Barang siapa sengaja
tiga kali meninggalkannya
maka ia menjadilah
seorang munafik nyata
— Ida Laila, “Hari Jum’at”
Pagi-pagi, di hari Jumat keempat pengurungan diri, yang akan menjadi Jumat ketiga saya tak berangkat Jumatan, pesan itu muncul. Dalam bahasa Jawa, ditulis dalam nada bahasa lisan yang khawatir. Jika diindonesiakan dan dijadikan lebih rapi, kira-kira begini bunyinya: “Nak, apakah kamu tidak berangkat Jumatan lagi? Kalau sudah lewat tiga kali bagaimana (hukumnya)?”
Itu bukan dua pertanyaan. Itu sebuah peringatan. Dan itu bukan yang pertama.
Beberapa hari sebelumnya, di waktu yang lebih pagi, mungkin setelah menunaikan Subuh, Ibu mengirim sebuah meme dengan wajah dan kutipan dari Ustad Abdul Somad. Isinya kira-kira (karena saya hanya membacanya sekilas sebelum menghapusnya) tentang bagaimana sebaiknya seorang muslim bersikap menghadapi kondisi wabah. Beberapa hari berikutnya, dalam obrolan telepon yang panjang, ia mengutip Gus Miftah, begini-begini, meskipun kemudian bilang bahwa ia tak terlalu cocok dengan pendakwah asal Jogja itu. Jadi, ketika di media sosial sedang ramai video seorang ustad yang meratap-ratap, seakan dunia akan kiamat dan seluruh dunia menuju jurang kekafiran, karena negara dan ormas-ormas Islam besar menganjurkan untuk meniadakan salat Jumat, dan ini akan menjadi Jumat yang ketiga tanpa Jumatan, saya tahu pesan penuh pertanyaan itu akan datang.
Ibu lebih awal pegang gawai canggih dibanding saya. Dan seperti kebanyakan orang saat ini, ia aktif dan menikmati betul era internet. Ia jadi lebih sering menelepon, lebih-lebih setelah saya (terpaksa) memasang aplikasi WhatsApp. Ia cerita punya grup WA yang dinamai Wanita Berkarya (terdengar seperti sebuah organisasi para istri pengurus Golkar di tahun ’80-an), beranggota para buruh migran perempuan seusianya. Gambar status WA-nya, selain gambar anak-anaknya, adalah potongan-potongan doa dan motivasi agama. Di kepulangan terakhirnya, ia menghabiskan banyak waktu luangnya untuk menonton sinetron Indonesia lama di YouTube. Maka, tak mengherankan ia juga banyak menyimak pengajian para ustad muda yang berpenonton besar di media sosial. Dan itu membuatnya menjadi sedikit terbawa suasana.
Saya hanya bangga bahwa pertanyaan itu tidak datang lebih awal, tidak di umur-umur ketika semua anak muda bereksperimen dengan iman dan agamanya. Saya tahu, ia sangat mempercayai anaknya. Cenderung fanatik malah. Itu yang membuat ibu saya pernah mendiamkan seorang sepupu, seorang Muhammadiyah yang bersemangat, karena berani ngomong di depannya bahwa saya sudah mulai kelihatan liberal dan meminta agar Ibu mengingatkan saya. “Pernah nyumbang apa untuk sekolah anak-anakku sehingga berani-beraninya bicara begitu!” katanya berapi-api di depan saya yang tertawa-tawa.
“Jumatan itu wajib untuk laki-laki, Nak,” lanjutnya. Tentu saja ia tahu bahwa saya tahu hal itu. Ia yang memperdengarkan lagu-lagu Ida Laila, termasuk lagu “Hari Jum’at” yang legendaris itu. Ia mengorbankan nyaris seluruh hidupnya untuk bisa memberangkatkan seluruh anaknya ke pesantren. Ia hanya “mengingatkan kembali.”
