megawati Soekarnoputri diberi gelar pahlawan demokrasi secara nasional. Ajiiib.

Akhir tahun lalu, secara tidak sengaja, saya bertemu dengan seorang senior yang, baik pikiran dan koleksi kaosnya, disesaki oleh kutipan Gus Dur.

“Ini sama saja membodohi akal publik,” katanya, sembari menunjukkan tangkapan layar dari salah satu media yang memberitakan bahwa idolanya itu urung dipilih sebagai pahlawan nasional.

Alasannya? Hanya karena makam Gus Dur masih basah.

“Masalahnya, hingga lima ratus tahun ke depan, makam Gus Dur akan tetap basah oleh air mata para peziarah.”

Sejak hari itu saya mendapatkan dua pelajaran penting.

Pertama, bahwa orang-orang yang menjadikan Gus Dur sebagai role mode akan selalu berusaha tampak jenaka—bahkan saat kecewa sekalipun. Kedua, untuk menjadi seorang Pahlawan Nasional kamu harus meninggal. Atau lebih tepatnya batu nisanmu harus sudah dihiasi lumut. Pertanda kamu wafat bukan kemarin sore.

Secara yuridis, syarat itu telah diatur dalam UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Argumen paling logis yang bisa saya tangkap adalah masa hidup seseorang masih (dan akan tetap) labil.

Maksud saya, pihak yang paling berjasa hari ini bukan tidak mungkin akan dianggap sebagai pihak paling menindas bangsanya pada hari mendatang. Setidaknya laju sejarah yang repetitif telah membuktikan itu.

Toh, karakter Batman sekalipun tak selamanya didaulat sebagai pahlawan oleh warga Gotham, bukan?

Mengenai makam yang masih basah itu, Jimly Asshiddiqie, Wakil Ketua Dewan Gelar dan Tanda Kehormatan Republik Indonesia, mengatakan bahwa aturan itu merupakan upaya untuk menghindari bias penilaian. Oke, saya sepakat.

Bahkan kalau ada kesempatan, saya ingin mengusulkan Chrisye atau Didi Kempot sebagai Pahlawan Nasional juga. Soalnya dalam kadar tertentu mereka bisa saja masuk kualifikasi.

Keduanya punya jasa yang tak terbendung menemani masa-masa galau masyarakat Indonesia. Pun karya dan prestasinya tak layak diragukan. Masalahnya ambisi tersebut jangan-jangan lahir karena saya—secara tidak langsung—memiliki ikatan emosional dengan keduanya, dan saya tahu betul itu sangat tidak objektif.

Lucunya, hal yang saya pikir tidak objektif itu nggak ada apa-apanya dengan ide dari Jam’iyah Batak Muslim Indonesia (JBMI) baru-baru ini. Soalnya kelompok ini dengan terbuka mengusulkan agar Megawati Soekarnoputri diberi gelar pahlawan secara nasional.

Iklan

Wuih, ide yang ajaib sekali.

Sebentar. Maaf kalau saya interupsi sebentar. Begini, Bang, setahu saya, Ibu Megawati masih dalam keadaan sehat walafiat sampai detik ini.

Bahkan dalam Wawancara Eksklusif 75 Tahun Indonesia Merdeka, Megawati Soekarnoputri membagikan tips agar hidup tetap gayeng dan bugar. Katanya, kita harus rutin berolahraga dan jangan mikir yang berat-berat.

Dari tips itu, Megawati telah menerapkan dua hal tersebut sepanjang usianya. Beliau rutin menari sejak usia lima tahun—sebagaimana titah ayahanda beliau—dan jarang berpikir yang berat-berat. Oleh karenanya, saya yakin beliau akan panjang umur.

Maka dari itu, ide mengajukan Megawati sebagai pahlawan demokrasi secara nasional dari JBMI itu saya pikir sangat kental aroma ironinya.

