Baca cerita sebelumnya di sini.
Menurut Laporan Wartawan Kriminal dan Hiburan Amin Junaedi*
Sore hari di awal pekan akhir tahun lalu, di antara dentuman musik koplo dan deru hujan pentol bakso, Meggy Z. bangkit dari kuburnya setelah delapan tahun kematian. Ia lalu membunuh Juragan Badrun. Demikianlah yang dikatakan saksi mata Agus Mulyono.
Sebelumnya (31/12), Kaji Badrun dikabarkan meninggal dalam sebuah kecelakaan, di antara huru-hara hujan pentol yang membubarkan gelaran dangdut koplo yang ditanggapnya. Ia disebut panik dan kemudian terjungkal dengan kepala membentur gundukan batu yang ditumpuk anaknya sendiri. Namun, persis satu hari setelah tahlil tujuh hari kematian Kaji Badrun dilangsungkan, Agus Mulyono, tukang gulung kabel OM Tralala, datang ke kantor polisi setempat untuk melaporkan kejadian sebenarnya.
“Sejauh ini, menurut keterangan saksi, Kaji Badrun tidak meninggal karena kecelakaan sebagaimana sebelumnya dilaporkan, melainkan dibunuh. Namun, sampai sejauh ini, pihak kami belum bisa menyimpulkan siapa pelakunya, bagaimana dilakukan, apakah dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang, lebih-lebih motifnya apa, kami belum bisa sampaikan. Mohon teman-teman wartawan menunggu,” demikian kata Kompol Garing Pepe Nane, Kabag Informasi Polsek Pagarbanyu.
Lebih jauh, Kompol Garing menjelaskan, meskipun keterangan saksi sangat berharga bagi penyelidikan awal pihak berwajib, sampai saat ini pihaknya masih berhati-hati dan selektif dengan keterangan yang diberikan saksi. Menurutnya, keterangan saksi masih berbelit-belit, saling bertentangan satu sama lain, melompat-lompat, juga sedikit agak terdengar aneh. “Mungkin ia masih syok dengan kejadian itu,” demikian simpul Kompol Garing.
Agak bertentangan dengan keterangan pihak berwajib, apa yang disampaikan saksi Agus Mulyono langsung kepada awak media sebenarnya cukup jelas. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, ia tampak agak terlalu bersemangat. Menurut Agus Mulyono, Kaji Badrun dibunuh dengan cara sadis. Para pembunuh itu, tutur Agus, bernyanyi dan berjoget sebelum membunuh. “Mereka pakai lagu dangdut untuk berjoget. Mirip dengan film G30-S/PKI, Mas. Saya rasa, mereka pasti PKI,” kata Agus, sedikit berapi-api.
Lebih rinci Agus menceritakan ulang detik-detik pembunuhan itu. Kejadian dimulai persis ketika di panggung biduan sedang menyanyikan lagu “Bojo Galak”. Dua orang bertopeng Meggy Z. mengiringi Kaji Badrun masuk ruang tamunya sendiri. Karena Kaji Badrun tampak ketakutan, sangat mungkin ia dalam keadaan ditodong senjata. Saat itu, Agus baru saja balik dari kamar kecil di bagian belakang rumah sehingga berpapasan tepat di ruang tamu.
Ketika Agus hendak berteriak minta tolong, orang ketiga bertopeng Meggy Z. sudah berdiri di sampingnya, dan rasa dingin ujung senjata tajam sudah menempel di pinggangnya. Pada saat yang sama, di sofa sudah suduk tenang orang yang sangat mirip dengan Meggy Z.. Di meja, bertumpuk beberapa kaset dan VCD bersampul wajah Meggy Z..
“Kamu akan kami bunuh, karena telah ikut andil dalam merusak dangdut. Tapi kalau kamu tahu sedikit saja soal dangdut, mungkin kami akan ampuni. Sekarang pilih salah satu lagu Meggy Z. yang tidak membuatmu mati,” Agus Mulyono menirukan kata-kata orang mirip Meggy Z. itu. Lalu, dengan wajah prihatin, Agus menyambung: “Celakanya, mungkin karena tidak tahu, Kaji Badrun dengan sembrono memilih lagu ‘Anggur Merah’”.