Tak ingin menyakiti hatinya dengan mendebat dan menunjukkan bahwa saya lebih tahu darinya, saya mencoba menyentuh salah satu titik lembut di semesta pandangan dunia dan agamanya; saya tahu betul letaknya di mana. Saya bilang, “Aku ikut keputusan PP Muhammadiyah saja.”
Seperti yang saya duga, saya mendapatkan pernyataan lega yang melegakan: “Oh, ya sudah.”
***
Saya tentu saja pernah melewati masa-masa penuh semangat dalam beribadah. Setidaknya, antara awal usia belasan sampai nyaris sedekade kemudian, saya kira saya masih membayangkan diri akan menjadi bagian dari golongan yang menegakkan kalimah Allah. Bisa menunaikan puasa Ramadan penuh bahkan sebelum usia kelima, saya sudah terbiasa puasa sunah dan salat malam menemani Ibu sejak berumur sepuluh, dan masih terus melakukannya bahkan hingga tahun-tahun awal di Jogja. Punya hajat untuk kuliah di universitas negeri tapi tak cukup punya uang untuk ikut bimbingan belajar persiapan UMPTN, juga selalu dibayangi oleh kemungkinan tak ada biaya, saya mengompensasinya dengan puasa Daud yang penuh kesepian dan keprihatinan di sepertiga waktu masa-masa SMA—dan saya sampai sekarang masih percaya bahwa sebuah NIM atas nama saya di kampus Bulaksumur tiga tahun kemudian adalah ganjaran atasnya. Tapi, di antara itu semua, di tengah-tengah ikrar ala Ikhwan al-Muslimun pada usia lima belasan yang menggelorakan, di antara haru biru syair-syair nasyid dan kisah-kisah Intifadah yang menggetarkan, salat Jumat selalu menyertakan keengganan yang butuh dilawan.
Ada sebuah Jumat yang traumatis bagi saya sepanjang masa. Saat itu kegilaan saya terhadap sandiwara radio sedang di puncaknya. Semua jenis sandiwara radio saya sikat. Dari pagi sampai malam, bahkan sampai larut malam. Ketika Saur Sepuh sudah lama habis, ada sebuah stasiun radio yang memutar ulang seri-seri lawasnya sepekan sekali, setiap Kamis malam, tujuh seri berturut-turut, dimulai dari jam 12 malam sampai pagi. Ibu sangat tidak menyukai itu dengan banyak sekali alasan yang masuk akal. Saya mesti mengendap-endap dan memutar radio secara diam-diam, dengan suara yang hanya saya yang dengar. Kadang mesti dengan memasukkan radio ke dalam sarung. Tentu saja, usai begadang semalaman, besoknya saya dihajar kantuk sepanjang hari. Namun, berkali-kali saya lolos dan bisa mengatasinya, sampai akhirnya kena batunya. Pada sebuah Jumat yang sial, saya tertidur di sepanjang pelaksanaan salat Jumat, mulai dari begitu duduk hingga sepanjang khotbah. Juga salatnya. Saya terbangun ketika orang mulai bubar dan menemukan semua orang sedang menertawakan saya. Saya malu sekali. Bapak mendamprat saya bahkan sebelum sampai rumah. Ibu merengut sepanjang sisa hari itu, bilang bahwa ia selama ini benar soal sandiwara radio laknat itu. Saya dilarang pegang radio sampai berhari-hari berikutnya.
(Untuk yang pernah baca Ulid, ya, bocah yang tidur saat salat Jumat itu saya, dalam versi yang berdarah dan berdaging. Tapi saya lebih malang dari bocah konyol itu. Di novel, Ulid masih 6 tahun saat mengalaminya, sementara saya sudah kelas 4 SD. Di umur itu, saya sudah tahu, bahkan hapal ayatnya, bahwa laki-laki yang sengaja meninggalkan salat Jumat akan dikutuk menjadi kera.)