Kalau boleh memilih, saya lebih baik melatih badak jawa menghafal Pancasila ketimbang mengusulkan gelar pahlawan secara resmi ke sosok yang masih hidup. Terutama kalau sosok itu seberkuasa Megawati.

Nah, karena usulan ide berpotensi bikin salah paham, Albiner Sitompul menggarisbawahi bahwa yang dia maksud bukan gelar Pahlawan Nasional, tapi Pahlawan Demokrasi.

“Maka kami sarankan beliau adalah ibu demokrasi atau apa pun sebutannya, kami usulkan di dalam memperingati Hari Pahlawan ini. Beliau adalah pahlawan demokrasi, bukan pahlawan nasional,” kata Albiner seperti dikutip dari detik.com.

Mendengar kabar itu, teman-teman saya di Facebook menganggap ide absurd ini sebagai ekspresi dari “kelompok penjilat pantat rezim” semata. Toh lagipula ide ini bukan yang pertama. Pada hari yang berlainan, kelompok yang sama pernah mengusulkan Tuan Syekh Ibrahim Sitompul agar dapat gelar pahlawan juga. Ebuset.

Kamu nggak perlu kaget, soalnya Ketua Umum DPP JBMI, H. Albiner Sitompul, sebelumnya pernah menjabat sebagai kepala Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI) Sekretariat Kepresidenan. Hm, sobat kental kayaknya mereka tuh.

Saya sih tidak tahu bagaimana bentuk pantat rezim, apakah ia mulus atau bisulan, tetapi saya yakin rencana kelompok ini sejatinya merupakan kritik satire paling cadas abad ini.

Bagaimana tidak? Mereka mendorong nama Megawati atas alasan keberaniannya melawan penindasan rezim Orde Baru.

Oke, saya tidak menyangkal peran Megawati saat itu, masalahnya sekarang ini mudah sekali mengunduh gambar Megawati tengah berpose mesra dengan Prabowo Subianto. Sosok yang punya ikatan dengan rezim Orde Baru pada masa lalu.

Bahkan ketika Gus Dur digulingkan karena ogah berkompromi dengan cara-cara Orba dalam bagi-bagi kursi menteri, Megawati (bersama Pak Amien Rais) berada satu barisan dengan sisa-sisa petinggi Orba yang masih bertahan di parlemen.

Keterangan-keterangan lain yang bisa menunjukkan bahwa Megawati bersahabat dengan orang-orang Orba masa lalu pun bisa kalian googling sendiri. Ada cukup banyak. Tak perlu lah menulis satu per satu karena bisa-bisa tulisan ini lebih panjang dari draf Omnibus Law.

Dari hal ini, saya pikir ada baiknya Megawati ingat lagi kata-kata Imam Al-Ghazali untuk hati-hati. Bahwa menurut Al-Ghazali, orang yang memberi pujian boleh jadi seorang munafik. Mereka tampak manis di lapisan luarnya, tapi mematikan di bagian dalamnya.

Paling tidak, usulan gelar pahlawan demokrasi ini mengingatkan kita akan wajah Soeharto pada mata uang pecahan Rp50.000 pada masa Orba. Jika biasanya sosok yang ada di mata uang adalah orang yang sudah gugur, tapi saat itu kroni-kroni Soeharto ngotot memasukkan wajah Bapak Pembangunan ke dalam pecahan mata uang nilai paling tinggi.

Nah, ide pemberian gelar pahlawan demokrasi ke Megawati ini pun aromanya tak jauh-jauh dari sana. Kasih jilatan yang saya pikir agak kelewatan tingkatannya.

Jadi bukan tidak mungkin, pengajuan nama Megawati sebagai Pahlawan Demokrasi karena melawan Orde Baru adalah peringatan bahwa pujian yang keblabasan itu bisa berbahaya. Selain itu, jilatan itu juga jadi peringatan bagi kita bahwa Megawati bisa saja tidak anti-anti amat terhadap Orde Baru kalau sampai nekat menyetujui usulan ini.