(Untuk lagu ‘Anggur Merah’, dengar di sini.)
“Mereka memukulinya beramai-ramai di setiap bagian lirik ‘… teganya, teganya, teganya, teganya…’” kali ini Agus Mulyono bercerita dengan terbata-bata mata dan mata berkaca-kaca.
Atas laporan Agus, pihak berwajib berencana membongkar makam Kaji Badrun untuk melakukan otopsi ulang. Pembongkaran itu akan dilakukan sore ini (8/1). Sejalan dengan itu, pihak berwajib juga tidak menutup kemungkinan menyelidiki adanya motif politik di balik pembunuhan ini. “Coba pikir, mereka membunuh korban dengan iringan lagu ‘Anggur Merah’. Pasti ini ada tujuan tertentu. Dan sebagai bagian dari anak bangsa, kita kan harus ikut menjaga keutuhan NKRI, ya ‘kan?” tambah Kompol Garing lagi.
Sementara itu, secara terpisah, keluarga Kaji Badrun yang sebelumnya sudah terpukul oleh bubarnya acara hajatan, semakin terpukul dengan laporan soal pembunuhan ini. Fajar, anak Kaji Badrun, yang mewakili keluarga, enggan berkomentar banyak. Meski demikian, ia mendukung langkah-langkah pihak berwajib.
“Kami sedang bersedih, dan mohon teman-teman menghargai itu. Kami sebenarnya tak ingin kematian bapak kami diusik-usik lagi. Namun, demi lancarnya proses hukum, kami serahkan semua kepada aparat penegak hukum. Kami berharap pelakunya segera bisa ditangkap dan dihukum seberat-beratnya.” (Aj)
*Ralat:
1. Karena komplain dari beberapa pembaca, yang menyatakan bahwa pembukaan tulisan ini terlalu mirip dengan kalimat pembuka novel Eka Kurniawan, redaksi memutuskan untuk menyatakan bahwa kalimat itu tidak pernah ditulis.
2. Meggy Z., penyanyi dangdut, meninggal pada 21 Oktober 2009. Artinya, Meggy Z. meninggal sepuluh tahun lalu, bukan delapan tahun lalu. Yang meninggal delapan tahun lalu adalah K.H. Zainuddin M.Z..
Atas ketidaknyamanan yang mungkin dirasakan pembaca, kami minta maaf.
Redaksi
Menurut Kesaksian Agus Mulyono kepada Ketua OM Tralala
Saya minta maaf, Bos. Saya mengaku salah. Seharusnya saya tidak melaporkan hal ini kepada polisi, apalagi setelah delapan hari. Tapi bagaimana lagi, saya tidak tenang. Saya dihantui oleh pemandangan mengerikan itu. Saya merasa bersalah. Saya merasa ikut membunuhnya. Sebab, orang-orang bertopeng Meggy Z. itu memaksa saya menyanyi. Bos tahu kan, saya memang sangat menguasai lagu dangdut, dan suara saya tidak seburuk biduan-biduan OM Tralala—maaf, Bos. Rupanya mereka tahu itu. Dan saya mereka manfaatkan untuk maksud jahat mereka.
Saya ada di ruang tamu itu lebih dulu sebelum Kaji Badrun diseret masuk ke ruang tamu itu. Ketika sedang memeriksa salah satu sound yang cempreng suaranya, seseorang memanggil saya dari belakang. “Agus ya?” Saya menoleh. Dan tiba-tiba moncong pistol itu sudah menempel di tengkuk saya. Saya tak sempat melawan. Saya sebenarnya sempat berteriak, tapi kepalanya saya digasak dengan gagang pistol sampai saya tersungkur. Ini bekasnya masih ada. Saya akhirnya pasrah.