Saya yang sekolah di sekolah Muhammadiyah sejak TK hingga SMP selalu mendapat libur hari Jumat. Tapi libur Jumat tak pernah terasa benar-benar libur. Jumatan memang paling lama satu jam, tapi ia memengaruhi keseluruhan hari. Kanak-kanak tak akan diperbolehkan keluar rumah di atas jam 10 pagi dan akan didamprat habis jika baru pulang bermain melewati jam itu. Bukan saja karena kami harus bersiap ke masjid, tapi juga karena siang menuju Jumatan adalah siang yang julung, siang yang rawan. “Jam segini masih keluyuran, dimakan macan, kapok kamu!” begitu ancaman para ibu. Sementara, sepulang Jumatan entah kenapa selalu saja membawa hawa mengantuk. Dan, biasanya, para kanak-kanak baru benar-benar bisa bermain di atas jam tiga sore. Itulah kenapa, dulu saya selalu memendam iri kepada teman-teman yang sekolah negeri yang menikmati libur Minggu yang total dan lapang.
Saya semakin merasakan betapa tak menyenangkannya libur hari Jumat (dan salat Jumat) ketika saya mulai dihinggapi keranjingan film India. TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) memulai film-film Indianya di Minggu pagi, setelah episode-episode Ramayana dan Mahabharata habis. Mungkin karena ratingnya menggiurkan, RCTI mulai ikut. Tak ingin menggeser Doraemon dari jam biasanya, dan tak mau bersaing dengan jam Indianya TPI yang telah mapan, RCTI menaruh film India di Jumat pagi. Dimulai pada jam 9, selesai tepat jam 12 siang. Padahal, saya sudah harus di masjid jam 11. Itu artinya, saya mesti meninggalkan film yang ditonton ketika sedang seru-serunya: ketika Sanjay Dutt baru mengetahui bahwa ayah dari kekasihnya adalah pembunuh ayahnya; ketika Ajay Devgan baru saja difitnah oleh pesaingnya dan kemudian dibenci sahabatnya sendiri; ketika Akshay Kumar baru saja kehilangan anak setelah diculik musuhnya, dst. Betapa beratnya kaki melangkah menuju masjid. Saat khotbah, yang saya pikirkan adalah: apa yang akan dilakukan jagoan saya untuk menuntut balas; apakah cintanya tercapai; apakah persahabatannya bisa diperbaiki; apa anaknya baik-baik saja; apa kematian yang pantas untuk Tuan Thakur. Itulah kenapa separoh kenangan saya atas film India di masa remaja adalah film-film yang terpotong, tak diketahui ending-nya.
Saya akhirnya masuk sekolah negeri ketika SMA dan bisa merasakan libur Minggu. Tapi, kecintaan terhadap film India masih mengikuti. Dengan waktu yang sangat sempit antara pulang sekolah dan berangkat ke masjid, kini saya tak hanya tak mendapat akhir film, tapi juga awalnya. Meski begitu, rasa enggan berangkat Jumatan kini tidak terletak di hati, namun di kaki.
Selama SMA saya tinggal di sebuah pesantren kecil yang padat di kota kecil Babat. Pesantren menggembleng sikap hidup mandiri, tapi yang paling menantang sebenarnya adalah kerelaan untuk hidup secara komunal. Kepemilikan pribadi tak dilarang, tapi tak mungkin difanatiki. Dan, dari banyak hal yang biasa jadi milik komunal di pesantren, sandal jepit adalah yang paling komunal. (Karena itulah, kata ghashab yang arti sebenarnya ‘mengambil tanpa izin’ lebih populer dipahami sebagai “nyolong sandal”.) Dengan ketelitian seorang haji yang pelit, termasuk menyimpan sandal (kotor) di dalam lemari bersama buku dan baju, kamu bisa membuat sandalmu lebih lama bersamamu. Tapi, sedetik saja kamu meleng, sandal itu akan segera berganti pemilik. Dan itulah yang sering terjadi.