Paling tidak, beliau mungkin masih anti dengan Orde Baru di masa lalu, tapi bukan tidak mungkin beliau menjadi orde (yang) baru lainnya di masa mendatang.

Sama kroni Soeharto mungkin masih tak sejalan, tapi dengan cara-caranya mempertahankan kekuasaan, apakah akan selalu terbuka menerima kritik sampai nanti? Masih menjunjung demokrasi sampai akhir? Hm, siapa yang tahu?

Perjalanan politik beliau kan masih berjalan. Sikap politik seorang manusia kan bisa berubah-ubah sepanjang masih hidup.

Apalagi belakangan ini, kemarahan yang maha-dahsyat masyarakat terhadap Omnibus Law juga ditujukan ke Partai Golkar dan PDIP juga—setidaknya menurut analisis dari LP3S. Catat ini: PDIP, partai yang diketuai Megawati. Artinya kekecewaan publik sebenarnya juga mengarah pada beliau akhir-akhir ini.

Jadi apakah Ibu Megawati layak diajukan menjadi pahlawan demokrasi secara resmi? Hm, kalau buat serius sih no, tapi kalau buat satire… jelas sangat yes.

Kalau sudah begini, saya jadi teringat kembali dengan kekecewaan senior saya pengagum Gus Dur tadi. Sudah lah Gus Dur tak pernah diusulkan mendapat gelar pahlawan nasional, eh, di sisi lain Megawati malah diusulkan dapat gelar pahlawan.

Lalu saya terngiang-ngiang bagaimana Gus Dur yang beneran plural sampai akhir hidupnya saja nggak pernah dapet gelar resmi Pahlawan Pluralisme Nasional atau apalah dari negara.

Tapi khayalan itu bakal hilang dengan cepat kalau bayangan wajah Gus Dur muncul di kepala saya. Soalnya dari beliau paling-paling yang keluar juga cuma kalimat ini: “Ealah, gitu aja kok repot.”

BACA JUGA Kebenaran Gus Dur yang Serbakebetulan dan tulisan Muhammad Nanda Fauzan lainnya.

Terakhir diperbarui pada 22 Oktober 2020 oleh

Tags: Gus DurMegawatimegawati pahlawan demokrasipahlawan nasional
Muhammad Nanda Fauzan

Muhammad Nanda Fauzan

Mahasiswa Filsafat UIN BANTEN.

Artikel Terkait

Pemkot Semarang kuatkan usulan gelar pahlawan nasional ke KH. Sholeh Darat MOJOK.CO
Kilas

KH. Sholeh Darat Semarang Harusnya Semat Gelar “Pahlawan”: Penyusun Tafisr Al-Qur’an Jawa Pegon-Guru bagi RA. Kartini hingga KH. Hasyim Asy’ari

12 November 2025
Nasib buruh usai Marsinah jadi pahlawan nasional. MOJOK.CO
Ragam

Suara Hati Buruh: Semoga Gelar Pahlawan kepada Marsinah Bukan Simbol Semata, tapi Kemenangan bagi Kami agar Bebas Bersuara Tanpa Disiksa

12 November 2025
Kami Berdoa Setiap Hari agar Soeharto Jadi Pahlawan Nasional MOJOK.CO
Ragam

Kami Berdoa Setiap Hari agar Soeharto Jadi Pahlawan Nasional. Sejarawan: Pragmatis dan Keliru

11 November 2025
Suara Marsinah dari Dalam Kubur: 'Lucu! Aku Disandingkan dengan Pemimpin Rezim yang Membunuhku'.MOJOK.CO
Ragam

Suara Marsinah dari Dalam Kubur: ‘Lucu! Aku Disandingkan dengan Pemimpin Rezim yang Membunuhku’

10 November 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
musik rock, jogjarockarta.MOJOK.CO

JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan

5 Desember 2025
pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

2 Desember 2025
Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.