Sofa-sofa di ruang tamu Kaji Badrun itu ada di tengah-tengah ruangannya yang luas. Jumlahnya ada empat. Dua panjang, dua lagi pendek-pepat. Saat saya didudukkan di sofa yang pepat, orang yang mirip Meggy Z. itu sudah duduk bersilang kaki di sofa utama, seakan dia tuan rumahnya. Ya, dia memang mirip dengan Meggy Z., tapi jelas, dia bukan Meggy Z.. Saya tahu betul, Meggy Z. sudah meninggal. Saya bahkan sudah menziarahi makamnya. Maklum, saat itu saya masih ingin menjadi penyanyi dangdut. Maksudnya, saya mau meminta berkah dan restunya. Beberapa saat kemudian, Kaji Badrun menyusul masuk. Dua orang bertopeng Meggy Z. mengiringinya. Pasti Kaji Badrun juga ditodong seperti saya. Ia kemudian didudukkan di sofa panjang persis di seberang meja Meggy Z. palsu.
Ruang tamu itu sebenarnya jauh dari sepi. Orang-orang hilir mudik keluar masuk rumah. Namun, tak ada yang menyadari bahwa nyawa tuan rumah dan nyawa saya sedang terancam. Pasti orang-orang menyangka Kaji Badrun sedang terima tamu seperti biasanya. Apalagi, si Meggy Z. tiruan itu tampilannya memang tak jauh beda dengan para penyanyi dangdut senior atau setidaknya mirip pimpinan orkes—ya, macam Bos-lah (maaf). Sementara itu, kami sendiri dalam keadaan tertodong, tak bisa berbuat apa-apa.
Saya hampir tertawa ketika si Meggy Z. gadungan itu mulai bicara. Saya tidak membayangkan bahwa ia akan punya suara yang mirip Meggy Z., tapi saya tak menyangka kalau suaranya justru terdengar seperti Pance Pondaag. Sumpah, Bos. Kecil dan melengking. Kalau saja dia nyanyi “Malam ini tak ingin lagi aku sendiri…”, pasti cocok. Saya tentu saja menahan sekuat tenaga untuk tidak tertawa, soalnya takut didor. Tapi saya benar-benar ingin ketawa.
Apalagi, karena orang itu tak benar-benar terlihat seram. Dan suaranya terlalu lembut untuk orang yang sebentar kemudian membunuh orang.
“Pertama-tama, sebagai penggemar dangdut, kami datang ke sini ingin mengucapkan terima kasih kepada Pak Kaji Badrun karena masih peduli dengan dangdut, yaitu dengan mendatangkan kelompok orkes Melayu. Sayangnya, kami tak menemukan dangdut. Dan meskipun yang Pak Kaji datangkan namanya pakai embel-embel orkes Melayu, nyatanya kami tak menemukan orkes Melayu di sini. Kami sangat menyesalkan hal itu,” demikian orang itu berkata.
(Pemimpin OM Tralala yang tersinggung dengan kalimat soal orkes Melayu menempeleng kepala Agus Mulyono.)
Maaf, Bos. Saya hanya mengulangi kata-kata orang mirip Meggy Z. itu. Maaf. Boleh saya teruskan? Baik, saya teruskan.
Lalu dia nyambung lagi: “Kedua, kami ke sini ingin ikut ambil bagian dalam kebahagiaan yang Pak Kaji Badrun selenggarakan. Tapi sayangnya, karena musik dan hiburan yang disuguhkan sedemikian rupa, bukannya bahagia, kami malah menjadi sangat prihatin.”
Lalu, kata-katanya mulai menakutkan.
“Kamu terpaksa membunuh Pak Kaji. Pak Kaji telah ikut andil dalam merusak dangdut. Itu tidak bisa kami biarkan. Namun, kami tak mau gegabah. Kami tak ingin membunuh orang yang tidak benar-benar bersalah. Kami mau tahu seberapa pengetahuan Pak Kaji tentang dangdut. Kalau Pak Kaji tahu sedikit saja soal dangdut, mungkin kami akan mempertimbangkan tindakan yang tak terlalu drastis.”
Saya mulai menggigil ketakutan. Muka Kaji Badrun memucat. “Saya hanya… saya maunya…” kata-katanya tidak sampai.
Lalu Meggy Z. bajakan itu mengeluarkan kaset dan kepingan VCD bergambar wajah Meggy Z.. “Lagu-lagu Meggy Z. kebanyakan berisi patah hati dan keputusasaan dan menyebut-nyebut tentang kematian. Tapi tidak semuanya begitu. Sekarang silakan pilih salah satu lagu. Mungkin saja lagu tersebut akan menyelamatkan Pak Kaji,” katanya, sembari membebar tumpukan kaset dan VCD itu secara berjejer di meja.
