Indonesia di bawah Soekarno adalah cerminan dari pergerakan revolusioner anti-imperialisme, anti-kolonialisme, dan anti-kapitalisme. Setelah memproklamirkan “kemerdekaan politik” Indonesia pada 1945, akhir 1950-an hingga pertengahan 1960-an adalah babak selanjutnya dari kemerdekaan Indonesia melalui usaha menasionalisasi beberapa perusahaan asing yang ada di Indonesia ketika itu.
Sukarno tampil sebagai pemimpin negara yang baru merdeka secara politik ini untuk mencapai “kemerdekaan ekonominya”. Kemerdekaan di sektor ekonomi diupayakan melalui nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing.
Ada empat gelombang nasionalisasi. Pertama, nasionalisasi terjadi pada 1957-59 melalui pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda. Pada masa ini pengambilalihan melibatkan perpindahan kepemilikan 90% produksi perkebunan, 60% perdagangan dengan asing, dan 246 pabrik, pertambangan, bank, serta pengapalan dan berbagai sektor jasa di bidang industri.
Gelombang nasionalisasi tahap berikutnya adalah pengambilalihan perusahaan Inggris pada 1963; ketiga, nasionalisasi perusahaan Malaysia, Inggris, dan Belgia pada 1964; dan keempat pengambilalihan semua perusahaan asing dengan penekanan pada perusahan yang berasal dari Amerika Serikat pada 1965. Total perusahaan asing yang diambil alih pada periode September 1963 hingga Desember 1965, mencakup 90 perusahaan asing dari berbagai negara.
Data-data mengenai empat gelombang di atas saya himpun dari tiga buku: data-data yang ada di disertasi William Redfern (2010) yang bertajuk “Sukarno’s Guided Democracy and the Takeovers of Foreign Companies in Indonesia in the 1960s“; tesis Bondan Kanumoyoso di Universitas Indonesia yang bertajuk “Menguatnya Peran Ekonomi Negara: Nasionalisasi perusahaan Belanda di Indonesia“; dan karya klasik Richard Robinson, bertajuk “Indonesia: The rise of capital” .
Dengan slogan Berdikari, berdiri di atas kaki sendiri, yang menjadi pegangan dalam kebijakan luar negeri Indonesia pada masa menjelang 1965, Indonesia keluar dari PBB, IMF, dan World Bank. Tak heran Naomi Klein dalam bukunya, Shock Doctrine, menyebut Sukarno sebagai “Chavez of his time”.
Di bidang gerakan emansipasi bangsa-bangsa terjajah, Bung Karno menjadi salah satu pemimpin gerakan Asia-Afrika. Kalau kita lihat catatan-catatan Pak Hersri Setiawan di Facebook-nya, akan sangat jelas terlihat bahwa gerakan Asia-Afrika bukanlah omong-kosong. Ia dikerjakan dengan pertukaran para budayawan antar negara yang tergabung dalam kelompok bangsa-bangsa bekas jajahan di Asia dan Afrika. Pak Hersri waktu itu menjadi salah satu budayawan yang dikirim ke luar negeri.
Jadi sebenarnya jelas bahwa tujuan revolusi di bawah Bung Karno adalah membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan (termasuk di bidang ekonomi) dan membangun kekuatan politik tandingan bagi blok Amerika/Barat – dengan cara didirikannya organisasi bangsa-bangsa bekas jajahan di Asia-Afrika. Tentu saja ini adalah gangguan besar bagi operasi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia. Indonesia pada waktu itu adalah basis yang sangat kuat bagi gerakan Asia-Afrika. Karena itu, mudah dipahami, tak ada jalan lain: gerakan progresif di Indonesia harus dihancurkan!
Maka gerakan kontra-revolusi pun dilangsungkan di Jakarta, hingga akhirnya Sukarno terguling dan pada 1967 secara resmi MPRS melantik Soeharto.
Presiden baru ini adalah kebalikan dari yang lama. Momen ini menandai juga pergeseran ideologi negara dari yang sosialis, menjadi kapitalis. Tanah bukan lagi untuk rakyat, namun untuk para pengusaha. Penandanya jelas, yaitu dikeluarkannya tiga undang-undang pada 1967 (Kehutanan, Pertambangan, dan Penanaman Modal Asing).
