MOJOK.CO – Namanya lelaki itu ya yang nyari nafkah. Masak jadi bapak rumah tangga?
Saya merasa sedikit gelisah dengan perkataan teman saya bahwa, lelaki yang berada di rumah merupakan jenis mahkluk yang tidak bertanggung jawab, tidak sayang keluarga, dan tidak tahu diri. Dibilang nggak tahu diri? Deket nggak, kenal juga nggak, tahu alasannya apa juga nggak. Kok bisa-bisanya ngehujat dengan segampang itu. Kental sekali budaya Indonesianya.
Oke, saya akan bawa kamu mundur ke peristiwa yang memicu terjadinya persoalan lelaki tidak tahu diri tersebut. Begini, teman saya ini melihat pemandangan yang tidak wajar katanya. Di mana salah satu tetangganya yang telah berkeluarga dengan satu anak, bertingkah tidak seperti keluarga ‘normal’ lainnya.
Dalam keluarga tersebut, si istri lah yang bekerja dan mencari nafkah sampai sore, sedangkan suaminya terlihat berleha-leha di rumah dengan anak mereka. Teman saya ini bilang, hanya sekali dua kali si bapak kelihatan keluar rumah untuk bekerja. Sedangkan hari lain, ia hanya akan keluar dari rumah untuk mengantar jemput istrinya.
Lantas saya tanya dong, apakah dia pernah melihat langsung bapak tersebut meninggalkan rumah untuk bersenang-senang, seperti main judi, main hutang sana-sini, dan main perempuan? Iya, saya tahu pertanyaan saya memang khas sinetron sekali. Referensinya memang saya ambil dari situ. Ya gimana lagi, lha wong saya ini hidup di Indonesia.
Teman saya ini menjawab kalau dia nggak tahu. Tapi dia yakin betul bahwa si bapak keluar dari rumah sekali dua kali yang kelihatannya untuk bekerja itu, sebenarnya hanya kedok untuk bersenang-senang. Semacam sedang melakukan perbuatan yang pantas diazab oleh Tuhan.
Memang susah sih kalau sudah berpikiran yang nggak baik begitu. Lantas saya kepikiran, justru bakal lebih kasihan lagi jika si istri ini kerjanya dapat shift malam. Wah, bisa-bisa dianggap kerja sebagai perempuan panggilan dan suaminya ini sebagai germonya.
Persoalan bapak rumah tangga, memang bukanlah perkara yang mudah di negeri yang masih berpegang erat dengan budaya patriarki. Tapi salahkah jika menjadi seorang bapak rumah tangga?
Bapak rumah tangga itu bukan pengangguran loh, melainkan seorang lelaki yang mengerjakan tugas domestik dan mengurus anak. Sama seperti ketika kita melihat ibu rumah tangga, mereka ini juga nggak nganggur kan? Mereka punya tugas seabrek dan jam kerjanya mirip minimarket 24 jam—yang bikin anak-anak jadi lebih menakutkan dibanding setan leher kakunya Ju-on. Kletek-kletek.
Oh ya, bedakan dulu antara lelaki yang beneran melepas beban untuk menjadi ‘lelaki’ dan berkenan mengambil peran untuk mengurus tugas domestik serta anak, dengan lelaki yang beneran nggak mau ngapa-ngapain dan diem di rumah.
Contohnya, kaya tetangga teman saya itu, dia pernah bilang kalau anak keluarga tersebut sedang aktif-aktifnya. Lha wong kalau malam saja kadang masih kedengaran suaranya kok (dibaca: belum tidur). Menurut kalian, apa ya mungkin bapaknya ini tiap hari cuma ngowoh bahagia ngadepin bocah macam begitu?
Lagian, yang nyuci baju, ngangkat jemuran, sampai setrika itu siapa? Yang ngasih makan anak, nyapu kalau plus ngepel siapa? Ibunya kan kerja sampai sore. Nanti waktu pulang juga suaminya yang harus berangkat jemput naik motor. Dengan ngiket anaknya dulu pakai selendang biar nggak jatuh.
Saya masih nggak percaya kalau si suaminya ini beneran nggak punya andil sama sekali dalam mengerjakan tugas rumah tangga dan menghibahkan semua ke Istrinya. Apa ya istrinya nggak pingsan di tempat kerja? Lantas, apa ya pernikahan mereka bakal terus berlanjut jika nggak ada pembagian kerjanya?
Kalau begitu, kenapa bukan suaminya saja yang kerja? Kok malah nyuruh istrinya?