“Agus,” Meggy Z. menoleh ke arah saya. “Kamu nanti yang nyanyi. Kau bisa nyanyi Meggy Z., ‘kan?”
Ketika saya mengangguk, karena tak mungkin memilih melakukan hal lain, saya bisa melihat punggung Kaji Badrun terempas lemas ke senderan sofa. Jelas, ia tak tahu apa-apa. Namun, saya melihat ada kemungkin untuk menyelamatkannya. Saya bukan hanya bisa menyanyikan lagu-lagu Meggy Z.. Saya sangat tahu soal lagu-lagu Meggy Z.. Cuma, saya tak tahu bagaimana melakukannya. Bisa-bisa, malah saya yang mati duluan.
“Pak, mohon saya diampuni.” Kaji Badrun mulai menangis. “Saya tak akan melakukannya lagi. Saya memang tak tahu menahu soal dangdut. Ini saya lakukan hanya karena ikut-ikutan. Saya janji. Saya tobat.”
“Kalau mintanya kepada Pak Haji Oma mungkin dia mau mengampuni. Dia berhati lembut. Lah, saya ini? Saya tak bisa selembut beliau.”
“Ambil semua uang…” sebelum Kaji Badrun menyelesaikan kata-katanya, dua orang bertopeng Meggy Z. yang mengapitnya mengirimkan kepalan ke lambungnya. Saya melihat tubuh orang tua itu terhentak ke atas.
Meggy Z. palsu mulai galak. “Kalau kami ingin uang, kami akan rampok bank atau orang-orang yang dilabeli penyanyi dangdut, tapi nyanyi sepotong lagu dangdut saja tidak becus. Kami tahu kamu tidak sekaya yang orang-orang sangka. Utangmu banyak. Kau bahkan mendatang grup musik jelek ini dengan uang pinjaman, ngaku saja. Lagi pula kau piara tuyul, kan?”
(Lagi-lagi muka Agus Mulyono ditempeleng oleh bosnya, sebab menyebut OM Tralala sebagai grup musik jelek.)
Ampun, Bos. Itu bukan kata-kata saya. Saya cuma cerita kejadian sebenarnya.
Saya teruskan, ya?
Kaji Badrun kini benar-benar tak melihat kemungkinan dirinya selamat. Ia melihat leleran kaset dan VCD Meggy Z. di meja seperti kambing melihat pisau jagal saat Idul Adha. Saya memperhatikan, dia bukan saja tak bisa memilih. Ia juga buta huruf. Namun, pada saat yang sangat menentukan, matanya dan mata saya bertatapan. Dan ia menangkap apa yang saya bisikkan lewat bibir saya.
“Gubuk der… Gubuk Bambu!” Kaji Badrun hampir memekik.
“Wow! Tahu juga dia. Coba kita lihat.” Meggy Z. melonjak gembira. “Agus, nyanyi! Kalian, joget!”
Dan saya mulai menyanyi:
Di dalam gubuk bambu tempat tinggalku
Di sini kurenungi nasib diriku
Di dalam gubuk bambu suka dukaku
Di sini kudendangkan sejuta rasa
“Pak Kaji, ikut nyanyi dong!” Meggy Z memerintah. Dan ia mulai ikut bergoyang, meskipun musik yang masuk ruang tamu adalah musik dari pekarangan. Sementara suara saya hanya lamat.
Kaji Badrun dengan enggan ikut berjoget. Namun, mungkin setelah menyimak kata demi kata dari lirik lagu, dan ia pikir aman, sebagaimana yang saya pikirkan, ia ikut bersemangat.
Lalu sampailah saya di akhir lagu:
Ku pasrah dan berdoa tak putus asa
Suatu saat nanti nasib berubah….
Ya, ini pasti lagu yang menyelamatkannya. Ini lagu ceria, optimistis. Saya merasa begitu gembira bisa menyelesaikannya. Dan saya kira saya baru saja menyelamatkan nyawanya.