Masjid tempat kami Jumatan berjarak sekitar 500 meteran dari pesantren kami yang hanya punya mushala. Setiap berangkat Jumatan, nyaris separoh santri (putra) berangkat dengan telanjang kaki, sementara sebagian lagi berangkat dengan riang memakai sandal milik orang lain. Kamu akan cukup beruntung jika dua dari empat Jumatanmu di bulan itu kau jalani dengan sandal di kaki. Sebab, Jumatan dengan kaki telanjang—di jalan beraspal tepat pada setengah 12 siang—itu panas, Jenderal!
Saat kuliah tak ada lagi hari libur definitif. Apalagi jika kamu kuliah di Jogja di zaman saya, ketika SPP masih 225 ribu per semester. “Everyday is holiday,” begitu kata kaos Dagadu. Itu menggambarkan dengan sangat baik tentang Jogja. Namun, di atas semuanya, Jogja betul-betul berhati nyaman untuk sesekali tak Jumatan.
Jogja dipenuhi bocah-bocah yang dulu hidupnya diisi hanya oleh ibadah. Mereka sudah belajar agama sejak dalam kandungan. Sudah hapal Surah Yasin dan Surah Yusuf bahkan sebelum lahir. Bisa membaca Al-Quran sejak bisa melihat. Sudah mendekap kitab begitu bisa duduk tegak. Sudah di masjid bahkan saat masjid itu masih musala. Mereka tak bosan karena tak boleh bosan. Mereka taat karena harus taat. Dan begitu sampai di Jogja, mereka bisa menemukan jeda. Mereka kini jadi punya pilihan. Jauh dari tatapan mata ibu, mereka akhirnya bisa bilang kepada teman yang berangkat Jumatan, “Aku titip absen saja ya.”
Saya tak pernah melakukan itu. Tetap tak berani. Tapi, tak berarti bocah-bocah “titip absen” itu tak memengaruhi saya. Mereka setidaknya membuat saya mandi telat, baru berangkat jelang iqamat, dengan kaki berat. Dan, sebagai anak pondok dari Jawa Timur, biasanya akan pulang dari masjid dengan menggerutu: “Imam kok baca Al-Qurannya macam itu.”
***
Tuhan tetap tak terbayang. “Tak mungkin kugambar,” kata Ebiet. Tapi mata ibu saya terlalu nyata, meski jauh. Ia akan menekankan soal itu, nyaris hanya itu, sebagaimana semua ibu yang saya tahu. Dulu lewat surat-surat. Lalu lewat sambungan langsung internasional yang mahal. Dan kini lewat meme—dengan wajah Ustad Abdul Somad dan kutipan nasihatnya. Maka, meski tak secemas orang-orang yang takut murka Tuhan karena menjauhi masjid justru di saat bencana, saya tak merayakan hari-hari Jumat tanpa Jumatan ini sebagai kelonggaran.
Sejujurnya, setelah nyaris sebulan tak Jumatan, dan telah bertahun-tahun kehilangan gairah untuk ikut salat berjamaah, saya bahkan mulai merindukan masjid. Tidak karena sedang pasang naik iman setelah menjalani sebulan masa wabah. Tidak juga karena tergugah oleh meme yang dikirim ibu saya. Saya hanya sedang dilanda dorongan natural yang biasa saya alami: melakukan apa yang kebanyakan orang tidak lakukan. Sepertinya datang ke masjid saat kosong kok keren. Bisa menemani muazin yang kesepian, yang membaca iqamat dengan suara hampir terisak, sepertinya akan menyenangkan.
Untunglah, sebelum dorongan itu menjadi lebih menggebu, saya ingat lagu Ida Laila yang lain, yang lebih populer: “Siksa Kubur”.
Suara rintihan
Suara tangisan
Insan yang berdosa, ho ho ho
Di masa hidupnya…
BACA JUGA Belajar Sastra dan esai Mahfud Ikhwan lainnya di kolom REBAHAN.