Duh, nyangkem itu memang menyenangkan, kawan. Padahal kan, kita juga nggak tahu alasannya. Ada loh, beberapa orang yang saya kenal baik sebagai seorang bapak rumah tangga dan mereka melakukannya justru sebagai bentuk rasa sayang dan pengorbanan untuk keluarga.
Ada bapak-bapak yang saya tahu, resign dari perusahaan tempat kerja dan memilih menjadi bapak rumah tangga secara full time. Sebab, pekerjaan istrinya sebagai pemuka agama benar-benar menyita waktu. Apalagi mereka sering berpindah-pindah tempat. Empat tahun sekali pindah, sudah kaya Pilpres US.
Bapak tadi, memutuskan resign dan mengikuti keluarganya. Mengurus ketiga putranya yang masih kecil-kecil sekali (saat itu), merangkap sebagai penata ruang setiap kali pindah. Merangkap sebagai tukang kebun hingga ikut menemani istrinya belanja ke pasar.
Karena ia tinggal di rumah dinas yang bersebelahan dengan tempat ibadah, sehingga saya punya banyak waktu untuk mencuri intip ke dalam rumah setelah kebaktian. Mohon maaf, saya memang jenis jemaat yang menyeimbangkan antara sisi lambe turah dan rohani secara beriringan. Ternyata…
…rumahnya bersih banget, semuanya serba teratur. Halaman depan rumah yang awalnya mirip Gurun Sahara berubah jadi taman mini yang teduh, dingin, dan selalu terlihat segar. Sebab, si bapak ini telaten merawat banyak tanaman. Mulai dari tanaman merambat sampai yang ditanam dalam pot. Belum lagi, ada kelinci-kelinci kecil yang dibiarin ngrowot gitu aja di sana.
Selain itu, di depan ruang sekolah minggu, anak anjing kepunyaan keluarga pemuka agama ini, dibiarin main bersama anak-anak jemaat. Ah, pokoknya rumah mereka ini suasananya bikin kita mupeng abis.
Oh iya, tidak perlu menanyakan kedekatan hubungan antara bapak dan anaknya dalam keluarga tersebut. Sebab, setiap ada sesuatu, mereka larinya ke bapaknya dulu. Bukan ke ibunya. Ya gimana lagi, lha wong emaknya ini di mimbar kok. Mau lari ke sana, ya malah di-grawong jemaat yang lagi ibadah. Hehehe.
Lantas, benarkah seorang bapak rumah tangga adalah seseorang yang beneran tidak bertanggung jawab, tidak sayang keluarga, dan juga tidak tahu diri?
Lah kan contohnya cuma itu doang. Nggak bakalan bisa menggambarkan keseluruhan, dong. Itu bejo aja dapat lelaki kayak gitu.
Hadeh, gimana nggak nambah, kalau ada lelaki yang memilih menjadi bapak rumah tangga—dengan berbagai alasan yang saya kira sudah diperhitungkan dengan baik—malah dirisak habis-habisan.
Saya pernah mendengar nyinyiran yang dialamatkan kepada suami pemuka agama yang saya ceritakan di atas. Untuk ukuran suami yang—saya lihat sendiri—sangat peduli dengan keluarganya macam begitu saja, masih ada kok yang ngomongin beliau sebagai lelaki yang menggantungkan hidup pada wanita. Dianggap tidak dapat mengayomi keluarga, sampai yang paling parah ia dianggap lembek.
Astagaaa… Anaknya tiga, loh. Dibilang lembek dan kemayu? Mbok mikir, ngasuh anak sama nyuci piring itu kan ya nggak bakal bikin lelaki berubah jadi perempuan atau impoten kok. Sama kayak lelaki mukulin istri dan anaknya, nggak bakalan nambah kesan kuat atau jantan. Yang ada malah bajingan.
Jadi, kalau besok-besok ada seorang lelaki yang kamu tahu atau kenal memilih menjadi bapak rumah tangga, please nggak usah ikutan menghakimi.
Yang perlu kita pahami, ia sudah menjatuhkan pilihan dan dia sadar betul dengan segala konsekuensi yang akan mengikuti di belakangnya. Masalah cibiran, tatapan merendahkan, hingga jadi bahan guyon setiap kali ada pertemuan.
Meski hal itu justru membuatnya terlihat istimewa, sebab di saat itulah ia mampu menunjukkan bahwa sebesar apapun ego yang dimiliki, tidak sebanding dengan rasa cintanya pada keluarga.
Asek~