“Nasibmu mau berubah seperti apa, Pak Kaji?” tanya Meggy Z. jiplakan, begitu lagu selesai.
“Saya ingin hidup, Pak,” Kaji Badrun mengiba.
Meggy Z. tertawa-tawa. “Lha memang sebelumnya kamu mati?”
“Saya ingin hidup, Pak,” Kaji Badrun mengulangi permohonannya.
“Ya sudah kalau begitu. Kamu mesti mati dulu.”
Begitulah cara Kaji Badrun dibunuh.
(Ketua OM Tralala kembali menempeleng kepala Agus Mulyono. Membentakinya, dan mengatainya bodoh. Kata yang sama juga diteriakkan oleh anggota OM Tralala yang ikut mendengar ceritanya.)
Maaf, Bos. Ampun.
Menurut Pengakuan Megi J. Ade, Si Pembunuh, kepada Si Parut dan Sopir Tua Bertato
Aku sebenarnya mau main-main saja. Tak benar-benar ingin membunuhnya. Sebab, tak terlalu berguna menghabisi orang tak berguna macam Kaji Badrun. Pasti akan jauh lebih tepat jika yang kusikat si pemimpin orkesnya. Tapi, toh aku tak bisa melanggar aturan yang sudah kita bikin bersama: bahwa orang yang tahu, suka, apalagi mengerti dangdut, tak akan kita sentuh. Aku kenal si pemimpin orkes itu. Ia meniup seruling yang bagus dulunya. Ia juga tidak jelek kalau menyanyi. Suaranya sedikit mirip dengan Latif Khan. Entah kapan, di mana, aku lupa, aku pernah melihatnya menyanyikan “Antara Senyum dan Perang”. Dan lumayan. Aku dengar, ia terpaksa mengubah corak musiknya karena tak laku.
Tapi, sudahlah. Toh, Kaji Badrun sudah mati. Lagi pula, setelah kupikir-pikir, siapa tahu itu bisa jadi peringatan untuk orang lain yang punya hajatan dan mau mendatangkan orkes Melayu. Ya, ‘kan?
Soal si Agus, brengsek betul anak itu.
(Ia tertawa terbahak-bahak)
Mungkin karena itu, ia cuma jadi tukang gulung kabel di grup orkesnya.
Aku tahu dia sejak kecil, sejak dia mulai ikut-ikutan markir di Diskotik Papillon dan Nasi Goreng Babi di Jalan Mataram. Ia pasti sudah lupa denganku, tapi aku tidak. Ia dulu, kalau benar-benar tak punya uang, akan tiba-tiba ikut salat Jumat, dan pulang dengan sandal atau sajadah dari masjid sekitar situ, kemudian dijualnya di pasar sentir di sebelah selatannya bekas Toko Progo. Ketika beberapa tahun kemudian aku kembali ke Jogja, setelah beberapa tahun pergi—tahu sendiri kan kalian ke mana aku pergi kalau sudah musim kampanye?—aku menemukannya jadi penyanyi cadangan di Purawisata. Suaranya nauzubillah, tapi bagaimana lagi? Kita semua tahu macam apa Jogja untuk dangdut. Pasti karena tak ada lagi yang lebih baik.
Ah, karena pernah melihatnya menyanyi di Purawisata, kupikir ia lumayan berpengetahuan soal dangdut. Aku menyeretnya masuk bukan sekadar ingin mengetesnya menyanyi, tapi juga mengetesnya. Makanya, diam-diam aku memberinya kesempatan untuk membantu Kaji Badrun.
Tapi dasar anak Jogja, ngertinya cuma “Jatuh Bangun”. Itu pun kuyakin ia tahu lagu itu lebih karena Kristina, bukannya Haji Meggy. Ya sudah, bagaimana lagi. Anak-anak itu ya kusuruh bikin Kaji Badrun jatuh bangun. Begitulah, matilah dia.
Oh ya, bagaimana ceritanya kau bikin si Bob Marley itu KO?
(Ia bertanya kepada Sopir Tua Bertato Gitar Tua).
Terus, bocah laki-laki yang bernama Surti itu mau kau apakan, Rut?
Baca cerita berikutnya di sini.