Dampaknya tragis, di sektor hutan misalnya, UU 5/1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan membawa serta resital tentang Hak Pengelolaan Hutan (HPH) yang menyatakan bahwa “Kepada perusahaan negara, perusahaan daerah dan perusahaan swasta dapat diberikan hak pengusahaan hutan,” (Pasal 14 ayat 3). Antara 1967 hingga 1980, Dirjen Kehutanan, Soedjarwo, memberikan sebanyak 519 konsesi kayu kepada investor swasta, dengan total area mencakup lebih dari 53 juta hektar. Dan masih banyak lagi.
Ruang geografis setelah dikeruk Orde Baru itu sekarang berubah menjadi lahan-lahan yang sudah rusak atau menjadi lahan sawit para orang kaya, di banyak tempat menjadi sumber bencana asap baru-baru ini karena ekosistem gambutnya sudah hancur, misalnya seperti yang terjadi di Kalimantan Selatan.
Contoh lain adalah masih bercokolnya perusahaan-perusahaan asing yang masih terus mengeruk sumberdaya di Indonesia, seperti Freeport yang masuk ke Indonesia sesudah Orde Baru naik ke pentas kekuasaan. Di perusahaan minyak ada banyak perusahaan asing yang terus mengeruk kekayaan sumberdaya alam Indonesia, baik di Jawa dan di luar Jawa. Secara keseluruhan, ekonomi kapitalisme semakin meraja di Indonesia sejak pergeseran di sekitar 1965/6.
Saya tidak sedang mengangung-agungkan proses nasionaliasi perusahaan asing pada zaman Bung Karno. Toh dinasionalisasipun, yang mendapatkan keuntungan paling kalangan elit. Saya juga bukannya tidak memiliki pendapat negatif tentang Bung Karno, namun itu di lain kesempatan sajalah. Saya juga tidak sedang mengatakan bahwa memulihkan hak-hak para korban kekerasan Negara Orde Baru tidak penting.
Namun, yang ingin saya pertanyakan adalah bagaimana cara kita memaknai peristiwa 1965 yang umumnya fokus pada permasalahan rekonsiliasi akar rumput. Dengan banyak fokus ke persoalan rekonsiliasi akar rumput, kita lupa bahwa pada saat yang sama korporasi raksasa terus-menerus menghancurkan ruang hidup rakyat dan mengeruk sumberdaya alam.
Kalau perebutan sumberdaya ini dijadikan perspektif dalam melihat peristiwa 1965, maka jelas keterlibatan orang seperti Todung Mulya Lubis dalam acara kampanye internasional soal kasus 65, harus dipersoalkan. Karena Todung adalah pengacara korporasi besar seperti Exxon. Bagaimana bisa orang yang justru bekerja dengan jenis perusahaan yang diharamkan Sukarno, sekarang justru menjadi tokoh pembela “kader-kader” Sukarno yang menjadi korban kekejaman negara di bawah Suharto? Terlebih ia dimunculkan di media sebagai “pahlawan” pula. Baca saja banyak berita International People’s Tribunal di Den Haag.
Kemudian, film seperti karya Joshua Oppenhiemer pun juga harus dipersoalkan. Saya baru menonton yang pertama, Jagal, dan sudah tidak memiliki keinginan menonton yang lain-lain. Saya mendapat informasi bahwa Joshua cukup kritis terhadap Amerika Serikat (AS). Namun yang dapat saya ingat di film itu adalah: bahwa sangat minim narasi soal keterlibatan AS. Di titik ini, Joshua melalui filmnya tidak banyak memberikan pembeda. Tidak membahas banyak peran Amerika Serikat dan perusahaan-perusahaannya.
Tentu ingatan saya bisa salah dan kalau memang begitu, saya mohon maaf, tapi saya sudah malas melihatnya.
Agenda memaknai peristiwa 1965 pada akhirnya tidak banyak berubah. Masih seputar persoalan rekonsiliasi akar-rumput. Mungkin memang sengaja “dikunci” di sana. Membahas bermaaf-maafan sajalah, sembari pura-pura lupa bahwa sumberdaya alam terus dikeruk.
*sumber gambar: wilsoncenter